Gaza Dikepung Kedinginan, Kelaparan, dan Kebiadaban Israel

Musim dingin yang bakal tiba menambah nelangsa warga Gaza.

EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Ribuan pengungsi berdesakan di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024.
Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA – Saat musim dingin mendekat, ratusan ribu pengungsi di Jalur Gaza bersiap menghadapi musim kesulitan lainnya. Situasi kemanusiaan terus memburuk setiap hari karena blokade yang terus berlanjut dan kekerasan yang tiada henti, sehingga menyebabkan kelompok masyarakat yang paling rentan berada dalam kesulitan.

Baca Juga


Kantor berita WAFA melansir, banyak keluarga pengungsi terpaksa meninggalkan rumah mereka yang hancur akibat serangan udara yang terus menerus, yang mengakibatkan kehancuran besar dan banyak korban jiwa. Mereka mencari perlindungan di tenda-tenda sementara, namun tempat penampungan sementara tersebut kini sudah usang, rentan dan berisiko runtuh akibat curah hujan yang akan datang.

Hingga saat ini, Israel masih terus melakukan agresi brutal di Jalur gaza. Sejak 20 hari lalu, serangan-serangan itu dipusatkan di utara Gaza dan telah menewaskan hampir 1000 orang, termasuk anak-anak. 

Saat ini, lebih dari 100.000 penduduk di Jabalia, Beit Hanoun dan Beit Lahia menghadapi blokade tanpa henti dan penembakan terus-menerus oleh pasukan Israel, dengan pasukan yang menargetkan setiap orang yang berusaha memberikan bantuan atau menjangkau mereka yang membutuhkan.

Israel memaksa sekitar 400 ribu orang yang masih bertahan di utara Gaza untuk mengungsi dengan melakukan pengeboman terus menerus dan blokade bantuan kemanusiaan. Israel juga menghancurkan rumah sakit-rumah sakit yang tersisa di wilayah itu. Dampak gabungan dari aksi-aksi itu dinilai merupakan upaya pembersihan etnis untuk mengosongkan utara Gaza.

Warga Palestina memeriksa sisa-sisa bangunan yang hancur pasca serangan udara Israel di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 25 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)
 

Di antara mereka yang mengalami kesulitan di kamp pengungsian adalah bayi, anak-anak, wanita hamil, korban luka, orang sakit, dan orang lanjut usia. Orang-orang ini menghadapi kenyataan hidup yang suram di tenda-tenda darurat yang tersebar di seluruh Jalur Gaza, dengan cemas menghadapi musim dingin dan ketakutan yang akan datang. Situasi mereka menjadi lebih buruk karena tidak adanya kebutuhan paling dasar untuk bertahan hidup, sebuah kenyataan yang diperburuk dengan sikap diam komunitas internasional yang meresahkan.

Mohammad Al-Jarousha, yang melarikan diri bersama keluarganya dari Gaza utara ke selatan, memberikan gambaran sekilas perjuangan sehari-hari yang mereka hadapi saat tinggal di tenda kecil. “Sejak rumah kami hancur, kami belum menemukan tempat untuk dijadikan rumah. Kami mengungsi ke Rafah di Gaza selatan, berharap tenda ini bisa menjadi tempat berlindung bagi kami. Namun, sudah usang karena penggunaan terus-menerus. Tetap saja, tidak ada alternatif lain.”

“Tenda tidak dapat bertahan lebih lama lagi; setiap malam, angin mengancam tempat perlindungan kami yang rapuh, dan blokade menghentikan bantuan apa pun yang dapat meringankan penderitaan kami.” Ia mengimbau para pemimpin dunia untuk melakukan intervensi dan mengakhiri kesulitan mereka, atau setidaknya memastikan masuknya bantuan kemanusiaan yang penting.

Warga Palestina berdiri di samping jenazah anak-anak yang syahid akibat serangan udara Israel, di dalam Rumah Sakit Eropa di Khan Younis, Jalur Gaza selatan, 25 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)

Dalam situasi serupa, Ameen Al-Rai, kepala keluarga pengungsi lainnya yang menghadapi kesulitan yang sama. “Musim dingin lalu sangat brutal; hujan deras membanjiri tenda kami, dan kami mengalami hari-hari tersulit dalam hidup kami. Hawa dinginnya sangat parah, membuat kami menggigil. Kami tidak punya listrik, tidak ada pemanas, dan tidak ada harapan.”

Samar Mahmoud, seorang dokter relawan yang bekerja di kamp pengungsi, menggarisbawahi parahnya krisis kesehatan di dalam tenda. “Air hujan telah membanjiri tenda, membuatnya tidak dapat dihuni, dan sebagian besar warga kehilangan harta benda mereka. Orang-orang mengalami kondisi yang sangat keras yang membahayakan nyawa dan kesehatan mereka. Bayi dan orang lanjut usia sangat rentan dalam kondisi yang penuh tantangan ini.”

Mahmoud memperingatkan bahwa tidak adanya layanan kesehatan dan kekurangan obat-obatan dapat mengakibatkan kematian pada anak-anak dan orang lanjut usia, terutama karena kondisi gizi yang buruk. Dia menggambarkan situasi ini sebagai bencana kemanusiaan yang memerlukan intervensi segera.

Ribuan pengungsi berkerumun di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)

Jalur Gaza telah menjadi sasaran blokade ketat oleh pendudukan Israel sejak tahun 2007, yang mengakibatkan hancurnya infrastruktur dan meningkatnya angka pengangguran dan kemiskinan. Selama bertahun-tahun, berbagai operasi militer dan serangan gencar telah dilakukan terhadap wilayah tersebut, yang terakhir terjadi pada bulan Oktober 2023, yang melibatkan serangan udara besar-besaran yang menyebabkan kehancuran yang luas. Ribuan keluarga terpaksa mengungsi, dan seluruh lingkungan menjadi reruntuhan, sehingga tidak dapat dihuni.

Keterkejutan Sekjen PBB...

 

Dalam laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa, Sekretaris Jenderal António Guterres mengungkapkan keterkejutannya atas tingkat pembunuhan, cedera, dan kehancuran yang mengerikan di Gaza utara, dan menggambarkan situasi warga sipil Palestina yang terjebak di sana sebagai “tak tertahankan.”

Dia menambahkan bahwa agresi Israel yang sedang berlangsung memperburuk penderitaan warga sipil yang terjebak, membuat mereka kehilangan tempat tinggal dan menjadi sasaran pemboman terus-menerus, sementara komunitas internasional hanya menyaksikan tanpa mengambil tindakan apa pun untuk menghentikan tragedi tersebut. Saat musim dingin mendekat, para pengungsi menghadapi kenyataan yang menantang di tenda mereka, yang hanya memberikan perlindungan minimal.

Masyarakat Gaza mencari kehangatan dan perlindungan, serta komunitas internasional untuk memperjuangkan hak-hak mereka. Namun, hingga hari ini, mereka hanya menerima kesunyian dunia. Ketidakpedulian terhadap penderitaan mereka hanya menambah keputusasaan mereka, mengubah musim dingin menjadi musim kematian dan kesulitan.

Sementara, serangan terkini Israel pada Ahad malam menyebabkan sembilan warga Palestina, termasuk tiga jurnalis syahid dan beberapa lainnya terluka. Mereka jadi korban serangan udara Israel terhadap sebuah sekolah yang menampung pengungsi di kamp pengungsi Al-Shati, sebelah barat Kota Gaza.

“Sekolah Asmaa menjadi sasaran pesawat tempur Israel. Sejumlah besar orang yang terluka telah diangkut ke Rumah Sakit al-Ahli. Beberapa orang yang terluka masih terjebak. Sekolah ini melindungi orang-orang dari Jabalia dan wilayah barat Kota Gaza,” kata Hussein al-Halabi, seorang petugas medis Palestina. Sekolah Asma, yang selama ini berfungsi sebagai tempat perlindungan bagi mereka yang kehilangan tempat tinggal akibat agresi Israel yang sedang berlangsung.

Setidaknya 53 orang syahid akibat serangan Israel di Gaza pada Ahad. Setidaknya 46 dari mereka tewas di wilayah utara. Ketiga jurnalis yang syahid diidentifikasi sebagai Sa'ed Radwan, Haneen Baroud dan Hamza Abu Salima. 

Ini menandai kedua kalinya sekolah tersebut menjadi sasaran pasukan pendudukan Israel, setelah serangan sebelumnya terjadi pada tanggal 19 bulan ini, yang juga mengakibatkan banyak korban jiwa. Puluhan warga sipil, termasuk orang tua dan anak-anak, juga ditahan dan dipaksa telanjang oleh pasukan Israel di kamp pengungsi Jabalia, di Jalur Gaza utara.

Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, 42,924 warga Palestina telah terbunuh, dan 100,833 terluka dalam genosida Israel yang sedang berlangsung di Gaza sejak 7 Oktober 2023. Selain itu, setidaknya 11.000 orang belum ditemukan, diperkirakan tewas di bawah reruntuhan rumah mereka di seluruh Jalur Gaza.

Organisasi-organisasi Palestina dan internasional mengatakan bahwa mayoritas dari mereka yang terbunuh dan terluka adalah perempuan dan anak-anak. Perang Israel telah mengakibatkan kelaparan akut, sebagian besar di Gaza utara, yang mengakibatkan kematian banyak warga Palestina, kebanyakan anak-anak. 

Agresi Israel juga mengakibatkan hampir dua juta orang terpaksa mengungsi dari seluruh Jalur Gaza, dengan sebagian besar pengungsi terpaksa mengungsi ke kota Rafah di bagian selatan yang padat penduduknya dekat perbatasan dengan Mesir. Belakangan, ratusan ribu warga Palestina mulai berpindah dari selatan ke tengah Gaza untuk terus mencari keselamatan.

Hantu kelaparan...

Setiap hari, Yousuf Maher, seorang pengungsi Palestina yang tinggal di Deir al-Balah, Jalur Gaza tengah, bergegas mengantri untuk membeli roti untuk anak-anaknya. Namun, ayah empat anak berusia 39 tahun ini tidak bisa membeli roti sedikit pun selama lebih dari sepekan karena kekurangan tepung dan persediaan makanan di tengah blokade ketat yang diberlakukan Israel.

“Karena perang yang sedang berlangsung, kami menderita kemiskinan dan kekurangan makanan, air, dan kebutuhan lainnya,” keluh pria tersebut, seraya menambahkan bahwa situasinya semakin memburuk dari hari ke hari.

“Dulu saya membeli 25 kilogram tepung hanya seharga tujuh dolar AS, tapi sekarang harganya lebih dari 50 dolar, yang tidak terjangkau bagi saya karena saya tidak bekerja dan tidak punya uang (cukup),” keluh Maher sambil berkata hampir tidak dapat menghidupi keluarganya dan anak-anaknya mungkin mati kelaparan.

Menurut Biro Pusat Statistik Palestina, indeks harga konsumen di Gaza meningkat tajam sebesar 283 persen sejak Oktober 2023 hingga akhir September 2024 akibat perang.

Pada Kamis, Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa mengatakan di platform media sosial X bahwa, dibandingkan tahun lalu, harga kentang di Gaza selatan bisa mencapai 5,7 kali lebih mahal, sementara di Gaza utara harganya mencapai 66,7 kali lebih mahal.

Ribuan pengungsi berkerumun di depan toko roti di tengah kelaparan dan mahalnya harga-harga akibat blokade Israel di Khan Yunis, Gaza selatan. Jalur, 24 Oktober 2024. - (EPA-EFE/HAITHAM IMAD)

Di Gaza, lebih dari 1 juta orang tidak menerima jatah makanan pada bulan Agustus, dan jumlahnya meningkat menjadi lebih dari 1,4 juta pada bulan September, kata Philippe Lazzarini, komisaris jenderal Badan Bantuan dan Pekerjaan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) melalui akun X miliknya pada awal Oktober.

“Lebih dari 100.000 metrik ton pasokan makanan terdampar di luar Gaza karena pembatasan akses, ketidakamanan, kerusakan jalan, dan pelanggaran hukum dan ketertiban,” kata pejabat PBB tersebut.

“Berkali-kali kelaparan menyebar di Gaza. Hal ini sepenuhnya disebabkan oleh ulah manusia,” kata Lazzarini. “Memilih perdamaian sebagai jalan ke depan adalah pilihan yang berani, inilah saatnya,” tambahnya.

Kelaparan Esktrem di Gaza - (Republika)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler