Saat Israel Takut Pasukan TNI ke Lebanon

Israel menolak negara Muslim bertugas di Lebanon pada 2006.

ANTARA FOTO
Prajurit TNI yang tergabung dalam Kontingen Garuda XXIII-L/UNIFIL berbaris usai mengikuti upacara pelepasan pasukan, di Semarang, pada 2017.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Serangan Israel ke Lebanon dengan dalih menumpas kelompok Hizbullah menempatkan Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) di tengah kecamuk perang. Pasukan TNI yang tergabung dalam satuan tersebut ternyata sempat ditolak kehadirannya di Lebanon oleh Israel.

Baca Juga


Penolakan itu dilayangan Israel pada 2006, menjelang keberangkatan perdana Kontingen Garuda (Konga) XXIII-A/TNI untuk bergabung dalam UNIFIL. TNI kala itu bersiap mengirim 125 pasukan penjaga perdamaian asal Indonesia yang dikirim sebagai tim pendahulu (advance) ke Timur Tengah. Rencananya Indonesia akan mengirim sebanyak 1.000 pasukan TNI untuk bertugas di Lebanon. 

Kala itu, seperti dilansir the New York Times pada 1 September 2006, Israel mengatakan pihaknya akan menentang tentara dari negara-negara Muslim yang tidak memiliki hubungan diplomatik dengan mereka. Sikap itu berdampak pada tentara dari Indonesia, Malaysia dan Bangladesh yang akan bergabung dengan UNIFIL.

Di Tel Aviv, juru bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Mark Regev, saat itu menyatakan posisi Israel dengan cara yang tidak langsung memberikan penolakan. “Kami pikir semua negara yang ingin berkontribusi harus mempunyai hubungan dengan kedua belah pihak, dengan kami dan dengan Lebanon,” kata Regev.

Dalam menyuarakan kekhawatiran mereka, para pejabat Israel mengatakan bahwa negara-negara yang tidak secara resmi mengakui Israel akan mengalami kesulitan dalam mengirimkan tentara yang bersikap adil dan tidak condong ke arah Hizbullah.

Di tengah penolakan Israel, panglima TNI saat itu, Marsekal Djoko Suyanto, menegaskan pasukan perdamaian TNI tetap akan berangkat ke Lebanon. Bila saat ini pasukan tersebut belum juga berangkat, hal itu semata karena sinyal pemberangkatan belum turun, baik dari PBB maupun pemerintah.

''Apapun yang terjadi, bahkan dengan adanya penolakan Israel, TNI telah siap berangkat,'' kata Djoko kepada wartawan di Jakarta, pada (22/8/2006). Djoko percaya, waktu pemberangkatan terbaik adalah jika perdamaian telah disetujui kedua pihak yang bersengketa. ''Pemerintah tentu telah memikirkan. Kalau belum berdamai, ya kita tidak akan ke sana dulu,'' kata Panglima TNI. 

Senada dengan Djoko, menteri pertahanan saat itu, Juwono Sudarsono, mengatakan tidak ada masalah dengan pemberangkatan pasukan TNI sebagai penjaga perdamaian PBB tersebut. Menanggapi keberatan Pemerintah Israel sehubungan dengan tidak adanya hubungan diplomatik antara Indonesia dan negara Zionis itu, Juwono bahkan mengatakan keberatan itu sebagai cara yang tidak masuk akal guna mengulur waktu.

Menhan, yang memberikan pernyataan tersebut kepada wartawan di Kementerian Pertahanan, bahkan menyatakan, Israel sama sekali tidak berhak memilah negara mana saja yang bisa menjadi anggota pasukan perdamaian PBB. Hak tersebut, menurut Juwono, sepenuhnya berada di tangan organisasi bangsa-bangsa tersebut.

Tak lupa Juwono mengingatkan, menjadi pasukan penjaga perdamaian PBB bukan merupakan pengalaman baru bagi Indonesia. Pada 1957 dan 1960, misalnya, Kontingen Garuda I dan II telah diberangkatkan ke Mesir, saat negara-negara Arab bersengketa dengan Israel, serta ke Kongo. ''Dan Indonesia tidak punya hubungan diplomatik, baik dengan Israel maupun Kongo,'' kata Juwono.

Pasukan Perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), menolak permintaan pasukan penjajahan Israel (IDF) untuk memindahkan pasukan yang ditempatkan di dekat perbatasan Lebanon. Saat ini, ada lebih dari seribu pasukan TNI dalam Satuan Tugas Kontingen Garuda (Satgas TNI Konga) bergabung dengan pasukan perdamaian PBB tersebut.

Perkembangan ini terjadi di tengah bentrokan sengit antara pasukan Israel dan militan Hizbullah, dengan pertempuran besar terjadi hanya dua kilometer dari pos pengamatan pasukan penjaga perdamaian Irlandia, yang dikenal sebagai Pos 6-52, yang terletak di sepanjang Garis Biru yang memisahkan Lebanon dari Israel. 

Meskipun ada bahaya, UNIFIL dan pemerintah Irlandia telah menegaskan bahwa keputusan mengenai pengerahan pasukan sepenuhnya berada di tangan PBB, dan menolak permintaan Israel. Presiden Irlandia dengan tajam mengkritik tuntutan Israel agar pasukan penjaga perdamaian PBB meninggalkan posisi mereka di Lebanon selatan.

“Sangat keterlaluan bahwa Pasukan Pertahanan Israel telah mengancam pasukan penjaga perdamaian ini dan berusaha agar mereka mengevakuasi desa-desa yang mereka pertahankan,” kata Presiden Michael Higgins dalam sebuah pernyataan. “Memang benar, Israel menuntut agar seluruh UNIFIL (Pasukan Sementara PBB di Lebanon) yang beroperasi di bawah mandat PBB untuk pergi.”

Relief Web melansir, Irlandia menyumbang 347 dari 10.000 tentara yang bertugas di pasukan UNIFIL, yang bertugas menjaga perdamaian di selatan Lebanon. Higgins menyebut tuntutan tersebut sebagai “penghinaan terhadap institusi global yang paling penting.”

Misi UNIFIL di Lebanon dirancang untuk memantau penghentian permusuhan antara Hizbullah dan Israel dan melaporkan pelanggaran perbatasan Garis Biru. Wakil Sekretaris Jenderal PBB untuk operasi perdamaian, Jean-Pierre Lacroix, memastikan pada Kamis (3/10/2024) )bahwa pasukan penjaga perdamaian di Lebanon akan melanjutkan misinya.

"Pasukan penjaga perdamaian UNIFIL (Pasukan Sementara PBB di Lebanon) merasa berkewajiban untuk melanjutkan," ujar Lacroix kepada wartawan selama konferensi pers di markas besar PBB di New York.

Tentara Lebanon mengambil posisi sebagai tentara misi penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL) berjaga selama demonstrasi anti-Israel di jalur perbatasan dengan Israel di daerah Kfar Chouba, Lebanon Selatan, 09 Juni 2023. - (EPA-EFE/WAEL HAMZEH)

Lacroix mengungkapkan bahwa ada 10.058 pasukan penjaga perdamaian di Lebanon, yang merasa berkewajiban menjalankan mandat yang diberikan kepada mereka oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Pasukan, ujarnya, juga merasa berkewajiban menjaga penduduk Lebanon selatan. Meskipun banyak menghadapi tantangan, kata Lacroix, misi menjaga perdamaian akan terus dilanjutkan dan memastikan bahwa “rencana darurat sudah siap dan selalu diperbarui”.

"Tentu saja, kami sudah menyiapkan beberapa skenario kedua kalau situasi memburuk, sampai ke skenario terburuk yang mungkin terjadi, yang diharapkan tidak sampai pada evakuasi sebagian dan total," imbuhnya.

Dia menekankan bahwa akibat pertempuran yang sedang terjadi, sangat sulit untuk menilai dengan pasti bagaimana keadaan akan berkembang. Mengenai tujuan UNIFIL untuk melindungi warga sipil di Lebanon, Lacroix mengatakan "pasukan penjaga perdamaian akan melakukan segala daya mereka untuk melindungi penduduk", tanpa memberikan keterangan lebih lanjut.

Kementerian Luar Negeri (Kemlu) RI melaporkan bahwa terdapat 1.232 personel TNI yang bertugas di Lebanon, saat Ibu Kota Beirut dihantam serangan udara oleh Israel pada Selasa (30/7/2024). Direktur Perlindungan WNI dan Badan Hukum Kemlu RI, Judha Nugraha mengatakan bahwa ribuan personel TNI tersebut tengah mengemban misi perdamaian UNIFIL.

Pekan lalu, Kepala Pusat Penerangan atau Kapuspen TNI Mayor Jenderal Hariyanto mengatakan bahwa, prajurit TNI yang bertugas di Lebanon bertekad akan tetap bertugas menjaga perdamaian. “Yakinlah penugasan di sana sampai sekarang masih dilaksanakan," ucap Hariyanto di Lapangan Silang Monas, Jakarta pada Kamis pekan lalu dilansir Antara.

Dia menyatakan, belum ada prajurit TNI di Lebanon yang terluka akibat konflik. "Sampai sekarang aman, tidak terluka," katanya. Ia menyatakan, penarikan pasukan TNI dari Lebanon harus mendapat izin dari Kementerian Luar Negeri dan pemimpin Pasukan Perdamaian PBB atau UNIFIL di Lebanon.

Tim Pengawasan Pelaksanaan Operasi (Waslakops) yang dipimpin oleh Paban VII/BMN Staf Logistik TNI, Kolonel Tek Budhi Arifa Chaniago pada Agustus lalu telah meninjau kesiapan operasional Satuan Tugas TNI Kontingen Garuda (Satgas TNI Konga) UNIFIL di berbagai lokasi misi di bawah komando Markas UNIFIL, Naqoura, Lebanon.

Peninjauan ini bertujuan untuk memastikan bahwa Satgas TNI Konga UNIFIL berada dalam kondisi siap untuk menjalankan tugas mereka sesuai dengan mandat Resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Selama peninjauan di lokasi misi seperti UNP 7-1, UNP 7-3, UNP 9-63, dan UNP 9-2.


Dalam keterangan tertulisnya pada Senin (19/8/2024), Kolonel Budhi menyampaikan bahwa tim Waslakops juga memberikan rekomendasi terkait peremajaan dan pengelolaan materiil, khususnya untuk menghadapi skenario kontinjensi yang mungkin terjadi. "Peremajaan dan penggantian peralatan menjadi prioritas utama untuk memastikan efektivitas kesiapan operasional Satgas TNI dalam menjalankan tugas mereka sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB," ujar Budhi Arifa Chaniago. 

Kolonel Budhi mengakui, sejak tahun 2005, TNI telah aktif terlibat dalam misi UNIFIL di Lebanon. Namun, seiring berjalannya waktu, kendaraan tempur, kendaraan taktis, dan persenjataan, telah mengalami penurunan kinerja. “Oleh karena itu, peremajaan peralatan menjadi langkah penting dalam mempertahankan kesiapan operasional Satgas di lapangan.”

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler