Ketika Pasukan Salib Merebut Masjid Al Aqsa
Sejarawan Muslim menyebut Pasukan Salib sebagai bangsa Frank, tak merujuk pada agama.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Umumnya sejarawan Muslim pada akhir Abad Pertengahan menilai Perang Salib sebagai serangan brutal yang dilakukan pihak pengacau dari luar (alien intruders). Tentara Salib menyerbu dan membantai penduduk lokal di Baitul Makdis (Yerusalem), Muslim maupun non-Muslim.
Ya, sasaran kaum Salibis bukan hanya orang Islam di tanah suci yang berlokasi di negeri Palestina tersebut. Kaum Yahudi dan bahkan orang Kristen (Ortodoks) pun turut menjadi korban kekejian mereka. Sejarawan tak akan luput, misal, dalam Perang Salib IV pada 1204, pasukan dari negeri-negeri Eropa-Barat/Katolik (sering pula disebut Latin) menyerbu Konstantinopel dan membunuh warga kota itu secara kejam, meskipun mereka toh beragama Kristen seperti mereka.
Ya, Perang Salib bukanlah sebuah pertempuran dengan durasi beberapa hari atau pekan. Ini adalah serangkaian perang panjang yang terjadi secara periodik, antara tahun 1095 dan 1291 Masehi.
Palagan yang memakan waktu nyaris dua abad itu dilatari ambisi para pemimpin agama dan politik Eropa Barat/Katolik. Mereka berhasrat merebut Baitul Makdis dari tangan Muslimin.
Pasukan Salib I berhasil memasuki Baitul Makdis pada 1099. Kemudian, mereka melakukan pembantaian besar-besaran terhadap penduduk kota suci itu.
Haddad Wadi Z dalam artikelnya, "The Crusaders through Muslim Eyes", menjelaskan bahwa para ahli sejarah juga menyoroti perbedaan kaum Salibis dengan agresor lainnya pada kurun tahun 1095-1291 itu. Kaum penjajah dari Eropa Barat ini terkesan datang bukan untuk merampas suatu wilayah, memerintah, dan lalu menarik pajak dari seluruh masyarakat lokal.
Alih-alih bertindak demikian, Tentara Salib justru lebih suka mendirikan koloni di wilayah taklukan. Itu sesudah mereka membantai semua penduduk setempat yang tentunya berlainan iman dan mazhab keyakinan dengannya.
Dapat disimpulkan, tentara Salibis adalah gerombolan ekstremis.
Bagaimanapun, yang cukup menarik adalah bahwa tidak satu pun ahli sejarah Muslim pada akhir Abad Pertengahan menyebut Tentara Salib sebagai "pasukan salib" atau istilah-istilah lain yang menandakan sebuah identitas keagamaan.
Para sejarawan Muslim ini tak menamakan mereka, umpamanya, orang Kristen atau Nasrani. Para agresor itu disebutnya "hanya" sebagai bangsa Frank (al-Faranj atau al-Ifranj). Istilah itu menandakan asal negeri mereka, bukan agama yang mereka anut.
Dengan demikian, apa yang dinamakan oleh sejarawan modern kini sebagai Tentara Salib, itu diidentifikasi oleh sarjana Muslim akhir Abad Pertengahan lebih sebagai "orang dari luar negeri" saja. Tak ada tendensi bahwa Perang Salib adalah "Kristen versus Islam", misalnya.
Haddad mengatakan, banyak dinasti Muslim pada kurun masa itu yang memerangi Romawi Timur (Bizantium), yakni sejak sebelum gelombang Salibis terjadi. Artinya, pertempuran melawan bangsa asing yang non-Islam bukanlah sesuatu yang luar biasa.
Bagaimanapun, fenomena yang dihadirkan Pasukan Salib di Baitul Makdis membuka kesadaran para sejarawan dan umumnya raja Muslim pada akhir Abad Pertengahan. Mereka terhenyak, betapa barbar perangai orang-orang al-Faranj itu.
Mereka menyaksikan atau mencatat dengan pilu hati, betapa al-Faranj tidak beretika ketika sedang melancarkan perang.
Saat menduduki Antiokia, Akra, Haifa, Jubail, dan puncaknya Baitul Makdis, gerombolan tersebut bertindak tanpa perikemanusiaan sedikit pun.
Mereka membasmi semua orang Islam setempat dan membumihanguskan rumah-rumah warga yang tak bersenjata.
Karena itu, ketika Sultan Salahuddin membebaskan Tanah Suci pada 1187, kebijakan yang diambil sang pemimpin Dinasti Ayyubiyah bertolak belakang dengan apa yang dilakukan Salibis berpuluh-puluh tahun sebelumnya.
Kekejian Salibis
Kebinatangan Pasukan Salib bahkan diakui oleh kaum cendekiawan Kristen Abad Pertengahan. Lihat, misal, catatan Fulcher (sering disebut sebagai Fulcher of Chartress) yang merupakan seorang pendeta dari abad ke-12. Ia ikut dalam Perang Salib I dan bertahun-tahun menuliskan kronik tentang Perang Salib.
Dalam sebuah catatannya, Fulcher menggambarkan suasana Baitul Makdis usai Pasukan Salib pada 1099 memasuki kota suci tersebut. Di Masjid al-Aqsha, terdapat genangan darah manusia setinggi mata kaki. Itulah darah kaum Muslimin yang dibantai.
Begitu banyak darah tertumpah, sehingga membanjir setinggi mata kaki.
“If you had been there, your feet would have been stained to the ankles in the blood of the slain.”
Seorang tentara Salib, seperti tercatat dalam Gesta Francorum, memberikan kesaksian tentang perlakuan pihaknya terhadap kaum Muslimin dan penduduk Baitul Makdis umumnya.
Katanya, belum pernah siapapun menyaksikan atau mendengar pembantaian terhadap ‘kaum pagan’ (sebutan untuk orang non-Katolik menurut Salibis) yang kemudian jasad mereka dibakar dan ditumpuk-tumpuk bak piramid; hanya Tuhan yang tahu berapa jumlah korban yang dibantai.
“No one has ever seen or heard of such a slaughter of pagans, for they were burned on pyres like pyramid, and no one save God alone knows how many there were.”
Demikian dinukil dari buku Western Views of Islam in Medieval and Early Modern Europe (1999).