Masa Kecil Malcolm X, Muslim-Pejuang dari Amerika
Sejak kecil, Malcolm X sudah merasakan sentimen sosial akibat rasialisme.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh Afro-Amerika ini lahir dengan nama Malcolm Little di Omaha, Nebraska, Amerika Serikat (AS), pada 19 Mei 1925. Sejak memeluk Islam dan aktif dalam organisasi Nation of Islam, ia menukar nama belakangnya menjadi X. Dalam kata-katanya sendiri, seperti dikutip dari buku The Autobiography of Malcolm X (1965): "Bagi saya, nama belakang 'X' mengganti (nama) 'Little' yang disematkan kaum kulit putih pemilik budak. Dahulu, seorang setan kulit putih memaksakan 'Little' sebagai nama nenek moyang ayahku."
Anak ketujuh dari 11 bersaudara ini tumbuh di lingkungan kelas bawah. Sejak kecil, dirinya sudah merasakan sentimen sosial akibat rasialisme. Kedua orang tuanya, Earl Little dan Louise Helen Norton Little, pernah menjadi aktivis Asosiasi Perbaikan Hidup Universal Kaum Kulit Hitam (UNIA). Mereka selalu mendidik Malcolm dan saudara-saudaranya agar tidak pernah merasa inferior dengan identitas rasialnya.
AS pada paruh kedua 1920-an menghadapi berbagai persoalan ekonomi-sosial yang belum pernah dirasakan sebelumnya. Pada 1929, Negeri Paman Sam terdampak krisis finansial hebat, the Great Depression. Bagi penduduk kulit hitam AS, imbas yang diterima berlipat ganda. Tidak hanya kesulitan mendapatkan pekerjaan atau penghidupan yang layak, mereka pun menghadapi sentimen kebencian dari kaum ekstrem pendukung superioritas kulit-putih.
Earl Little dan keluarganya terpaksa sering berpindah tempat tinggal. Sebab, mereka kerap diganggu kelompok-kelompok ekstrem, terutama Klu Klux Klan (KKK) dan Black Legion. Grup yang terakhir itu bahkan tega membakar habis rumah Little pada 1929. Dan, itu bukan kabar buruk terakhir dalam memori masa kecil Malcolm.
Pada suatu hari, Earl Little tewas dalam sebuah kecelakaan. Sebagai bocah berusia enam tahun, Malcolm hanya bisa bersedih mendengar kabar kematian ayahnya. Belakangan, ketika berumur remaja dirinya mendapati desas-desus yang menyebutkan, musibah yang telah merenggut nyawa bapaknya itu merupakan skenario Black Legion. Isu tersebut kian memupuk dendam dalam diri Malcolm terhadap orang-orang kulit putih.
Bagaimana tidak? Kehidupan keluarga Little menjadi makin susah sepeninggalan Earl. Untuk menafkahi anak-anaknya, Louise Little bekerja ekstra keras, dari subuh hingga malam pekat. Akhirnya, pada 1938 ibunda Malcolm mengalami depresi berat. Malcolm dan saudara-saudaranya sampai-sampai diungsikan ke sebuah panti asuhan, sedangkan Louise sendiri dirawat di rumah sakit bertahun-tahun lamanya.
Dalam menjalani masa anak-anak hingga remaja, Malcolm sesungguhnya mencintai dunia pendidikan. Ia gemar belajar dan tergolong siswa yang cemerlang di sekolah. Cita-citanya menjadi seorang pengacara atau pakar hukum. Namun, tak sedikit guru yang berkulit putih memandangnya sebelah mata.
Bahkan, pernah seseorang dari mereka menyuruh Malcolm agar melupakan cita-citanya karena warna kulitnya yang gelap. Kecewa dengan pelecehan tersebut, ia pun meninggalkan bangku sekolah formal. Lebih baik belajar dengan mental merdeka daripada bersekolah dengan jiwa bak seorang budak di hadapan majikan! Alhasil, sejak itu dirinya menjadi seorang autodidak sepanjang hayat.