Ketimbang PPN, Pemerintah Lebih Baik Tangani Pengemplang Pajak untuk Naikkan Penerimaan
Jika kenaikan PPN dipaksakan, pertumbuhan ekonomi akan terganggu.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Ekonomi dari Center of Economic and Lawa Studies (Celios) Nailul Huda menyoroti tingginya penolakan terhadap kebijakan pemerintah yang akan menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen per 1 Januari 2025. Menurut hematnya, untuk tujuan meningkatkan penerimaan negara, lebih baik pemerintah menyasar para pengemplang pajak ‘nakal’, ketimbang memungut pajak lebih besar dari masyarakat lewat kenaikan PPN.
“Pemerintah memang butuh uang untuk menambal defisit anggaran yang melebar. Paling mudah bagi pemerintah adalah dengan menaikkan tarif PPN. Namun ada pos penerimaan lain yang belum tergarap yaitu penerimaan negara sektor tambang yang masih banyak ilegal,” kata Nailul kepada Republika, Kamis (28/11/2024).
Nailul menyinggung soal pernyataan Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra yang juga adik Presiden Prabowo Subianto, Hashim S. Djojohadikusumo yang pernah menyampaikan bahwa negara akan mendapat potensi pemasukan hingga ratusan triliun rupiah dari pengusaha sawit, yang mengemplang pajak alias tidak membayar pajak.
“Hasyim pernah menyampaikan ada Rp 300 triliun dari pengemplang pajak, kenapa hal itu tidak didahulukan? Alih-alih menaikkan tarif PPN,” jelasnya.
Nailul turut mengkritisi pernyataan Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan mengenai kebijakan kenaikan PPN yang disebut hampir pasti diundur. Menurut Nailul, pernyataan tersebut tidak menunjukkan ketegasan pemerintah mengenai kebijakan yang kontroversial tersebut.
“Saya melihat pernyataan Luhut tidak memberikan kepastian apakah tarif PPN tetap naik atau dibatalkan. Pemerintah hanya mengulur waktu hingga isu ini reda tanpa melihat dampak yang terjadi di lapangan. Harusnya kebijakan kenaikan tarif PPN dibatalkan, bukan ditunda karena efek dari kenaikan PPN ini negatif terhadap perekonomian,” terang Nailul.
Ia menyebut, apabila kenaikan PPN menjadi 12 persen diterapkan, pertumbuhan ekonomi bisa semakin menurun di bawah level 4,9 persen. Bahkan dunia usaha merespon negatif kenaikan tarif PPN tersebut karena dikhawatirkan akan mengurangi permintaan.
“Pasalnya, kenaikan tarif PPN satu persen bisa menghasilkan kenaikan harga barang minimal 9 persen. Dunia usaha akan merespon dengan memberikan tambahan harga ke konsumen akhir. Permintaan bisa menurun,” jelasnya.
Lantas, lanjut Nailul, pada akhirnya justru bisa berdampak pada penerimaan negara yang menurun karena permintaan yang lesu. “Dampak inilah yang membuat saya pribadi menolak kenaikan tarif PPN 12 persen,” ungkapnya.
Tarif PPN Indonesia sebesar 11 persen disebut masih lebih tinggi dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya dan negara-negara OECD. Tarif PPN di Malaysia hanya 8 persen, sedangkan Singapura 9 persen. Sementara tarif PPN paling tinggi adalah Filipina sebesar 12 persen.
Sebelumnya diketahui, Ketua Dewan Ekonomi Nasional (DEN) Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan, pemerintah berencana untuk memundurkan kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen yang pada awalnya bakal diterapkan pada 1 Januari 2025.
“Ya hampir pasti diundur,” kata Luhut di Jakarta, Rabu.
Menurut Luhut, penerapan kenaikan PPN yang diundur itu karena pemerintah berencana untuk memberikan stimulus atau insentif terlebih dahulu kepada masyarakat melalui bantuan sosial ke kelas menengah.
“PPN 12 persen sebelum itu jadi, harus diberikan dulu stimulus kepada rakyat yang ekonominya susah,” katanya.
Luhut mengatakan, bantuan sosial yang diberikan oleh pemerintah sebagai bantalan dalam penerapan PPN 12 persen, tidak akan berupa bantuan langsung tunai (BLT), melainkan subsidi energi ketenagalistrikan.
"Tapi diberikan itu ke listrik. Karena kalau diberikan nanti ke rakyat takut dijudikan lagi nanti,” katanya.
Luhut menuturkan, untuk anggaran bantuan sosial tersebut sudah disiapkan pemerintah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), serta segera diselesaikan rancangan penyalurannya.
Sementara itu, mengenai gelombang penolakan kenaikan PPN 12 persen di media sosial, Ketua DEN itu menyatakan, hal tersebut hanya karena ketidaktahuan masyarakat terkait struktur kenaikan. “Ya karena orang kan belum tau ini, struktur ini,” ujarnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan, rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada 1 Januari 2025 bakal tetap dijalankan sesuai mandat Undang-Undang (UU). Hal itu disampaikan saat rapat kerja bersama Komisi XI DPR RI di Jakarta, Kamis (13/11). Menkeu menjelaskan, penyusunan kebijakan perpajakan dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi di berbagai sektor.
Wacana PPN 12 persen tertuang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) yang disusun pada 2021. Kala itu, pemerintah mempertimbangkan kondisi kesehatan hingga kebutuhan pokok masyarakat yang terimbas oleh pandemi Covid-19.