Kejahatan Israel yang Sengaja Buat Warga Gaza Kelaparan Terbongkar Total

Kelaparan yang terjadi di Gaza, Palestina, terbukti sengaja dibuat oleh Israel.

EPA-EFE/HAITHAM IMAD
Anak-anak berdiri di pertemuan pengungsi Palestina untuk mengumpulkan makanan yang disumbangkan oleh kelompok amal, di kamp Khan Yunis, Jalur Gaza selatan, 15 Juni 2024.
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, ISTANBUL - Kelaparan yang terjadi di Gaza, Palestina, terbukti sengaja dibuat oleh Israel. Kepala badan PBB untuk pengungsi Palestina (UNRWA) mengatakan, Israel mengurangi jumlah harian kendaraan bantuan kemanusiaan yang diizinkan masuk ke Jalur Gaza menjadi hanya 30 truk pada Oktober.

Baca Juga


“Ini adalah jumlah terendah dibandingkan waktu-waktu sebelumnya, dan perlu waktu lama untuk mengembalikan bantuan ke tingkat pada awal perang,” kata kepala UNRWA, Philippe Lazzarini, di X, Selasa (5/11/2024).

Sejak perang meletus pada 7 Oktober, Israel memberlakukan penutupan ketat di perbatasan Gaza. Israel membatasi barang-barang esensial dan memberlakukan pembatasan signifikan pada bantuan kemanusiaan sehingga menciptakan kondisi hidup yang parah.

Lazzarini menekankan bahwa 30 truk sehari tidak dapat memenuhi kebutuhan lebih dari dua juta orang, banyak di antaranya yang kelaparan, sakit, dan berada dalam kondisi putus asa. Ia mencatat bahwa truk-truk ini hanya mewakili 6 persen dari pasokan (komersial dan kemanusiaan) yang diizinkan masuk ke Gaza sebelum perang.

Israel terus melanjutkan serangan menghancurkan di Gaza sejak serbuan tahun lalu oleh Hamas, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang meminta gencatan senjata segera dilakukan.

Sudah hampir 43.400 orang, sebagian besar adalah perempuan dan anak-anak, terbunuh sejak saat itu. Sementara lebih dari 102.200 lainnya mengalami luka-luka, menurut otoritas kesehatan setempat. Di Mahkamah Internasional, Israel juga menghadapi kasus genosida atas tindakannya di Gaza.

 

Di lain sisi, Amerika Serikat (AS) terus mengulang-ulang narasi dengan memperingatkan Iran agar tidak merespons serangan Israel beberapa waktu lalu. Hal itu kembali disampaikan Pentagon (markas besar Departemen Pertahanan AS) pada Senin (4/11/2024). Lantas, benarkah narasi yang berulang tersebut bentuk ketakutan AS dan Israel terhadap serangan balasan dari Iran?

"Saya rasa, sebagai Pemerintah AS, kami sudah sangat jelas bahwa menurut kami Iran tidak perlu merespons tindakan balasan Israel," kata juru bicara Pentagon, Pat Ryder, kepada wartawan. "Kalau mereka memilih untuk melakukannya, kami, tentu saja, akan mendukung Israel dan pertahanannya," katanya menambahkan.

Ryder juga mengatakan bahwa ia tidak mau berspekulasi soal apakah Iran akan mengambil tindakan atau tidak. "Saya juga tidak akan membahas penilaian intelijen," ujarnya.

Pada Jumat (1/11/2024) malam, Pentagon mengumumkan bahwa Menteri Pertahanan Lloyd Austin telah memerintahkan pengerahan kapal perusak pertahanan rudal balistik tambahan, skuadron jet tempur, dan pesawat tanker ke Timur Tengah. Selain itu, kata Pentagon, AS mengerahkan sejumlah pesawat pengebom jarak jauh B-52 milik Angkatan Udara ke kawasan tersebut.

Pasukan AS tersebut, kata Ryder, akan mulai berdatangan dalam beberapa bulan mendatang. "Gugus Tugas Kapal Induk USS Abraham Lincoln bersiap untuk berangkat, dan beberapa sudah mulai bergerak menuju wilayah tersebut, yang ditandai dengan kedatangan pengebom B-52 akhir pekan ini," ujarnya.

AS mengerahkan pasukan ke kawasan itu untuk menjaga kemampuan perlindungan pasukan AS dan mendukung pertahanan Israel. "Kami siap mendukung pertahanan Israel dan mendorong Iran untuk tidak melancarkan serangan balasan dalam bentuk apa pun," kata Ryder.

 

Dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Al Mayadeen, Kepala Dewan Strategis Hubungan Luar Negeri Iran Kamal Kharrazi, mengartikulasikan sikap Iran terhadap ketegangan regional, menekankan kesiapan negara itu untuk menanggapi setiap eskalasi sambil mengungkapkan keinginan untuk menghindari perang lebih lanjut.

Dikutip dari Kantor Berita Mehr, Sabtu (2/11/2024), dia menyoroti kemampuan militer Iran dan potensi perubahan kebijakan nuklirnya dalam menanggapi “ancaman eksistensial” yang dirasakan, membingkai diskusi dalam konteks yang lebih luas tentang sikap geopolitik Iran dan komitmennya terhadap kedaulatan nasional.

Dalam konteks ini, Kharrazi menekankan bahwa Iran telah memamerkan kemampuan penangkalannya melalui Operasi Janji Sejati II, di mana Iran meluncurkan ratusan rudal balistik ke Israel, dan mencatat bahwa untuk saat ini, hal itu tergantung pada Zionis, jika mereka memilih untuk melanjutkan tindakan permusuhan mereka, Iran akan merespons dengan tepat.

Menanggapi pertanyaan tentang kemungkinan perubahan doktrin nuklir Iran, Kharrazi mengindikasikan bahwa perubahan semacam itu mungkin saja terjadi, terutama jika Iran menghadapi “ancaman eksistensial”.

Dia menegaskan bahwa Iran memiliki kemampuan teknis untuk memproduksi senjata nuklir dan tidak menemui hambatan yang berarti dalam hal ini. Namun, dia menekankan bahwa Fatwa yang dikeluarkan oleh Pemimpin Besar Revolusi Islam Ayatollah Seyyed Ali Khamenei menjadi satu-satunya kendala yang menghalangi Iran untuk mengembangkan persenjataan nuklir.

Pejabat Iran tersebut juga menyebutkan bahwa perubahan kebijakan akan berlaku untuk proyektil. Kharrazi mencatat bahwa kemampuan rudal Iran sudah sangat terkenal, yang telah ditunjukkan dalam berbagai operasi.

Dia menyatakan bahwa fokus saat ini adalah pada jarak tempuh rudal yang digunakan sejauh ini, di mana mereka [Iran] telah mempertimbangkan kekhawatiran negara-negara Barat.

Namun, Kharrazi menyatakan bahwa jika negara-negara Barat tidak mengakui kekhawatiran Iran, terutama mengenai kedaulatan dan integritas teritorialnya, Iran akan mengabaikan kekhawatiran negara-negara Barat. Oleh karena itu, ada kemungkinan Iran akan mengembangkan dan memperluas jangkauan rudalnya.

Kharrazi berbicara tentang perang yang “tidak seimbang” di wilayah tersebut, mengatakan kepada Al Mayadeen bahwa perang tersebut “dipimpin oleh Israel, yang melakukan pembersihan etnis dan pemusnahan orang-orang,” dan memerangi mereka yang mempertahankan hidup, eksistensi, dan tanah mereka.

Dia menyatakan harapannya bahwa perang akan segera berakhir, dan menegaskan bahwa Israel terlibat dalam “pembersihan etnis yang mengerikan” sementara secara keliru meyakini bahwa mereka telah mencapai kemenangan.

Kharrazi menekankan bahwa tindakan semacam itu tidak dapat dianggap sebagai kemenangan yang sebenarnya, melainkan sebagai pelanggaran besar terhadap hak asasi manusia.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler