Memahami Dasar-Dasar Ilmu Tafsir Alquran
Memahami tafsir Alquran perlu agar bisa memetik hikmah dari kitab suci tersebut.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tafsir secara etimologi bahasa berasal dari kata al-fasr, yang berarti ‘menyingkap sesuatu yang tertutup’. Adapun secara terminologi, tafsir adalah penjelasan makna-makna Alquran. Demikian disarikan dari kitab Ushul fit Tafsir karya Ibnu Utsaimin.
Saat ini, ilmu tafsir memiliki pembahasan khusus dari ilmu Alquran. Ringkasnya, ilmu Alquran adalah ilmu yang berhubungan dengan Alquran, teks atau nash itu sendiri, sedangkan tafsir lebih pada menyingkap makna yang terkandung dalam nash itu sendiri.
Tentang awal mula keilmuan tafsir. Kajian tafsir dalam Islam sudah dimulai sejak ayat pertama diturunkan. Rasulullah SAW merupakan orang pertama yang mempelajari setiap kata dari ayat Alquran, baik dari Allah SWT langsung atau dengan perantara guru beliau SAW, yakni malaikat Jibril.
Nabi Muhammad SAW sebagai utusan Allah kepada jin dan manusia menyampaikan kepada para sahabatnya dengan penuh amanah. Hal itu dilakukannya terutama dalam majelis-majelis ilmu yang dihadiri para sahabat.
Akan tetapi, tidak setiap kata dibahas oleh beliau SAW, melainkan kata-kata yang belum dipahami oleh para sahabat atau kalimat yang bermasalah bagi mereka. Misalnya, makna ar-romyu (lemparan) dan kata zhulm (kezaliman).
Sebab, para sahabat merupakan orang-orang yang hidup pada zaman ketika bahasa Arab sedang di puncak kefasihan, bahkan di segala sisi linguistiknya. Para sahabat mengambil (talaqqi) lafazh Alquran dari Rasulullah SAW. Mereka juga memahami makna dari setiap lafazh tersebut.
Ibnu Taimiyyah dalam Ushul fit Tafsir berkata, “Secara kebiasaan, suatu kaum yang membaca suatu kitab dalam bidang ilmu tertentu, seperti kedokteran dan matematika, tidak mungkin mereka tidak mencari penjelasan (maknanya). Lalu bagaimana dengan Kalam Allah SWT itu adalah sandaran utama mereka, yang menentukan keselamatan, kebahagiaan, tegaknya agama dan kehidupan dunia mereka?”
Abu Abdirrahman as-Sulami pernah berkata, “Telah menceritakan kepada kami orang-orang yang mengajari kami bacaan Alquran, seperti Utsman bin Affan, Abdullah bin Mas’ud dan selain keduanya, bahwa jika mereka mempelajari dari Nabi SAW 10 ayat, maka mereka tidak melampauinya hingga mempelajari ilmu dan amal di dalamnya. Mereka berkata, ‘Maka kami mempelajari Alquran dengan mengambil ilmu dan mengamalkannya secara sekaligus.’”
Generasi sahabat kemudian berganti dengan generasi tabiin. Generasi tabiin berganti dengan generasi tabi` tabiin hingga seterusnya. Orang-orang Arab kian bersentuhan dengan masyarakat bukan Arab (`ajam). Maka wajar bila sebagian kosa kata (mufradat) Alquran dan gaya bahasanya (uslub) menjadi sulit dipahami sebagian orang Muslim yang `ajam.
Maka dari itu, muncul tafsir-tafsir Alquran. Dimulai dari tafsir kosa kata (mufradat) yang kemudian dikenal dengan ghoribul Alquran, yakni kata-kata yang langka dalam Alquran.
Adapun tafsir secara utuh yang sampai di tangan kita--dari surah al-Fatihah sampai surah an-Naas--pertama kali ditulis oleh ulama asal Thabaristan (wilayah selatan Laut Kaspia). Namanya adalah Abu Ja’far Muhammad bin Jarir at-Thabariy. Sosok yang berjulukan imamul mufassirin (imam para ahli tafsir) ini wafat pada 310 Hijriah. Kitab tafsirnya berjudul Jami' al-Bayan fi Ta'wil al-Qur'an.
Perkembangan ilmu tafsir Alquran hingga kini adalah karunia Allah SWT. Dalam Alquran pun sudah ditegaskan, sebagaimana terkandung dalam surah al-Qiyamah ayat 17-19, yang artinya, “'Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya (Alquran di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kami-lah penjelasannya.”
Dari masa ke masa sampai abad ke-14 Hijriyah, kitab tafsir dengan berbagai corak dan metode ditulis dan tersebar di seluruh penjuru dunia. Bahkan, tidak hanya dalam bahasa Arab saja. Tafsir juga ditulis dengan selain bahasa Arab, di antaranya adalah bahasa Indonesia, bahkan bahasa daerah di wilayah Tanah Air.