Misteri Supersemar dan DN Aidit di Pusaran Konflik Sukarno dengan Soeharto
Sukarno naik pitam karena Soeharto dinilai memanipulasi Supersemar untuk bubarkan PKI
REPUBLIKA.CO.ID, Surat Perintah Sebelas Maret atau yang dikenal Supersemar menjadi surat sakti yang mengubah arah politik Indonesia. Di era 1965, Partai Komunis Indonesia (PKI) akrab dengan Presiden Ir Soekarno. Riak-riak politik yang berubah menjadi gelombang besar muncul pasca Gerakan 30S/PKI 1965 yang memakan banyak korban jiwa, termasuk jenderal ABRI saat itu. DN Aidit menjadi pusat perhatian karena berada di pusaran konflik Presiden Soekarno dan Soeharto yang saat itu berpangkat Letjen.
"DN Aidit itu orang yang berapi-api jika berpidato," kata Alwi Shahab membuka diskusi saat ditemui di ruang kerjanya, Kamis 28 September 2017 di ruang kerjanya. Sejarawan yang ikut merasakan peristiwa sejarah pengkhianatan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 30 September 1965.
Abah Alwi rahimahullah, begitu ia biasa disapa merawikan pada masa Presiden Sukarno, orang-orang PKI cukup banyak yang masuk pemerintahan. Apalagi Sukarno memiliki konsep NASAKOM. "Nasionalisme, Agama, dan Komunisme," ujar Abah Alwi.
Padahal menurut Abah Alwi, meski terlihat dekat, Sukarno menjaga jarak dengan para petinggi PKI. Alasannya agar tidak dianggap sebagai antek Komunis.
"Bung Karno tidak mau dicap sebagai antek PKI. Makanya dia menjaga jarak," kata Abah Alwi.
Kedekatan Sukarno dengan PKI waktu itu dianalisis banyak pihak. Salah satunya adalah Sayuti Melik.
Sayuti Melik, pengetik naskah proklamasi dan suami pejuang wanita SK Trimurti, menjadi terkenal ketika dia menulis 'Belajar Memahami Sukarnoisme', yang selama berbulan-bulan tiap hari dimuat di 21 surat kabar. Isi tulisan itu kentara sekali menelanjangi praktek-praktek busuk kaum komunis.
"Oleh Presiden Sukarno ia kemudian dipanggil dan dimintai keterangan apa maksudnya dengan artikel itu. Setelah mendapat penjelasan, Bung Karno berkata, 'Benar kowe Ti, teruskan'," kata Abah Alwi.
Syahdan, serial dari Sayuti Melik segera dihantam Nyoto, ahli ideologi PKI. Tokoh muda PKI ini, cerita Abah Alwi, melalui serangkaian tajuk rencana di koran PKI, Harian Rakyat, menyerang keras tulisan-tulisan Sayuti Melik yang dimuat koran-koran di berbagai daerah yang anti-PKI. "Bagi Nyoto, dan surat-surat prokomunis, apa yang ditulis Sayuti Melik justru merupakan pengkhianatan terhadap ajaran-ajaran Bung Karno," imbuh dia.
Lalu, bagaimana sikap Bung Karno terhadap polemik tersebut? Saat polemik di pers dan masyarakat menghangat, ternyata tafsir Sayuti Melik yang dianggap salah.
"Tafsir Nyoto itulah yang dianggap benar. Dan, hantaman bertubi-tubi terhadap BPS (Badan Pendukung Sukarnoisme) yang diprakarsai Adam Malik, BM Diah dan Sumantoro, dikumandangkan tiap hari di koran-koran kiri," kata pria yang meninggal dunia pada 17 September 2020 tersebut.
Tokoh PKI Ir Anwar Sanusi, misalnya, mengatakan, ”Setelah DI/TII gagal, kaum reaksioner di dalam negeri memakai nama Sukarnoisme untuk menentang arus sejarah dan gerakan revolusioner rakyat Indonesia.”
Setelah berhari-hari terjadi demo-demo di tanah air minta BPS dibubarkan. Puncaknya, pada 24 Februari 1995, Presiden Sukarno selaku Pangti ABRI dan Pemimpin Besar Revolusi (PBR) di hadapan massa yang memenuhi Istora Senayan memerintahkan, ”Bubarkan semua koran, organisasi dan alat-alat antek BPS.”
"Bung Karno menuduh BPS agen CIA (badan intelijen AS) —yang menggunakan 'Soekarnoisme' guna membunuh Sukarnoisme dan membunuh Sukarno. Pembubaran BPS itu dicanangkan dalam acara HUT PWI Pusat," sebut Abah Alwi.
Bung Karno juga menuduh BPS mendapat dana jutaan dolar AS dari CIA. "Beberapa kawan saya yang korannya dituduh terlibat BPS dengan menyindir berkata, 'Kalau begitu gua kaya raya dong'," ucap pria kelahiran 1936 itu.
Kedekatan Sukarno dan PKI menurut Abah Alwi dirasakan hingga meletusnya peristiwa G30S/PKI. Pascaterbunuhnya tujuh jenderal dan selamatnya Jenderal AH Nasution, membuat Sukarno lengser dari jabatannya sebagai presiden.
Setelah meletusnya peristiwa G30S/PKI, Soeharto yang ditugaskan untuk menumpas PKI bergerak cepat. Puncaknya pasca-PKI dibubarkan pada 12 Maret 1966 atau sehari setelah keluarnya Supersemar, Soeharto memulai perannya sebagai pemimpin Indonesia.
Pada saat Orde Baru berkuasa, hanya sehari setelah menerima Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar), Pak Harto menahan dan memenjarakan sejumlah menteri Kabinet Dwikora yang dipimpin Presiden Sukarno. Di antara mereka adalah wakil perdana menteri I/menlu Dr Subandrio dan ketua MPRS Chaerul Saleh.
"Penahanan para pejabat tinggi negara ini diumumkan Pak Harto sebagai pengemban Supersemar hampir bersamaan dengan dibubarkannya PKI beserta ormas-ormas yang berafiliasi," ujar Abah Alwi.
Di antara menteri-menteri yang langsung dipenjarakan adalah Ir Surahman, sekjen Partai Nasional Indonesia (PNI); Menteri Penerangan Mayjen Achmadi; Oei Tjoe Tat SH; dan Imam Syafe'i bekas jagoan Senen yang baru diangkat Bung Karno sebagai menteri keamanan nasional. Penangkapan para menteri ini cukup menghebohkan karena diumumkan secara luas melalui TVRI dan RRI.
"Apalagi Subandrio merupakan orang nomor dua di Indonesia dan menjadi kepercayaan presiden Sukarno," ujar dia.
Berlainan dengan Subandrio yang kala itu menjadi sasaran demo-demo antikomunis, Chaerul Saleh adalah tokoh yang sebelumnya merupakan tokoh Murba, musuh utama PKI. "Bahkan, yang saya ingat dalam suatu sidang kabinet paripurna di Istana Bogor, Chaerul Saleh terang-terangan menyerang ketua CC PKI DN Aidit dan saling tuduh yang kemudian diketahui secara luas oleh masyarakat. Peristiwa ini terjadi sebelum G30S/PKI," kata Abah Alwi.
Tindakan Soeharto membubarkan PKI membuat Sukarno naik pitam...
Sukarno Naik Pitam PKI Dibubarkan
Tindakan Soeharto membubarkan PKI membuat Sukarno geram. Pagi hari, 12 Maret 1966, dari Istana Bogor, Presiden Sukarno naik helikopter menuju Istana Negara di Jakarta. Ia akan membuka rapat pimpinan ABRI di Istana Negara. Rapat itu dihadiri lengkap oleh semua unsur petinggi TNI dan Polri, kecuali Menteri/Panglima Angkatan Darat Letjen Soeharto.
Suasana hari itu sangat berbeda dengan sehari sebelumnya ketika Bung Karno terpaksa harus lari dari sidang kabinet menyelamatkan diri ke Istana Bogor. Saat itu, istana dikepung pasukan bersenjata, namun tanpa identitas kesatuannya.
Pada rapat pimpinan ABRI itu, Bung Karno akan membacakan surat perintah yang malamnya sudah dia berikan kepada Letjen Soeharto. Surat perintah itu tertanggal 11 Maret 1966. Belakangan disebut sebagai Supersemar.
Presiden Sukarno merasa heran karena orang yang dia berikan perintah, yakni Letjen Soeharto, malah tidak hadir. Padahal, panglima angkatan laut, angkatan udara, dan kepolisian hadir semua.
Sukarno pun mencari tahu mengapa dalam keadaan sangat penting, Letjen Soeharto selalu tidak hadir. Pertama, sidang kabinet, 11 Maret 1966, saat istana dikepung pasukan liar yang diduga dari angkatan darat. Di situ, Letjen Soeharto tidak hadir. Kedua, saat Rapim ABRI 12 Maret itu, lagi-lagi Soeharto pun tidak hadir. Ada sesuatu yang janggal, panglima angkatan darat tidak hadir dalam Rapim ABRI.
Bung Karno semakin terkejut ketika diberitahu bahwa Men/Pangad Letjen Soeharto telah membuat Surat Keputusan (SK) Presiden/PANGTI ABRI/Mandataris MPRS/ PBR No 1/3/1966 tentang pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI).
Bung Karno marah. Ia menilai, tindakan Soeharto ngawur dan bertentangan dengan isi serta jiwa Supersemar. Maka, Bung Karno memerintahkan Wakil Perdana Menteri (Waperdam) II J Leimena untuk meminta pertanggungjawaban Soeharto sebagai pemegang Supersemar.
Trio jenderal, yakni Brigjen M Jusuf, Mayjen Basoeki Rahmat, Brigjen Amir Machmud, dipanggil ke Istana Bogor. Di sana, Presiden menumpahkan amarahnya.
“Kamu nyeleweng! Kamu bikin laporan salah kepada Soeharto!” Kesaksian itu dikemukakan M Hanafi, mantan dubes di Kuba, dalam buku biografinya. Ia mengaku, berada di Istana Bogor saat peristiwa itu terjadi.
Menurut Sukarno, sebagaimana dikatakan oleh Amir Machmud, pembubaran partai adalah wewenang presiden. Tapi, menurut Amirmachmud, apa yang dilakukan Letjen Soeharto sudah sesuai dengan Surat Perintah 11 Maret, yaitu demi keselamatan bangsa dan negara, serta demi keselamatan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Mengapa Presiden Sukarno memanggil trio jenderal ke Istana Bogor? Karena, melalui ketiga jenderal ini pula, Letjen Soeharto memberikan pesan kepada Presiden Sukarno. Ketiganya meminta Bung Karno memberikan kewenangan kepada Letjen Soeharto untuk mengatasi masalah keamanan setelah istana dikepung pasukan liar.
Sukarno mengeluarkan Surat Perintah 13 Maret 1966 tapi tidak digubris Soeharto...
Soeharto tak Gubris Perintah Sukarno
Sukarno pun mengeluarkan Surat Perintah (SP) 13 Maret 1966 yang intinya mencabut kembali Supersemar. Presiden Sukarno mengutus Leimena dan Menteri/Wakil Panglima Angkatan Laut merangkap Komandan Korps Komando AL Mayjen KKO Hartono untuk menyerahkan SP 13 Maret 1966 kepada Soeharto di rumahnya.
Namun, nasi sudah menjadi bubur. Soeharto tak menggubris perintah kedua ini. “Sampaikan kepada Presiden, segala tindakan yang saya ambil adalah tanggung jawab saya sendiri!” ujar Soeharto.
Bagaimana isi Surat Perintah 13 Maret 1966? SP 13 Maret terdiri atas tiga hal. Pertama, mengingatkan bahwa SP 11 Maret itu sifatnya teknis/ administratif, tidak politik. Semata-mata adalah perintah mengenai tugas keamanan bagi rakyat dan pemerintah untuk keamanan dan kewibawaan Presiden/Pangti/Mandataris MPRS.
Kedua, Letjen Soeharto tidak diperkenankan melakukan tindakan tindakan yang melampaui bidang politik sebab bidang politik adalah wewenang langsung Presiden, pembubaran suatu partai politik adalah hak Presiden semata-mata. Ketiga, Letjen Soeharto diminta datang menghadap Presiden di istana untuk memberikan laporannya.
Menurut Slamet Sutrisno, dosen sejarah dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, Soeharto tidak melaksanakan dengan baik perintah untuk menjamin keselamatan pribadi dan kewibawaan Presiden. Ia juga tidak melaksanakan dengan pasti segala ajaran pemimpin besar revolusi yang secara eksplisit diperintahkan dalam SP 11 Maret.