Indonesia dan Singapura Perpanjang Kerja Sama Keuangan, Ini Dampaknya untuk Ekonomi!

Stabilitas moneter Indonesia dan Singapura mendapatkan perhatian positif.

IST
Di tengah pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi pada perdagangan Senin (4/11/2024), stabilitas moneter Indonesia dan Singapura mendapatkan perhatian positif. (ilustrasi)
Rep: Dian Fath Risalah Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di tengah pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang terkoreksi pada perdagangan Senin (4/11/2024), stabilitas moneter Indonesia dan Singapura mendapatkan perhatian positif setelah kedua negara mengumumkan perpanjangan kerja sama keuangan bilateral pada Senin kemarin.

Baca Juga


Kerja sama tersebut akan berlangsung hingga 2027 dan bertujuan untuk memperkuat stabilitas moneter kedua negara, dengan fokus pada pengurangan ketergantungan terhadap dolar AS serta menjaga likuiditas dalam mata uang asing.

Menurut Financial Expert Ajaib Sekuritas, Ratih Mustikoningsih, langkah ini sangat signifikan dalam konteks perekonomian Indonesia, yang belakangan ini menghadapi tekanan dari fluktuasi nilai tukar rupiah. "Kerja sama ini akan memperkuat stabilitas nilai tukar dan mendukung ketahanan sistem keuangan Indonesia, terutama dalam menghadapi ketidakpastian global," ujarnya dalam keterangan, Selas (5/11/2024).

Pada perdagangan Senin, IHSG ditutup terkoreksi 0,34 persen atau turun 25,75 poin ke level 7.479. Penurunan ini dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah, yang tercatat di Rp 15.751 per dolar AS pada 4 November. Meski demikian, investor asing tercatat masih mencatatkan inflow di pasar ekuitas domestik sebesar Rp 260,89 miliar, dengan total inflow tahun ini mencapai Rp 38,51 triliun.

Di sisi lain, kebijakan yang diambil oleh Bank Indonesia (BI) dan Bank Sentral Singapura (Monetary Authority of Singapore/MAS) terkait perpanjangan Local Currency Bilateral Swap Agreement (LCBSA) dan Bilateral Repo Agreement (BRA) menjadi sinyal positif bagi kedua negara. Kerjasama tersebut diyakini dapat menurunkan ketergantungan pada dolar AS dan menjaga stabilitas sistem keuangan dengan memperkuat cadangan devisa.

“Langkah tersebut merupakan bentuk sinergi yang baik dalam menjaga stabilitas ekonomi kedua negara di tengah ketegangan global, serta dampak dari potensi kebijakan moneter The Fed yang bisa mempengaruhi aliran modal internasional,” tambah Ratih.

Secara global, pasar saham di Wall Street menunjukkan pelemahan pada awal pekan ini, dengan pelaku pasar menunggu hasil pemilu AS dan keputusan Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga. Sementara itu, di Asia, inflasi tahunan Korea Selatan menurun ke level 1,3 persen pada Oktober 2024, yang menambah sinyal melemahnya daya beli di kawasan tersebut.

Meskipun pasar domestik mengalami koreksi, sejumlah saham pilihan seperti ASII (Astra International Tbk), LSIP (PP London Sumatra Indonesia Tbk) dan ACES (Ace Hardware Indonesia Tbk) masih menjadi perhatian para investor, dengan potensi rebound yang terlihat pada beberapa saham besar. Sebagai contoh, ASII, yang mencatatkan kenaikan laba bersih 1 persen yoy pada 9M24, berpotensi mengalami reversal dengan pola hammer di area support, sementara LSIP dan ACES juga menunjukkan indikasi bullish continuation.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler