Isu Palestina Dorong Indonesia Gabung BRICS?

Isu Palestina jadi salah satu bahasan utama KTT BRICS.

Alexander Nemenov, Pool Photo via AP
Menlu RI Sugiyono (berpeci) di antara kepala negara dan delegasi berpose di sela KTT BRICS Summit di Kazan, Rusia, Kamis, 24 Oktober 2024.
Rep: Fitriyan Zamzami/Kamran Dikarma Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Indonesia secara resmi mengajukan diri sebagai anggota kelompok ekonomi negara berkembang BRICS yang belakangan kian dilihat sebagai tandingan atas kekuatan Barat. Ketidakadilan yang dialami Palestina akibat penjajahan Israel yang didukung Barat bisa jadi salah satu penentunya.

Baca Juga


Hal ini disampaikan oleh Dr Oh Ei Sun, peneliti senior di lembaga think tank Singapore Institute of International Affairs seperti dilansir Channel News Asia. Ia menanggapi ditetapkannya empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Indonesia, Vietnam, dan Thailand sebagai negara mitra BRICS dalam KTT BRICS di Kazan, Rusia, pekan ini.

Menurutnya, Bagi Malaysia dan Indonesia yang berpenduduk mayoritas Muslim, yang mendukung perjuangan Palestina, “hal ini juga merupakan upaya yang dilakukan secara spontan dan tidak langsung terhadap Barat yang sangat mendukung Israel”, kata Dr Oh dilansir CNA, kemarin. 

Dukungan Barat terhadap Israel terkait agresi ke Gaza belakangan kian sukar ditutup-tutupi. Amerika Serikat sejauh ini terus memasok senjata ke Israel, senjata-senjata yang terbukti dipakai membunuhi warga Palestina di Jalur Gaza. Pembantaian itu sejauh ini telah menewaskan sekitar 43 ribu warga Palestina, kebanyakan perempuan dan anak- anak. Aljazirah melansir, belakangan diketahui bahwa AS bersama Jerman dan Inggris melakukan ribuan penerbangan militer, membantu Israel melakukan pengintaian di Jalur Gaza.

Meski lekas menetapkan sanksi dan mengecam serangan Rusia ke Ukraina pada 2021 lalu, Barat tak menerapkan standar serupa terhadap Israel meski warga sipil yang mereka bunuh jauh lebih banyak ketimbang agresi Rusia. 

Presiden Prabowo Subianto telah berulang kali menyinggung standar ganda tersebut. Hal ini ia tegaskan dalam opini yang ia kirimkan ke majalah terkemuka AS, the Economist, setelah dinyatakan terpilih dalam Pilpres 2024. "Semakin banyak orang di Indonesia dan di seluruh dunia, di wilayah Selatan dan Barat, merasa bahwa kegagalan pemerintah Barat dalam menekan Israel untuk mengakhiri perang menunjukkan adanya krisis moral yang serius. Bagaimana lagi standar ganda itu dapat dijelaskan, ketika kita diminta untuk menetapkan satu set prinsip untuk Ukraina dan satu lagi untuk Palestina?" tulisnya pada akhir April.

Dilaporkan sebelumnya, Pemerintah Indonesia telah resmi mengajukan permohonan keanggotaan untuk bergabung dengan aliansi BRICS. Permintaan itu disampaikan Menteri Luar Negeri (Menlu) RI Sugiono yang menghadiri KTT BRICS Plus di Kazan, Rusia pada 22-24 Oktober 2024.

Lewat BRICS, kata Sugiono, Indonesia ingin mengangkat kepentingan bersama negara-negara berkembang atau Global South. "Kita lihat BRICS dapat menjadi kendaraan yang tepat untuk membahas dan memajukan kepentingan bersama Global South. Namun kita juga melanjutkan keterlibatan atau engagement kita di forum-forum lain, sekaligus juga terus melanjutkan diskusi dengan negara maju," kata Sugiono.

Saat berpartisipasi dalam KTT BRICS Plus, Sugiono mengajukan, beberapa langkah konkret untuk memajukan kerja sama organisasi tersebut dengan negara-negara Global South. Pertama, menegakkan hak atas pembangunan. Kedua, mendukung sistem reformasi multilateral agar lebih inklusif, representatif, dan sesuai realitas saat ini. Ketiga adalah menjadi kekuatan untuk persatuan dan solidaritas di antara negara-negara Global South. 

Reformasi hubungan multilateral sejak lama sudah digaungkan Indonesia. Pada masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono, Indonesia kerap mengampanyekan perombakan Dewan Keamanan PBB yang merap mandul akibat hak veto anggota tetapnya. Terkait genosida Israel di Palestina, misalnya, Amerika Serikat tiga kali memveto resolusi gencatan senjata di badan PBB tersebut.

Bagaimana AS TErlibat Genosida di Gaza? - (Republika)

Saat berpartisipasi dalam KTT BRICS Plus, Sugiono juga menyampaikan pesan Presiden Prabowo Subianto tentang anti penjajahan dan penindasan. Terkait hal itu, ia menekankan komitmen dan solidaritas Indonesia untuk perdamaian global.

Menlu pun menggarisbawahi situasi yang berlangsung di Palestina dan Lebanon. "Indonesia tidak dapat berdiam diri saat kekejaman ini terus berlanjut tanpa ada yang bertanggung jawab," ujar Sugiono.

Indonesia menyerukan gencatan senjata dan penegakkan hukum internasional, serta pentingnya dukungan berkelanjutan untuk pemulihan Gaza. 

BRICS dibentuk pada 2009 atas inisiatif Rusia. Tujuan awal pembentukannya adalah mengembangkan kerja sama komprehensif di antara anggotanya. Negara itu mencakup Brasil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan. Namun BRICS memutuskan melakukan ekspansi dan sudah menerima lima anggota baru. Mereka adalah Arab Saudi, Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir. Selain Indonesia, Malaysia dan Turkiye belakangan tertarik bergabung BRICS.

Isu Palestina di BRICS...

Isu Palestina jadi salah satu sorotan pada KTT BRICS tahun ini. BRICS pada Rabu mengadopsi deklarasi bersama yang menekankan perlunya gencatan senjata di Gaza. BRICS juga menegaskan kembali dukungannya terhadap pengakuan Palestina sebagai anggota penuh PBB.

“(Pengakuan ini) dalam konteks komitmen teguh kami terhadap solusi dua negara, berdasarkan hukum internasional,” bunyi Deklarasi Kazan, yang diambil dari nama kota di Rusia yang menjadi tuan rumah konferensi tingkat tinggi (KTT) tiga hari kelompok tersebut.

Mengatakan bahwa negara-negara BRICS menegaskan kembali “keprihatinan besar” mereka terhadap situasi yang memburuk dan krisis kemanusiaan di wilayah pendudukan Palestina akibat operasi militer Israel, deklarasi tersebut mengutuk serangan Israel terhadap “operasi kemanusiaan, infrastruktur, personel dan titik distribusi.”

Deklarasi tersebut, yang diterbitkan oleh Kremlin, menyerukan penerapan penuh resolusi Dewan Keamanan PBB yang relevan dan menyambut baik upaya Mesir dan Qatar, serta upaya regional dan internasional lainnya, untuk segera mencapai gencatan senjata dan mempercepat bantuan kemanusiaan.

Sementara, Presiden China Xi Jinping meminta negara-negara anggota BRICS untuk merumuskan strategi dalam mengatasi berbagai masalah global. Xi menyampaikan hal itu dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ke-16 BRICS di Kazan, Rusia, pada Rabu (23/10), menurut pernyataan di situs Kementerian Luar Negeri China.

"Kita harus memanfaatkan sepenuhnya KTT ini, menjaga momentum BRICS, mempertimbangkan, dan menyusun strategi kita untuk mengatasi berbagai masalah yang berdampak global, menentukan arah masa depan, dan memiliki signifikansi strategis," kata Xi.

Dalam pidatonya, Xi mengatakan bahwa dirinya menyambut anggota-anggota baru BRICS. "Perluasan BRICS merupakan peristiwa penting dalam evolusi politik internasional. Pada KTT ini, BRICS memutuskan untuk mengundang banyak negara sebagai mitra," kata Xi.

Dia menambahkan bahwa BRICS dihadapkan pada pilihan-pilihan penting yang akan membentuk masa depan dunia. "Haruskah kita membiarkan dunia jatuh ke jurang kekacauan dan ketidakteraturan, atau haruskah kita berusaha mengembalikannya ke arah perdamaian dan pembangunan?" kata Xi, seraya menyebut novel "What Is to Be Done?" karya Nikolay Chernyshevsky.

“Tekad yang tak tergoyahkan dan dorongan yang menggebu-gebu dari karakter utama (novel itu) adalah kemauan keras yang kita butuhkan saat ini," katanya, menambahkan. Xi menawarkan kerja sama sebagai sarana memperkuat solidaritas di antara negara-negara di belahan bumi selatan.

China dan Brazil, kata dia, bekerja sama dengan negara-negara lain di selatan untuk memprakarsai kelompok Sahabat Perdamaian untuk mengatasi krisis Ukraina. Xi juga mengatakan bahwa BRICS harus menegakkan tiga prinsip utama: tidak memperluas medan perang, tidak meningkatkan permusuhan, dan berusaha untuk meredakan situasi dengan cepat.

"Sementara situasi kemanusiaan di Gaza terus memburuk, api perang sekali lagi berkobar di Lebanon, dan konflik meningkat di antara pihak-pihak yang bertikai," kata Xi. "Kita harus mendorong gencatan senjata segera dan mengakhiri perang."

Tentang kebangkitan negara-negara berkembang, dia menegaskan pentingnya respons positif terhadap keinginan sejumlah negara untuk bergabung dengan BRICS. "Kita harus memajukan proses perluasan keanggotaan BRICS dan pembentukan mekanisme negara mitra, serta meningkatkan representasi dan suara negara-negara berkembang dalam tata kelola global," kata Xi.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler