Damaskus, Gerbang Kejayaan Peradaban Islam

Damaskus melahirkan banyak ilmuwan Muslim pada masa keemasan Islam.

dok wiki
ILUSTRASI Masjid Agung Umayyah di Damaskus
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam sejarah Islam, Damaskus merupakan kota pusat pemerintahan pertama di luar Jazirah Arab. Pendiri Dinasti Umayyah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan, memindahkan ibu kota dari Madinah ke Damaskus pada 661. Namun, Damaskus sesungguhnya sudah jatuh ke tangan Islam sebelumnya, yakni sejak era Khalifah Umar bin Khathab pada 635 M.

Baca Juga


Sebagai kelanjutan dari masa Khulafaur rasyidin, Dinasti Umayyah menjadikan Damaskus sebagai cermin pencapaian peradaban umat Islam. Pada 707, di kota tersebut berdiri rumah sakit sekaligus pusat studi kedokteran pertama atas perintah Khalifah Walid bin Abdul Malik.

Sampai abad ke-13, menurut sejarawan Thomas Goldstein, sebagaimana dikutip Husain Heriyanto (2011), ada 30 rumah sakit di Damaskus sampai abad ke-13. Sebelumnya, perpustakaan publik pertama juga berdiri di Damaskus pada 704. Inisiatornya adalah Khalifah Khalid bin Yazid, yang tidak lain merupakan cucu pendiri Dinasti Umayyah.

Di perpustakaan inilah mula-mula pusat kegiatan intelektual berlangsung. Di antaranya ada aktivitas filologi kesusastraan Arab serta kajian-kajian ilmu hadiyts, fiqih, kalam, dan sejarah.

Masa keemasan meliputi Damaskus begitu Sultan Nuruddin berkuasa pada 1154. Pada eranya, banyak masjid, madrasah, dan pusat kesehatan publik dibangun untuk menunjukkan pencapaian peradaban Islam. Demikian pula dengan peningkatan kekuatan militer negara.

Adapun aktivitas intelektual di Damaskus pada zaman itu berkembang pesat, antara lain, lantaran kontribusi dari dua suku, yakni Bani Asakir dan Bani Qudama.

Sultan Nuruddin mendirikan pusat studi hadits pertama, Dar al-Hadits di Damaskus. Madrasah yang khusus bagi mazhab Maliki, al-Shalahiyyah, juga dibina. Begitu pula dengan madrasah al-‘Adiliyyah pada 1171, yang kini menjadi Arab Academy.

Salah satu pemikir yang unggul di Damaskus dalam masa keemasan Islam adalah Ibnu Taimiyah (1263-1328). Orang tuanya membawanya hijrah dari Harran, yang diserbut tentara Mongol pada 1269, ke Damaskus ketika Ibnu Taymiyyah masih berusia tujuh tahun.

Di Damaskus, ayahnya ditunjuk menjadi kepala madrasah Sukkariyyah. Dia sempat mengajar di madrasah yang sama mengenai ilmu hadits. Di Masjid Umayyah, Ibnu Taimiyyah juga mengajar di zawiyah.

Hubungannya dengan rezim penguasa dalam masa itu kerap bermasalah. Bahkan, ia pernah merasakan dinginnya penjara beberapa kali. Di dalam bui, dia tetap melanjutkan menulis karya-karyanya.

Selain Ibnu Taimiyah, ada pula Ibnu al-Syatir (wafat 1375), seorang Muslim astronom sekaligus pakar matematika. Pria kelahiran Damaskus ini pada setahun lamanya belajar di al-Iskandariah, Mesir. Karyanya yang paling dikenang adalah Zij al-Jadid, Taliq al-Arsad dan Nihayat al-Sul.

Dia juga meletakkan dasar-dasar teori peredaran planet-planet serta merancang pelbagai instrumen untuk mendukung kajian astronomi secara presisi.Pada 1337, dia menciptakan dua alat pengukur jarak benda-benda langit (astrolabe).

Pada 1371, dia membuat jam matahari raksasa untuk Masjid Damaskus. Sebagai astronom, rumus-rumusnya mendahului para astronom Eropa abad pencerahan, misalnya Copernicus yang menggegerkan Gereja dengan teori matahari-sentris.

Bahkan, beberapa riwayat menyebut, perhitungan Copernicus sama persis dengan al-Syatir. Apalagi, al-Syatir merupakan pengoreksi teori astronomi Yunani Kuno, Ptolemy, yang banyak dipakai Gereja untuk dalih “bumi sebagai pusat semesta.”

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler