Setelah Ibu Supriyani Divonis Bebas, Perlukah UU Perlindungan Guru? Ini Pertimbangannya

Guru Supriyani divonis bebas oleh majelis hakim karena tidak terbukti bersaah.

ANTARA FOTO/Andry Denisah
Guru honorer SDN 4 Baito Supriyani bersiap menjalani sidang vonis kasus dugaan penganiayaan kepada muridnya di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (25/11/2024).
Red: Mas Alamil Huda

REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG - Vonis bebas kepada guru honorer Sekolah Dasar Negeri (SDN) 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Supriyani, masih menyisakan diskursus soal perlindungan guru. Menurut Ketua Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) Jawa Tengah, Dr Muhdi, keberadaan Undang-Undang Perlindungan Guru menjadi solusi terakhir untuk mencegah terjadinya kriminalisasi terhadap guru.

Baca Juga


"Ya, begitu masifnya ya problem 'kriminalisasi' guru, sampai-sampai dan mungkin baru pertama kali dalam pidato menteri di Hari Guru Nasional menyebut tentang hal itu," katanya, di Semarang, Jateng, Senin (25/11/2024).

Hal tersebut disampaikannya usai Focus Group Discussion (FGD) bertema "Pendidikan Bermutu untuk Semua" menyambut Hari Guru dan Hari Ulang Tahun (HUT) PGRI di Universitas PGRI Semarang (Upgris). Dalam pidatonya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu'ti menyampaikan sudah ada kesepakatan dengan Kapolri terkait kasus kekerasan di sekolah.

Artinya, kata dia, persoalan kekerasan kecil di sekolah yang melibatkan guru dan siswa diselesaikan secara restoratif justice sehingga tidak sampai ke ranah pidana. "Artinya apa? Harus dikomunikasikan antar-orang tua dengan sekolah agar masalah-masalah yang sebenarnya mungkin saja itu masalah kecil tidak dibesar-besarkan" katanya.

Apalagi, kata dia, jika sampai diseret ke ranah hukum sebagaimana menimpa Supriyani, seorang guru asal Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, yang akhirnya dinyatakan tidak bersalah dan divonis bebas.

Diakui Muhdi yang juga anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) asal Jawa Tengah itu, kasus kriminalisasi guru biasanya menghadapkan mereka dengan orang-orang yang memiliki relasi kekuasaan. "Padahal bicara pendidikan adalah bicara tripartit. Jadi, pendidikan itu harus dilakukan tidak saja oleh sekolah, tapi juga oleh orang tua. Bahkan, sebenarnya masyarakat," katanya.

Berkaca dari kasus Supriyani, ia mengatakan, berarti orang tua menyerahkan tanggung jawab pendidikan anak sepenuhnya kepada sekolah. Sementara, pada saat sekolah dianggap melakukan ketidaksesuaian dengan apa yang orang tua mau kemudian mempermasalahkan lembaga pendidikan, khususnya guru.

"Ini yang tidak boleh. Harusnya saling asah saling asuh, saling memahami apa-apa yang mesti dilakukan. Jadi, sekali lagi ini 'warning' ya sebagaimana sudah disampaikan Pak Menteri," katanya.

Namun, ia mengingatkan bahwa PGRI juga pernah menjalin nota kesepahaman (MoU) dengan Kapolri tentang pencegahan kriminalisasi guru dengan "restorative justice", namun implementasinya ternyata kurang.

"Implementasinya ternyata tidak sampai. Saya berkali-kali turun ke lapangan mereka tidak paham tentang itu. Maka, alternatif yang berikutnya kalau ini tetap tidak bisa menyelesaikan masalah adalah bagaimana bisa menggagas lahirnya UU Perlindungan Guru," katanya.

Selama ini, kata dia, apabila terjadi kasus yang menimpa guru semacam itu tidak cukup menggunakan pasal-pasal tertentu di UU Guru maupun UU Sistem Pendidikan Nasional. Sebab penegak hukum hanya berpedoman pada KUHP.

Sementara PGRI Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) secara tegas meminta kepada pemerintahan Presiden Prabowo Subianto untuk membuat UU Perlindungan Guru. Kasus guru Supriyani cukup menjadi alasan untuk merealisasikan gagasan tersebut.

"Kita berharap dengan dugaan kriminalisasi yang dilakukan terhadap Supriyani, agar kiranya Pemerintahan Prabowo melalui Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) agar bersama-sama mendiskusikan terkait dengan Undang-Undang Perlindungan guru," kata Ketua PGRI Provinsi Sulawesi Tenggara Abdul Halim Momo saat ditemui di Andoolo, Kabupaten Konawe Selatan, Senin.

Halim menyebutkan, selain pembuatan undang-undang baru, pihaknya juga meminta kepada pemerintah untuk kembali mencermati Undang-Undang tentang Perlindungan Anak (UU PA). Sebab, menurut dia, terdapat pasal yang membuat guru di seluruh Indonesia ini menjadi terikat dalam mendidik anak-anak atau para generasi penerus bangsa di Indonesia ini.

"Oleh karena di situ (Undang-Undang Perlindungan Anak) menjadi tidak leluasa di dalam mendidik dan membesarkan anak di Indonesia," ujarnya.

Halim juga menyampaikan terima kasih dan apresiasi terhadap putusan yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo atas vonis bebas terhadap Supriyani. Ia menjelaskan bahwa guru merupakan penentu peradaban dari sebuah negara, dan putusan tersebut berarti telah memberikan yang terbaik bagi negara ini.

"Pada prinsipnya sebenarnya kita tidak sedang mencari orang bersalah atau benar, tapi yang terpenting dari peristiwa ini kita bisa mengambil hikmah," ungkap Halim.

Sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Andoolo menjatuhkan vonis bebas kepada guru honorer SDN 4 Baito, Kabupaten Konawe Selatan, Supriyani. Anggota majelis hakim PN Andoolo Vivi Fatmawaty Ali saat membacakan amar putusan mengatakan bahwa dalam fakta-fakta persidangan, terdakwa Supriyani dinyatakan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan telah melakukan tindak pidana sebagaimana yang telah didakwakan jaksa penuntut umum dalam dakwaan alternatif kesatu dan alternatif kedua.

"Maka majelis hakim sependapat dengan nota pembelaan terdakwa maka majelis hakim tidak sependapat dengan tuntutan penuntut umum, menimbang bahwa oleh karena terdakwa dibebaskan maka haruslah dipulihkan hak-hak terdakwa," kata Vivi.

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler