Terorisme dan Dinamika Penanggulangannya: Sebuah Kaca Mata Umum
Opini rilis terkait Terorisme dan Dinamika Penanggulangannya: Sebuah Kaca Mata Umum
Terorisme sudah menjadi hal yang tidak misterius lagi. Kendati demikian penanganannya seperti masih mencari jati diri. Formula terbaik apa yang dapat ditempuh untuk penangananan terorisme agar dapat tertanggulangi dengan baik? Mungkin perumusan secara nasional, seperti rencana aksi nasional penanganan dan penanggulangan ekstrimisme dapat menjadi pondasi kokoh, tetapi apakah cukup?
Sudah disepakati secara luas bahwa akar dari terorisme adalah radikalisme dan ekstrimisme yang akhirnya menjadi aksi nyata. Seperti yang dikatakan oleh Kol. (CZI). Yaenurendra H.A.P., S.T., MMgt. Stud., Kasubdit Kerja Sama Regional BNPT RI/Plt. Pusdalsis Terorisme, pada sebuah sesi kuliah tamu di Universitas Kristen Indonesia, 23 Oktober 2024. Teroris pun tidak mau menjadi pelaku kejahatan sebenarnya. Tetapi, karena kondisi yang dialami, sehingga mempunyai ketidakpuasan atau kebencian yang akhirnya berkembang menjadi pikiran radikalisme dan ekstrimisme, sehingga menjadi bibit dan akhirnya terwujud menjadi aksi nyata terorisme.
Indonesia, sejatinya sudah merumuskan bagaimana cara menanggulangi terorisme di wilayahnya. Bahkan, memimpin bagaimana diskusus penanggulangan terorisme di Kawasan Asia Tenggara. Meskipun demikian, rasanya terorisme masih ditanggulangi seperti itu saja. Ego sektoral, birokrasi, dan dinamika lapangan yang dinamis dan rumit juga mempengaruhi seberapa efektif dan efisien rencana aksi yang sudah direncanakan.
Oleh karena itu, dinamika penanggulangan terorisme, khususnya di Indonesia, masih sangat cair dan dinamis, seperti bagaimana menanggulangi radikalisme dan terorisme di daerah-daerah, lalu untuk wanita dan anak-anak, serta bagaimana menghadirkan inklusivitas agar kue kemakmuran dapat terbagi bagi golongan ini juga sebagai akselerator reintegrasi dan rehabilitasi bagi para pelaku dan korban.
Pada akhirnya, terorisme adalah suatu yg kompleks, dan tidak dapat dilihat lewat satu dimensi, yg pasti pemahaman politik yg baik, sudah menuntaskan 50% pekerjaan dari radikalisme ekstremisme, tanpa mengurangi kebebasan berpikir, pun jika ada, prinsipnya melihat teroris sebagai korban, mengpa terpapar? Mengapa menjadi radikal, sehingga afirmasi bukan negasi yang harus dikedepankan untuk proses reintegrasi dan rehabilitasi dari kerangka penanggulangan terorisme.