Kala Resolusi 181 Berbalik Menggigit PBB
Israel kini menjadi monster yang merongrong bidannya.
Oleh Fitriyan Zamzami, Jurnalis Republika
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Pada Selasa kemarin, percakapan baru-baru ini antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan PM Israel Benjamin Netanyahu dilansir. Keduanya saling serang dengan kata-kata terkait keputusan Macron menghentikan bantuan senjata untuk Israel sehubungan agresi brutal negara Zionis itu ke Jalur Gaza.
Macron juga secara terbuka meradang dengan sikap Israel yang kian kemari makin bermusuhan dengan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). “Netanyahu tidak boleh lupa bahwa negaranya dibentuk berdasarkan keputusan PBB,” tulis the Times of Israel.
Pernyataan tersebut mengacu pada resolusi yang diadopsi pada November 1947 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai rencana untuk membagi Palestina menjadi negara-negara Yahudi dan Arab yang terpisah.
Pemisahan itu seturut berakhirnya mandat Inggris di wilayah Palestina yang disertai kampanye masif oleh Zionis di Eropa dan Amerika Serikat untuk pembentukan negara Yahudi. Warga Palestina dan tetangga-tetangga Arab-nya menolak rencana pemisahan tersebut.
Menengok perimbangan demografi dan kepemilikan lahan saat itu, pembagian oleh PBB memang tak adil. Kala itu, etnis Yahudi hanya menguasai sekitar 7 persen lahan di Palestina secara sah. Mereka juga hanya sekitar 30 persen dari total populasi. Namun, wilayah yang dialokasikan PBB untuk negara Yahudi di wilayah Palestina sebanyak 56 persen. Pembentukan negara Israel juga akan mengusir 85 persen warga Arab yang tinggal di wilayah-wilayah yang bakal diduduki Zionis.
Sementara para pemimpin Zionis seperti Chaim Weizmann dan David Ben-Gurion menerima pemisahan oleh PBB dengan niat yang tak tulus. Catatan Kongres Zionis dan surat-surat Ben Gurion mengungkapkan bahwa penerimaan itu hanya sementara sebagai langkah untuk menduduki Palestina sepenuhnya.
Laporan the New York Times pada 27 November 1947 menuliskan bahwa 57 anggota PBB dijadwalkan melakukan pemungutan suara atas rencana pemisahan yang tak adil itu pada 26 November 1947. Jadwal itu kemudian ditunda tiga hari untuk memberikan kesempatan bagi kelompok Zionis melobi AS untuk menekan negara-negara yang menolak. Hal ini sebab menurut perhitungan mereka, syarat penetapan resolusi tak akan tercapai bila voting digelar pada tanggal itu.
Presiden AS Harry S Truman mengakui gencarnya lobi Zionis kala itu. “Faktanya adalah bahwa tidak hanya terdapat gerakan-gerakan tekanan di sekitar PBB yang belum pernah terjadi sebelumnya, namun Gedung Putih juga terus-menerus menjadi sasaran serangan. Saya rasa saya belum pernah mengalami tekanan dan tekanan sebanyak itu serta propaganda yang ditujukan ke Gedung Putih seperti yang saya alami dalam kasus ini. Kegigihan beberapa pemimpin ekstrim Zionis—yang digerakkan oleh motif politik dan terlibat dalam ancaman politik—mengganggu dan membuat saya kesal,” tulisnya dikutip George Lenczowski dalam bukunya American Presidents and the Middle East (1990).
Prancis juga jadi sasaran tekanan tersebut. James Barr dalam A Line in the Sand: Britain, France and the Struggle that Shaped the Middle East (2012) menjelaskan teperinci upaya Zionis tersebut.
Sesaat sebelum pemungutan suara, delegasi Prancis untuk PBB dikunjungi oleh Bernard Baruch, seorang Yahudi Amerika pendukung Partai Demokrat dan teman dekat Presiden Truman. Ia juga pendukung kelompok teror Zionis, Irgun, yang kerap melakukan pembersihan etnis Palestina.
Saat itu, Baruch mengancam bahwa rencana bantuan Amerika kepada Prancis, yang sangat dibutuhkan untuk rekonstruksi selepas Perang Dunia II, akan dibatalkan jika menolak resolusi pemisahan Palestina. Israel yang saat itu masih menjajah sejumlah wilayah Muslim di Afrika Utara sedianya enggan menerima resolusi karena mengkhawatirkan pemberontakan di negara jajahan. Namun, setelah mempertimbangkan bahaya jika bantuan Amerika dibatalkan, Prancis akhirnya menyetujuinya.
Pada 29 November 1947, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan suara 33 berbanding 13, dengan 10 abstain dan 1 abstain, mendukung Rencana Pemisahan yang dimodifikasi. Lahirlah kemudian Resolusi 181 Majelis Umum PBB yang menyetujui pembentukan negara Israel dan Palestina.
Di Palestina, kelompok-kelompok teror Zionis seperti Irgun dan Lehi langsung melakukan pembersihan etnis mengetahui resolusi tersebut. Desa-desa Arab dikepung, dijarah, dibakar. Penduduknya diintimidasi dan dibunuh agar menyingkir. Pada akhirnya, Israel dideklarasikan pada 1948 bersamaan dengan operasi pembersihan etnis yang dinamai Rencana Daleth tersebut. Sedikitnya 750 ribu warga Palestina terusir dan penjajahan Israel masih berlangsung hingga kini.
Bandelnya Israel...
Terlepas dari sejarah pembentukan itu, Israel belakangan kian antagonistik terhadap PBB. Bahkan dengan serangan ke tentara penjaga perdamaian PBB di Lebanon (UNIFIL), Israel seperti menyatakan perang terhadap lembaga internasional tersebut.
Pada akhir September lalu, Benjamin Netanyahu, menyampaikan pidato di Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNGA) di mana ia mengatakan bahwa “rumah kegelapan PBB ini terhina di mata orang-orang baik di mana pun”. Dia selanjutnya menyebut UNGA sebagai “rawa antisemit” dan “masyarakat bumi datar anti-Israel”.
Meskipun Israel telah lama menghalangi para pejabat PBB untuk memasuki wilayahnya dan menolak pertemuan dengan para pejabat mereka dengan berbagai alasan, pada awal Oktober penolakan itu memuncak. Kala itu Israel mendeklarasikan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres sebagai persona non grata. Dampak ironisnya, Israel melarang masuk pimpinan lembaga yang menciptakan wilayah negaranya.
Pada 11 Oktober, pasukan Israel menembaki pasukan UNIFIL yang beroperasi di Lebanon selatan untuk kedua kalinya dalam jangka waktu 48 jam. Keesokan harinya, tank Israel kembali menembaki markas UNIFIL di Lebanon, yang berbasis di Naqoura.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, secara terbuka mengusir pasukan PBB dari wilayah tersebut untuk membuka jalan bagi agresi Israel yang berniat menghabisi Hizbullah di selatan Lebanon. Pernyataan bahwa pasukan Hizbullah berlokasi di, atau di sekitar, markas UNIFIL, merupakan pembenaran untuk menganggapnya sebagai sasaran militer yang sah.
Israel juga telah membunuh sekitar 230 pegawai PBB di Jalur Gaza sejak Oktober 2023. Hal ini menjadikan perang di Gaza sebagai konflik paling mematikan bagi staf PBB sepanjang sejarah.
Rezim Israel juga melancarkan fitnah soal keterlibatan Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina (UNRWA) dalam serangan yang dipimpin Hamas pada 7 Oktober 2023. Fitnah tersebut berakibat fatal karena sejumlah negara Barat pendukung Israel sempat menghentikan pendanaan untuk badan yang sangat krusial bagi kehidupan pengungsi Palestina itu. Yang terkini, Israel tengah merancang undang-undang yang melarang UNRWA beroperasi di wilayahnya dan wilayah yang diduduki.
Israel juga nekat melanggar keputusan Mahkamah Internasional (ICJ) yang merupakan badan hukum tertinggi PBB. Mereka tetap melakukan genosida meski sudah diminta mahkamah menghentikannya pada Januari 2024. Israel juga melawan putusan ICJ pada Juni 2024 dengan tetap melakukan serangan ke Rafah di selatan Jalur Gaza yang sesak oleh pengungsi. Ketika Mahkamah Internasional memutuskan bahwa pendudukan Israel atas tanah Palestina adalah ilegal, hal ini juga ditanggapi dengan penghinaan oleh pejabat-pejabat Israel.
Israel telah melanggar jauh lebih banyak resolusi PBB dibandingkan negara manapun. Mereka tetap meluaskan pemukiman ilegal di Tepi Barat meski PBB berulang kali mengeluarkan resolusi melarang hal tersebut.
Israel juga tetap melakukan agresi brutal ke Gaza yang hingga kini telah menewaskan lebih dari 42.300 jiwa di Gaza meski sudah keluar Resolusi Dewan Keamanan PBB mendesak gencatan senjata pada Ramadhan tahun ini.
Dalam wawancara khususnya dengan Republika, Menlu RI Retno LP Marsudi menyatakan perlawanan Israel terhadap lembaga internasional ini sangat berbahaya.
“Kalau kita diam, PBB akan dihajar terus. Kalau PBB dihajar terus, lambang atau simbol multilateralisme akan digoyang, akan dikoyak. Kalau lambang multilateralisme dikoyak, yang akan terjadi apa? The mighty takes all. Orang yang kuat, negara yang kuat, dia akan mengambil semuanya. Kita akan diam? Enggak! Kalau saya, tidak!”