Membangun Sistem Peradilan yang Adil: Jalan Panjang Menuju Supremasi Hukum Indonesia
Sistem peradilan yang adil menjadi keharusan untuk wujudkan supremasi hukum.
Oleh: Moh Mu’alim
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sistem peradilan di Indonesia masih menuai banyak persoalan yang menghambat tercapainya keadilan sejati. Dari isu administratif sampai persoalan substantif dalam putusan hakim.
Hal tersebut pula membuat praktik peradilan di Tanah Air kerap menjadi sorotan publik. Tidak sedikit masyarakat yang merasa hak-haknya terabaikan disebabkan ketidakadilan dalam proses hukum. Untuk itu, pembenahan sistem peradilan yang menyeluruh menjadi keharusan demi menciptakan tatanan hukum yang adil, transparan, dan terpercaya.
Sebagai negara hukum, Indonesia menempatkan supremasi hukum sebagai landasan utama. Pasal 24 ayat (1) UUD 1945 dengan tegas menyatakan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menegakkan hukum dan keadilan.
Namun, teori yang ideal ini acapkali tidak sejalan dengan praktiknya. Pakar hukum tata negara, Mahfud MD, menegaskan negara hukum adalah negara yang didasarkan pada hukum, bukan kekuasaan. Dalam konteks ini, setiap elemen masyarakat, termasuk pemimpin negara, harus tunduk pada aturan yang berlaku. Ketidakadilan dalam proses peradilan, seperti putusan yang bias dan rentannya praktik suap, menjadi indikasi bahwa supremasi hukum belum sepenuhnya diterapkan.
Tantangan Besar dalam Sistem Peradilan Indonesia
Peradilan yang adil merupakan prinsip mendasar dalam melindungi hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara. Peradilan memainkan peran penting dalam pengendalian kejahatan di Indonesia. Lembaga penegak hukum seperti Kepolisian, Kejaksaan, Pengadilan, Advokat dan Lembaga Pemasyarakatan bekerjasama untuk menangani kasus dan memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Setiap Lembaga memiliki peran yang spesifik dalam proses peradilan. Mulai dari penyelidikan dan penuntuta hingga pengadilan.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan realitas yang jauh dari harapan. Berdasarkan laporan Komisi Yudisial (KY), sepanjang Januari hingga April 2024, terdapat 267 laporan dan 197 tembusan terkait dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH). Mayoritas laporan berasal dari kota-kota besar seperti DKI Jakarta, Sumatera Utara, dan Jawa Barat.
Fenomena "mafia peradilan" menjadi salah satu penghambat utama tercapainya sistem peradilan yang bersih. Mafia ini merujuk pada jaringan korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum untuk memanipulasi putusan demi keuntungan pribadi atau kelompok. Kondisi ini melemahkan kepercayaan publik terhadap lembaga peradilan sebagai institusi penjaga keadilan.
Peran Hakim dalam Menciptakan Keadilan
Hakim adalah figur sentral dalam sistem peradilan yang memiliki wewenang besar dalam menentukan nasib seseorang. Namun, wewenang ini sering kali disalahgunakan. Satjipto Rahardjo, perintis “hukum progresif” mengatakan terdapat dua tipe hakim.
Pertama, hakim yang mendasarkan putusannya pada hati nurani. Mereka mendengarkan suara keadilan terlebih dahulu sebelum mencari aturan hukum yang sesuai. Kedua, hakim yang lebih mendengarkan ‘suara perut’-nya. Mereka mencari pembenaran hukum demi melayani kepentingan pribadi.
Kasus dugaan suap yang melibatkan tiga hakim Pengadilan Negeri Surabaya dalam putusan bebas Ronald Tannur menjadi bukti nyata bagaimana ‘suara perut’ dapat mengalahkan hati nurani. Kasus ini adalah tamparan keras bagi dunia hukum Indonesia dan mencerminkan perlunya perombakan besar-besaran dalam sistem peradilan.
Upaya reformasi peradilan telah dilakukan selama beberapa dekade. Namun, hasilnya belum menunjukkan perubahan signifikan. Profesionalisme lembaga peradilan dan kualitas hakim masih jauh dari standar yang diharapkan.
Reformasi membutuhkan langkah-langkah konkret seperti transparansi dalam proses hukum. Masyarakat harus dapat mengakses informasi terkait putusan dan proses hukum secara terbuka. Juga pengawasan ketat terhadap perilaku hakim. KY harus diberdayakan untuk menangani laporan pelanggaran dengan lebih efektif.
Menuju Masa Depan Peradilan yang Ideal
Keadilan bukanlah sekadar slogan, tetapi prinsip yang harus diwujudkan dalam setiap proses hukum. Indonesia membutuhkan sistem peradilan yang berorientasi pada keadilan substansial, bukan sekadar formalitas hukum.
Langkah pertama yang harus dilakukan adalah membangun kembali kepercayaan publik terhadap institusi peradilan. Kepercayaan ini dapat diraih melalui keberanian aparat penegak hukum untuk memutuskan perkara berdasarkan hati nurani, bukan tekanan atau iming-iming materi.
Selain itu, peran masyarakat juga penting dalam mengawasi proses hukum. Pelibatan masyarakat sebagai pengawas independen dapat menjadi solusi untuk meminimalisasi penyimpangan dalam sistem peradilan.
Sistem peradilan di Indonesia menghadapi tantangan besar yang menghalangi tercapainya keadilan sejati. Mulai dari praktik mafia peradilan hingga lemahnya integritas sebagian hakim, semua ini menunjukkan perlunya reformasi menyeluruh. Supremasi hukum hanya akan terwujud jika aparat penegak hukum memiliki integritas, transparansi, dan keberanian untuk menegakkan keadilan.
Langkah konkret dan kolaborasi dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, lembaga peradilan, dan masyarakat, adalah kunci untuk menciptakan sistem peradilan yang adil dan terpercaya. Dengan demikian, harapan untuk mewujudkan negara hukum yang sejati dapat menjadi kenyataan di Indonesia.