Penurunan Penjualan KFC, Boikot atau Kalah Saing dengan Produk Minimarket?

Minimarket berhasil menawarkan alternatif yang lebih murah dan mudah dijangkau.

EPA-EFE/FAZRY ISMAIL
Perusahaan makanan dan minuman yang terafiliasi Israel seperti KFC mengalami kerugian besar akibat aksi boikot yang terus berlanjut. (ilustrasi)
Rep: Dian Fath Risalah Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan makanan dan minuman yang terafiliasi Israel seperti KFC mengalami kerugian besar akibat aksi boikot yang terus berlanjut. Di negara Muslim seperti Indonesia, boikot ini dinilai menyebabkan penurunan penjualan yang signifikan.

Baca Juga


Dalam laporan keuangan sembilan bulan pertama tahun 2024, tercatat KFC Indonesia yang dikelola oleh PT Fast Food Indonesia Tbk (FAST), mengalami kerugian bersih sebesar Rp 558,75 miliar, meningkat tajam dibandingkan dengan kerugian periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 152,42 miliar. Sebenarnya, KFC Indonesia telah mencatatkan penurunan pendapatan yang tajam sejak 2020.

Pendapatan yang sebelumnya mencapai puncaknya sebesar Rp 7 triliun pada 2019, kini diperkirakan akan turun menjadi sekitar Rp4 triliun pada 2024. Penurunan ini mencerminkan sekitar 43 persen penurunan akibat boikot global yang juga terjadi di beberapa wilayah Indonesia.

Boikot ini tidak hanya memengaruhi citra KFC di mata konsumen Indonesia, tetapi juga mengubah preferensi mereka yang beralih ke merek lain yang dianggap lebih sesuai dengan sikap politik mereka. Sebagai akibatnya, muncul pesaing baru yang semakin memperkuat posisinya di pasar ayam goreng. Yang mencengangkan pesaing justru datang dari industri ritel yaitu minimarket seperti Indomaret, Alfamart, dan Family Mart. Padahal sebelumnya, pesaing utama KFC adalah McDonald’s dan A&W. 

Menurut laporan Algo Research, minimarket berhasil menawarkan alternatif yang lebih murah dan mudah dijangkau, sehingga mampu merebut pangsa pasar restoran cepat saji. Minimarket lokal kini menawarkan ayam goreng dengan harga jauh lebih murah, berkisar antara Rp 10.000 hingga Rp 13.000 per porsi, yang lebih murah 30-40 persen dibandingkan harga ayam goreng ala carte di KFC yang mencapai Rp 18.182.

“Dengan perbedaan harga yang signifikan, minimarket berhasil merebut hati konsumen yang lebih sensitif terhadap harga,” tulis laporan dari Algo Research dikutip Jumat (22/11/2024).

Selain harga yang lebih terjangkau, minimarket juga memiliki keuntungan dalam hal aksesibilitas. Dengan jumlah toko yang sangat banyak, baik di kota-kota besar maupun di daerah-daerah kecil, minimarket seperti Indomaret dan Alfamart dapat menjangkau konsumen di lokasi yang sebelumnya sulit dijangkau oleh gerai-gerai KFC.

Perubahan pola konsumsi masyarakat yang kini lebih mengutamakan harga terjangkau dan kemudahan akses menjadi salah satu faktor utama di balik meningkatnya daya tarik minimarket. Dengan harga yang lebih rendah dan lokasi yang lebih dekat, minimarket berhasil menarik perhatian konsumen yang sebelumnya lebih memilih untuk makan di restoran cepat saji seperti KFC.

Masih berdasarkan laporan Algo Research, dengan tekanan yang semakin besar, KFC disarankan untuk mengambil langkah strategis untuk mempertahankan pangsa pasarnya. Beberapa strategi yang dapat dipertimbangkan antara lain menawarkan menu hemat, memperluas layanan digital, dan menjalin kerja sama dengan minimarket untuk menghadirkan produk mereka di lokasi-lokasi strategis.

“Minimarket tidak hanya menghadirkan ancaman, tetapi juga peluang bagi KFC untuk memperluas distribusi dan menjangkau pasar yang lebih luas,” tulis Algo Research.

KFC Indonesia didirikan pada tahun 1978 oleh keluarga Gelael, yang memulai perjalanan waralabanya pada 1979. Pada 1990, Grup Salim mengakuisisi saham utama, memberikan dorongan besar bagi ekspansi perusahaan. Saat ini, saham KFC dimiliki oleh Gelael Pratama (40 persen), Indoritel Makmur (35,8 persen), BBH Luxembourg (7,9 persen), dan sisanya dimiliki oleh publik (16,3 persen).

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler