Jamiat Kheir Menginspirasi KH Ahmad Dahlan Dirikan Muhammadiyah
Jamiat Kheir dirintis para ulama keturunan Arab di Jakarta, amal usahanya inklusif.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada awal terbentuknya, Jamiat Kheir dilarang oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda untuk membentuk cabang-cabang di luar Batavia (Jakarta). Akan tetapi, pelarangan itu sama sekali tidak membatasi reputasi gerakan Islam ini di tengah masyarakat, termasuk kalangan Pribumi non-keturunan Arab.
Terbukti, banyak tokoh dari daerah-daerah yang berkorespondensi dengan kantor pusat organisasi itu. Mereka meminta agar Jamiat Kheir mendeklarasikan cabang-cabang di wilayah masing-masing.
Bagaimanapun, pimpinan Jamiat Kheir saat itu memperhatikan peraturan yang dirancang Belanda. Karena adanya larangan tersebut, maka dianjurkan agar para tokoh itu mendirikan perkumpulan sendiri.
Setidaknya lantaran anjuran tersebut, beberapa organisasi Islam pun bertumbuhan di sejumlah daerah. Pada 1 November 1913, al-Irsyad berdiri di Tegal-Pekalongan. Pada awal pendiriannya, organisasi tersebut tak bersangkut paut dengan Jam’iyyat al-Islah wa al-Irsyad al-Arabiyah yang dibentuk pada 1913 di Batavia, yang salah seorang perintisnya adalah Syekh Ahmad Surkati.
Senafas dengan Jamiat Kheir di pusat, al-Irsyad di Tegal-Pekalongan pun memfokuskan diri pada bidang pendidikan. Keanggotaannya terbuka bagi setiap Muslim.
Menginspirasi Kiai Dahlan
Hadirnya Persyarikatan Muhammadiyah pun tak lepas dari pengaruh Jamiat Kheir. KH Ahmad Dahlan pada 18 November 1912 mendirikan gerakan Islam itu di Yogyakarta. Sebelumnya, kiai berjulukan “Sang Pencerah” ini merupakan seorang anggota Jamiat Kheir.
Seperti halnya organisasi di Batavia itu, Muhammadiyah pun menaruh perhatian besar pada bidang pendidikan Islam, dengan sistem kurikulum dan pengajaran yang modern. Cendekiawan Prof Aboebakar Atjeh, seperti dikutip Wasilah Faray Saleh dalam buku Jam’iyyat Khair: Gerakan Modern Islam di Indonesia (2016) mengatakan, “Djami’at Chair telah menghasilkan tokoh-tokoh masyarakat pula yang akan jadi pelopor pembangunan di kemudian hari. Antara lain, KH Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah.”
Kiai Dahlan diketahui berkomunikasi terlebih dahulu dengan tokoh-tokoh Jamiat Kheir di Batavia sebelum dirinya mendirikan Muhammadiyah. Salah seorang figur tempatnya bertukar pikiran ialah Abdullah bin Alwi Alatas. Sosok yang akhirnya diangkat menjadi pahlawan nasional itu diminta untuk menangkal upaya-upaya Kristenisasi yang marak dilakukan di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di samping itu, semangat pembaruan dan modernisme Islam pun dijadikan sebagai pegangan.
Dari gerakan ke yayasan
Sejak 1919, Jamiat Kheir bertransformasi menjadi sebuah yayasan. Menurut Wasilah Faray Saleh (2016), perubahan bentuk itu antara lain dilatari faktor politik. Dalam arti, banyak tokoh perkumpulan tersebut yang cenderung sibuk dalam aktivitas politik pergerakan.
Sebagai contoh, ketika Sarekat Islam (SI) sedang berkibar di bawah pimpinan HOS Tjokroaminoto, banyak simpatisannya yang sebelumnya merupakan anggota Jamiat Kheir. Pada 1913, ketua Jamiet Kheir kala itu Abdullah bin Hoesin al-Aijdroes kerap menghadiri rapat-rapat SI. Bahkan, ia duduk di meja ketua, sejajar dengan pimpinan SI.
Memang, tokoh-tokoh Jamiat Kheir—sebelum menjadi sebuah yayasan—turut berjuang pula di ranah politik pergerakan. Reputasinya bahkan sudah mendunia. Untuk menyebut satu contoh, Ali bin Ahmad bin Muhammad Shahab, seorang figur Jamiat Kheir. Ia merupakan koresponden surat kabar Al-Muayyad dan Tamarat al-Funun.
Tulisan-tulisannya banyak dibaca di Turki maupun Mesir. Dalam berbagai artikelnya, ia mengungkapkan berbagai penindasan yang dilakukan Belanda ataupun Inggris di Indonesia dan Malaya.
Pemerintah kolonial pun tak tinggal diam. Pada 1917, beberapa tokoh Jamiat Kheir ditangkap dan ditahan. Rezim Hindia Belanda memberlakukan kebijakan piramida sosial dengan mengelompokkan orang-orang keturunan Arab di Nusantara sebagai “warga Timur Asing” sehingga dilarang terlibat dalam organisasi atau gerakan Pribumi.
Bahkan, izin berdirinya Jamiat Kheir pun diancam dapat dicabut sewaktu-waktu. Menyadari bahaya tersebut, pimpinan organisasi ini lantas mengambil strategi untuk kembali “berpatokan” pada anggaran dasarnya, khususnya bidang pendidikan. Akibat terus-menerus dicurigai pemerintah kolonial, pada 17 Oktober 1919 bentuk perkumpulan ini diubah menjadi sebuah yayasan.