Deflasi Mirip Kondisi Krisis, Airlangga: Tak Perlu Khawatir

Airlangga menilai perekonomian di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja.

Biro Pers, Media, dan Informasi Sekretariat P
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto.
Rep: Eva Rianti Red: Ahmad Fikri Noor

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berbicara mengenai kondisi deflasi yang telah terjadi dalam lima bulan berturut-turut sejak Mei hingga September 2024. Sejumlah ekonom menilai kondisi deflasi ini merupakan hal anomali. Bahkan, ada yang menyebutnya mirip kondisi krisis.

Kendati demikian, meski terjadi deflasi yang cukup panjang, Airlangga Hartarto menilai perekonomian di Indonesia masih dalam kondisi yang baik-baik saja.

"Kita harus melihat secara keseluruhan. Inflasi itu dikendalikan terutama yang volatile food. Jadi kalau sekarang volatile food-nya kita tekan turun ya tentu ini baik untuk masyarakat," kata Airlangga saat ditemui usai acara Implementasi Reformasi Birokrasi di Kantor Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, Jakarta Pusat, Kamis (3/10/2024).

Baca Juga



Airlangga menjelaskan, komponen inflasi terdiri dari dua komponen, yakni inflasi inti (core inflation) dan volatile food. Dia menyebut, komponen volatile food adalah yang terpenting untuk dijaga agar daya beli masyarakat kuat. Adapun yang menjadi sorotan sejatinya bukan inflasi secara keseluruhan, melainkan inflasi inti.

Diketahui, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat inflasi September 2024 tercatat deflasi sebesar 0,12 persen (mtm), sehingga secara tahunan menurun menjad8 1,84 persen (yoy) dari realisasi bulan sebelumnya sebesar 2,12 persen (yoy). Secara tahunan, inflasi inti September 2024 tercatat 2,09 persen (yoy), meningkat dari inflasi bulan sebelumnya 2,02 persen (yoy). Sedangkan kelompok volatile food mengalami inflasi 1,43 persen (yoy), menurun cukup dalam dari inflasi bulan sebelumnya 3,04 persen (yoy).

"Yang kita lihat untuk pertumbuhan namanya core inflation, nah core inflation-nya tetap naik, dan itu sejalan dengan pertumbuhan ekonomi karena menjadi anomali kalau tumbuhnya naik terus core inflation-nya turun. Sekali lagi, jadi yang dibandingkan bukan inflasi keseluruhan tapi core inflation," jelasnya.

Lebih lanjut, Airlangga mengungkapkan kondisi inflasi saat ini yang jauh lebih terjaga di kisaran 2,5 plus minus 1 persen dibandingkan dengan tingkat inflasi pada satu dekade yang lalu, atau saat Presiden Joko Widodo mulai menjadi RI 1.

"Di tahun 2014 inflasi kita 8 persen. Kalau kita bandingkan dengan sekarang yang sudah 2,11 (persen) itu kan turun jauh," ujar dia.

Pedagang beras melayani pembeli di salah satu kios di kawasan Pasar Rumput, Jakarta, Senin (3/6/2024). - (Republika/Prayogi)


"Konsekuensi kalau inflasi tinggi itu tingkat suku bunga akan tinggi atau cost of fund akan tinggi, sehingga kalau kita bandingkan dengan 2014 saat Bapak Presiden mulai menjadi Presiden, suku bunga kita double digit antara 12-18 persen, tetapi hari ini kita KUR 6 persen, SPI juga sudah di 6 persen, sehingga suku bunga yang prime itu sudah single digit. Jadi artinya justru ini mengurangi fat daripada ekonomi biaya tinggi," ungkapnya melanjutkan.

Airlangga memastikan inflasi akan tetap terjadi di angka target 2,5 plus minus 1 persen sesuai dengan amanat Undang-Undang APBN. Sejauh ini, dia menekankan tingkat inflasi masih aman sehingga tidak perlu ada kekhawatiran atas data deflasi yang terjadi dalam lima bulan terakhir.

"Ini within the rate, jadi kita tidak khawatir, karena kita liat juga indikator lain apa terhadap ekonomi, indeks keyakinan konsumen masih positif, kemudian cadangan devisa kita kalau ekonomi tidak bergerak kan tidak nambah juga cadangan devisanya," tutur dia.

Apalagi, lanjut Airlangga, Indonesia baru melakukan pengaturan devisa hasil ekspor yg terbukti bisa mempertahankan jumlah dolar di dalam negeri. Karena upaya itu, dia menekankan cadangan devisa bisa meningkat, hingga 50 persen dibandingkan besaran pada awal kepemimpinan Jokowi.

"Sehingga pada saat Bapak Presiden di 2014 kita punya cadangan devisa hanya 100 miliar (dolar AS), tetapi sekarang sudah 150 miliar (dolar AS). Dan rupiah baru beberapa waktu yang lalu semua tidak ada yang percaya rupiah bisa kita tekan ke angka level sekarang Rp15.300 (per dolar AS). Kemudian IHSG, kita sudah melihat bisa tembus 8.000," terangnya.

"Jadi itu membuktikan bahwa ekonomi bergerak," tegasnya.

Deflasi berturut-turut mirip kondisi krisis (halaman berikutnya)

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Mohammad Faisal menilai deflasi yang terjadi selama lima bulan berturut-turut di Indonesia adalah pertanda serius bagi perekonomian nasional. Faisal menilai kondisi ini tidak normal dan mengindikasikan adanya masalah mendasar dalam perekonomian.

"Deflasi lima bulan berturut-turut itu mengkhawatirkan menurut saya," ujar Faisal saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Faisal menjelaskan deflasi lima bulan beruntun bukan merupakan hal normal yang terjadi di negara dengan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen. Faisal menyampaikan pertumbuhan ekonomi sekitar lima persen biasanya diikuti oleh inflasi rendah dan inflasi yang disebabkan kemampuan untuk mengendalikan harga-harga.

"Bukan inflasi disebabkan karena kelemahan permintaan, tapi yang terjadi sekarang bukan inflasi yang rendah, justru malah deflasi selama lima bulan berturut-turut dan ini menyerupai kondisi krisis," ucap Faisal.

Faisal menilai pemerintah harus lebih serius mengatasi persoalan deflasi beruntun tersebut. Hal ini bertujuan untuk menghindarkan Indonesia dari ancaman krisis.

"Ada kemungkinan 2024 ini inflasinya bisa di bawah dua persen seperti masa krisis pandemi 2020-2021, yang inflasinya di kisaran 1,5 persen sampai 1,8 persen sepanjang tahun," lanjut Faisal.

Faisal menyampaikan deflasi sendiri merupakan dampak dari lemahnya tingkat permintaan, tingkat konsumsi yang disebabkan tingkat pertumbuhan pendapatan yang lemah. Bahkan, lanjut Faisal, tingkat pendapatan masyarakat mengalami penurunan dibandingkan masa sebelum pandemi.

"Sebagian orang, termasuk banyak kelas menengah yang tadinya bekerja sebelum pandemi itu banyak yang belum bisa bekerja, tidak punya pekerjaan, dan ini mempengaruhi dari tingkat belanja mereka," sambung Faisal.

Faisal menyampaikan kelas menengah selama ini menjadi tumpuan perekonomian Indonesia. Faisal mengatakan kelas menengah menjadi kontributor terbesar dalam konsumsi nasional yang menggerakkan perekonomian, industri manufaktur, dan sektor jasa.

"Tapi kalau konsumsi kelas menengahnya lemah, ini yang membuat ekonomi itu jadi susah bergerak dan efeknya juga ke mana-mana, ke sektor-sektor yang lain," ucap Faisal.

Kelas menengah tergerus, ekonomi terancam - (Dok Republika)

Untuk mengatasi masalah tersebut, Faisal mendorong pemerintah untuk mengambil langkah-langkah yang lebih cepat. Faisal menekankan pentingnya kebijakan fiskal dan insentif di sektor riil untuk mendorong konsumsi masyarakat dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Perlunya menyikapi secara cepat kondisi ini. Insentif bukan hanya dalam hal pelonggaran moneter, tetapi juga kebijakan insentif di fiskal dan di sektor riil," kata Faisal.

Ekonom Center of Economic and Law Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti deflasi lima bulan berturut-turut. Huda menilai kondisi deflasi berbeda dengan deflasi pada masa sebelumnya.

"Saya mencatat, kondisi deflasi saat ini memang lebih banyak dipengaruhi oleh faktor domestik," ujar Huda saat dihubungi Republika di Jakarta, Kamis (3/10/2024).

Sedangkan pada 2008-2009, lanjut Huda, deflasi dalam beberapa bulan berturut-turut terjadi akibat faktor krisis global menyebabkan deflasi terjadi beberapa bulan berturut-turut. Sementara pada masa pandemi Covid-19 juga akibat adanya faktor kejadian luar biasa yang menyebabkan permintaan melemah.

"Saat ini, faktor deflasi banyak disebabkan oleh pelemahan daya beli yang disebabkan kebijakan pemerintah yang kurang tepat," ucap Huda.

Huda melihat kondisi harga komoditas saat ini masih relatif baik meskipun terjadi penurunan. Huda menilai dampak pandemi juga sudah kian mengikis dengan kembali dibukanya perdagangan global.

Huda menilai kebijakan pemerintah menjadi penyebab utama di balik menurunnya daya beli yang berdampak pada deflasi beruntun. Huda menyampaikan kebijakan pemerintahan yang menaikkan harga Pertalite pada 2022 terbukti menggerus daya beli.

"Selain itu, kondisi pelemahan daya beli kelas menengah juga disebabkan faktor pelemahan industri dan investasi yang seret," lanjut Huda.

Pemerintah, menurut Huda, harus pintar membuat kebijakan yang cenderung mempunyai dampak negatif terhadap konsumsi rumah tangga. Huda menyebut pemerintah harus lebih cermat dalam menelurkan kebijakan yang memiliki implikasi dalam menggenjot konsumsi masyarakat.

"Rencana kenaikan tarif PPN tahun depan bisa dibatalkan. Pembatasan Pertalite harus dilakukan secara matang dengan melihat unsur keadilan bagi penerima subsidi," kata Huda.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler