Tentara Israel Banyak Kena Gangguan Mental, Ada yang Bunuh Diri Hingga tak Mau Lagi Perang

Sejumlah tentara merasa bahwa mereka telah ditinggalkan oleh otoritas Israel.

AP Photo/Leo Correa
Tentara Israel membawa peti mati sersan yang tewas akibat serangan drone Hizbullah, saat pemakamannya di dekat Ramot Naftali, Israel, Senin, 14 Oktober 2024.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV --- Eliran Mizrahi, seorang ayah empat anak berusia 40 tahun, bertugas di Jalur Gaza tak lama setelah insiden 7 Oktober. Namun ia tidak kembali dalam kondisi yang sama. Demikian disampaikan oleh pihak keluarga kepada CNN  seperti dilansir the Jerusalem Post. 

Baca Juga


Menurut pihak keluarga, Mizrahi menderita PTSD (Post-traumatic stress disorder) selama enam bulan setelah kepulangannya. Ia meninggal karena bunuh diri tak lama sebelum ia seharusnya ditugaskan kembali.

"Ia berhasil keluar dari Gaza, tetapi Gaza tidak membebaskannya. Dan ia meninggal setelahnya, karena trauma pasca-perang," kata ibunya, Jenny Mizrahi, kepada CNN.

Setelah perang Israel-Hamas dan dengan ketegangan yang terus meningkat di garis depan Utara, ribuan warga Israel telah berjuang dengan kesehatan mental mereka, terutama mereka yang bertugas di IDF. Pada Januari, Walla melaporkan bahwa 1.600 tentara IDF telah menunjukkan gejala PTSD terkait pertempuran sejak dimulainya perang.

Dari jumlah tersebut, 76% kembali bertugas tempur setelah menerima perawatan dari petugas kesehatan mental yang ditugaskan di unit mereka yang ditempatkan di dekat zona pertempuran.

IDF belum memberikan angka resmi mengenai jumlah prajurit yang bunuh diri, tetapi dikatakan bahwa mereka telah bekerja tanpa lelah untuk menangani masalah kesehatan mental para prajuritnya.

"Mereka (otoritas Zionis) tidak tahu bagaimana memperlakukan mereka (tentara)," kata Jenny, yang tinggal di Ma'ale Adumim, kepada CNN. "Mereka (tentara) mengatakan perang itu sangat berbeda. Mereka melihat hal-hal yang tidak pernah terlihat di Israel."

Kesaksian para penyintas

Ketika Mizrahi sedang cuti, ia menarik diri dari pergaulan, dan menderita serangan amarah dan insomnia. "Ia selalu berkata 'tidak seorang pun akan mengerti apa yang kulihat'," kata saudara perempuannya, Shir, kepada CNN.

"Ia melihat banyak orang meninggal. Mungkin ia bahkan membunuh seseorang. (Namun) kami tidak mengajarkan anak-anak kami untuk melakukan hal-hal seperti ini," kata Jenny. "Jadi, ketika ia melakukan hal seperti ini, mungkin itu jadi syok baginya."

Selama bertugas di Gaza, Mizrahi mengendarai D-9, kendaraan lapis baja yang dapat menahan peluru dan bahan peledak.

Teman sekaligus rekan pengemudi, Guy Zaken, memberikan kesaksian di hadapan Knesset pada bulan Juni bahwa keduanya diperintahkan untuk menabrak militan, hidup dan mati, dalam jumlah ratusan pada beberapa kesempatan.

Zaken mengatakan ia tidak lagi makan daging karena hal ini. "Ketika Anda melihat banyak daging di luar, dan darah... baik darah kami maupun darah mereka (Hamas), maka itu benar-benar memengaruhi Anda saat Anda makan," katanya kepada CNN, mengacu pada tubuh.

 

Zaken lebih lanjut mengatakan kepada CNN bahwa keduanya melihat hal-hal yang sangat, sangat, sangat sulit. "Hal-hal yang sulit diterima."

Pada sidang Knesset bulan Juni, para penyintas PTSD dan veteran perang Israel-Hamas menceritakan pengalaman mereka setelah mengakhiri dinas.

"Tidak boleh ada kesenjangan antara cacat fisik dan mental. Saya sudah pernah meninggal sekali," kata Omer Amsalem, seorang penyintas PTSD yang bertempur dalam Operasi Protective Edge dalam pertemuan bulan Juni dengan Knesset.

"Mengapa saya harus datang ke sini setiap hari, berteriak dan mengeluh seperti sampah? Mengapa kita terus mendengar tentang korban trauma lain yang bunuh diri? Mengapa kami harus datang kepada Anda? Anda seharusnya datang kepada kami di rumah. Anda tidak merawat korban PTSD sebelumnya, jadi bagaimana Anda akan menangani yang terluka dari Operasi Iron Swords? Saya sudah lelah datang ke sini. Kedamaian saya hanya ada di rumah, dan itu saja yang saya butuhkan."

Walla melaporkan bahwa beberapa saksi merasa pemerintah telah melupakan mereka, dan beberapa darinya bahkan menyebut Eliran.

"Situasi keuangan saya sangat buruk—saya terlilit utang sejuta shekel. Saya tidak bisa mendapatkan pinjaman, dan sebentar lagi, saya mungkin akan berakhir di jalanan," kata Avichai Levy, seorang veteran IDF dan korban PTSD.

"Teman-teman saya berhadapan dengan serangan roket dan tembakan. Para menteri mengabaikan kami; semua orang berpaling dan menghina kecerdasan kami.

Selain itu, para penyintas mengatakan bahwa mereka takut akan direkrut lagi karena perang meluas ke Lebanon. Ada sekitar 760 permintaan bantuan psikologis sejak dimulainya perang, meskipun tidak semuanya terkait PTSD, menurut laporan dari Walla.

“Banyak dari kami sangat takut direkrut lagi untuk berperang di Lebanon,” kata seorang petugas medis IDF yang bertugas selama empat bulan di Gaza kepada CNN, yang berbicara dengan syarat anonim. “Banyak dari kami tidak mempercayai pemerintah saat ini.”

“Berapa banyak lagi orang seperti Eliran yang Anda butuhkan?” kata Levy selama pertemuan bulan Juni. “Mengapa Anda berbohong kepada kami? Tidak ada yang peduli pada kami sebelumnya, dan tidak ada yang melakukannya sekarang.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler