Peneliti: Syahidnya Yahya Sinwar di Medan Tempur akan Bangkitkan Perlawanan
Ide tidka bisa dibunuh hanya karena pemimpinnya dibunuh.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Peneliti Senior bidang Timur Tengah dan Afrika dari Eni Enrico Mattei, Steven A.Cook menulis artikelnya di Foreign Policy bertajuk Sinwar Is Dead, Hamas Is Very Much Alive untuk menyikapi pembunuhan pimpinan Hamas Yahya Sinwar. Menurut Cook, ide tidak bisa dibunuh hanya karena pemimpinnya kemudian dibunuh.
Cook mengungkapkan hal tersebut di tengah keyakinan Israel bahwa mereka telah mencapai banyak hal dengan membunuh sutradara Operasi Badai al-Aqsa 7 Oktober 2023. Dia menceritakan tentang berbagai pemimpin gerakan perlawanan yang berbeda di Lebanon dan Palestina dan bagaimana pembunuhan mereka membantu membangun “mitologi dinas keamanan Israel.”
Meski demikian, Cook menegaskan Israel masih belum berhasil mengalahkan faksi-faksi perlawanan bersenjata. Dia merinci bagaimana Sayyed Hassan Nasrallah menjadikan Hizbullah sebagai salah satu gerakan perlawanan terbesar di wilayah tersebut setelah kematian Sayyed Abbas al-Mousawi pada tahun 1992. Setelah kesyahidan Sayyed Nasrallah dan para pemimpin penting di Hizbullah, faksi ini masih meluncurkan rentetan roket yang belum pernah terjadi sebelumnya ke Israel.
Syekh Ahmad Yassin, pemimpin awal Hamas, sama seperti Sayyed Nasrallah, juga menjadi syuhada dalam sebuah serangan udara. Cook mencatat bahwa kematiannya yang kejam tidak membuat para penggantinya memikirkan kembali pendekatan mereka.” Mengapa pembunuhan Sinwar memiliki hasil yang berbeda?”kata Cook.
Meskipun beberapa orang percaya bahwa kematian Sinwar dapat melemahkan Hamas, Cook menekankan, perlawanan adalah komponen penting dari identitas. Dia mengungkapkan, bagaimana Sinwar lebih memilih untuk menemui ajalnya di hadapan peluru tank Israel, dengan keyakinan bahwa kesyahidannya akan menjadi motivasi demi keberlanjutan perlawanan.
“Bahwa Israel membunuh Sinwar tampaknya merupakan sebuah pencapaian besar hari ini, namun pada saatnya nanti, orang-orang lain akan bangkit-seperti yang selalu terjadi-untuk terus melakukan perlawanan,”ujar dia.
Menurut Daniel Byman, seorang profesor di School of Foreign Service Universitas Georgetown, pembunuhan Yahya Sinwar, kepala biro politik Hamas yang baru saja terpilih, mungkin tidak terlalu berdampak seperti yang diantisipasi dalam perang di Gaza.
Meskipun kematian Sinwar hanya berarti berkurangnya satu pemimpin dalam Perlawanan Palestina, Hamas masih jauh dari kata mundur karena Israel menghadapi tantangan yang lebih kompleks pada hari-hari berikutnya di Gaza.
Dalam artikelnya di Foreign Policy, Byman menulis, meskipun Hamas telah kehilangan banyak pemimpinnya seperti Ismail Haniyeh dan [diduga] Mohammed Deif, Perlawanan masih memiliki anggota baru yang kurang berpengalaman yang siap untuk mengambil alih.
Kematian Sinwar mungkin akan meningkatkan kemungkinan gencatan senjata, menurut Byman, karena ia lebih agresif terhadap Israel. Strateginya, ujar Byman, adalah membiarkan penjajah itu terus menerus merusak reputasinya di seluruh dunia dan hubungannya dengan AS.
Menurut Byman, serangan biadab Israel ke Gaza merupakan kisah peringatan bagi para pemimpin masa depan dalam perlawanan tentang bahaya menghadapi musuh yang kejam, dengan mencatat bahwa Hamas mungkin akan merasa diuntungkan untuk berkumpul kembali dan membangun kembali, meskipun penjajah mengklaim bahwa mereka telah menewaskan sepertiga dari pejuangnya yang menewaskan 42.000 warga Palestina.
Di sisi lain, para pemimpin baru mungkin juga memilih untuk mengintensifkan upaya perlawanan mereka. Di bawah Sinwar, Hamas secara signifikan merugikan “Israel”, merevitalisasi perjuangan Palestina, dan menodai citra global “Israel”.
Setelah kehilangan banyak pemimpin, pejuang, dan nyawa warga Palestina yang tak terhitung jumlahnya, ada juga keinginan kuat untuk membalas dendam di antara para pejuang dan anggotanya.