Kabinet Perang Israel Pecah, Pakar Sebut Netanyahu Segera Jatuh

Ambisi Netanyahu untuk berperang nampaknya mulai mengalami penentangan.

Debbie Hill /Pool via AP
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu, berbicara dengan Menteri Pertahanan Yoav Gallant (kiri) di parlemen Israel, Senin, 28 Oktober 2024.
Rep: Fuji Eka Permana Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA --  Pakar Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI) Yon Machmudi menyoroti ketegangan terakhir yang terjadi di internal Kabinet Perang Israel. Seperti diketahui, Perdana Menteri Benjamin Netanyahu baru saja memecat Menteri Pertahanan Yoav Gallant pada Selasa (5/11/2024) waktu setempat yang disebut-sebut menginginkan gencatan senjata. 

Baca Juga


Menurut Yon, terjadi perpecahan di internal Pemerintahan Israel. Perpecahan yang terjadi di negeri zionis tersebut menunjukan bahwa Israel sedang tidak solid dalam melanjutkan peperangan di Gaza, Palestina.

Yon menegaskan, ambisi Benjamin Netanyahu untuk terus berperang nampaknya mulai mengalami penentangan. Dia mengungkapkan, beberapa pejabat Israel mulai menunjukkan sikap untuk mengakhiri peperangan. 

"Dengan dipecatnya Yoav Gallant (dari Menteri Pertahanan Israel) maka diprediksi bahwa koalisi pemerintahan Netanyahu goyah dan diprediksi Netanyahu akan jatuh," ujar Yon.

Dalam sebuah pernyataan, Netanyahu mengungkap, perselisihan strategis yang substansial telah muncul antara dirinya dan Gallant baru-baru ini. Bulan lalu, media Israel melaporkan bahwa Netanyahu berusaha memecat Gallant, dengan alasan, Gallant menghalangi militer Israel untuk memperluas serangan di Lebanon.

Netanyahu menekankan pentingnya kepercayaan penuh antara seorang perdana menteri dan seorang menteri keamanan selama perang (genosida).  Dia mengungkapkan, "Sayangnya, kepercayaan ini telah terkikis, dan upaya untuk menjembatani kesenjangan telah gagal."

Ia menegaskan bahwa perselisihan tersebut tidak hanya dipublikasikan dengan "cara yang tidak dapat diterima," tetapi juga sampai ke lawan "Israel", yang telah "memperoleh keuntungan besar" dari masalah tersebut.

Masalah kepercayaan tersebut membuat Netanyahu sulit untuk mempertahankan hubungan kerja yang ada. Netanyahu menyatakan, bagaimana krisis ini telah menjadi pengetahuan publik dan mencegah pengelolaan yang tepat dari upaya perang.

Ia melanjutkan, mayoritas anggota kabinet pemerintah dan keamanan merasakan hal yang sama, tulis Al-Mayadeen.

Israel Katz, politisi dan mantan menteri urusan internasional, keuangan, dan intelijen, akan menggantikan Gallant sebagai menteri keamanan. Netanyahu menggambarkan Katz sebagai "buldoser" dengan tanggung jawab dan tekad kuat. Dia memuji Katz sebagai pemimpin perang dan genosida yang tengah dilakukan Israel.

Netanyahu juga mengungkapkan bahwa ia telah meminta mantan Menteri Kehakiman Gideon Saar untuk bergabung dengan kabinet sebagai menteri luar negeri. Netanyahu menyatakan keyakinannya bahwa kehadiran Saar akan meningkatkan stabilitas kabinet dan koalisi, yang dianggapnya penting selama perang.

"Saya yakin langkah-langkah ini akan memperkuat pemerintah dan kabinet, memastikan mereka bekerja sama secara harmonis demi keamanan Israel dan kemenangan bangsa," ungkap Netanyahu.

 

Media Israel melaporkan beberapa hari yang lalu bahwa Kepala Staf Angkatan Darat Israel Herzi Halevi dan Menteri Keamanan Yoav Gallant meningkatkan tekanan pada Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk mengamankan perjanjian gencatan senjata.

Menurut The Jerusalem Post, militer Israel berusaha untuk bergerak lebih dekat ke gencatan senjata di Gaza dan Lebanon, karena mereka percaya bahwa hanya keuntungan militer yang terbatas dapat dicapai di tengah meningkatnya frustrasi dari jumlah korban yang tercatat saat IDF yang diyakini sebagai entitas teroris menghadapi perlawanan yang kuat di semua lini.

Laporan tersebut selanjutnya menyatakan bahwa Halevi dan Gallant telah mendesak Netanyahu untuk mengejar gencatan senjata yang akan memfasilitasi pengembalian 101 tawanan Israel, baik yang hidup maupun yang mati, yang ditahan oleh faksi-faksi Perlawanan Palestina di Gaza.

Dalam pidatonya di upacara wisuda perwira pada Kamis, kedua pejabat senior militer tersebut menekankan, “Waktu sangat penting untuk memulangkan para sandera, yang mana sebagian besar pejabat kini sepakat bahwa hal itu hanya akan terjadi, jika memang terjadi, melalui semacam kesepakatan dengan Hamas.”

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler