Peran Ibu dalam Karier Imam Syafii
Imam Syafii dibesarkan oleh ibunya dengan penuh kasih sayang.
REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Jumuah Saad dalam bukunya yang berjudul Ibunda Tokoh-Tokoh Teladan menceritakan peran ibu dalam karier Imam Syafii.
Idris, ayahanda Imam Syafi’i, meninggal dunia saat Syafi’i masih kecil. Oleh karena itu, Syafi’i dibesarkan ibunya yang merupakan perempuan salehah yang berasal dari Suku Azd, Yaman. Sementara ayahnya dari Gaza, Palestina.
Ibunya bekerja keras untuk membesarkan Syafi’i sendirian. Dia berusaha mengajarkan putranya tersebut dengan penuh kebaikan, hingga akhirnya lahirlah seorang pemuda yang mencintai ilmu seperti Syafi’i.
Tidaklah kedua matanya melihat ilmu kecuali dia menghafalnya dengan sempurna. Imam Syafi’i pun menjadi panutan dalam hafalan. Tidak ada warna hitam di atas putih kecuali Syafi’i menghafalkannya.
Artinya, tidak ada ilmu kecuali yang sudah dihafalkan oleh Imam Syafi’i secara sempurna. Itulah mengapa Imam Syafi’i kini menjadi salah satu imam mazhab yang empat dan menjadi salah satu pembesar para ulama Islam di sepanjang zaman.
Betapa mulianya hati seorang ibu yang telah membesarkan anak saleh seperti Imam Syafi’i. Dia membesarkan putranya sendirian dan menjadikannya anak saleh dan teladan bagi para umat Muslim.
Imam Al-Hakim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, dia berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Janganlah kamu mencela orang Quraisy, karena orang alimnya akan memenuhi bumi dengan ilmu. Ya Allah, Engkau telah menimpakan siksa dan bencana pada orang awalanya, maka berikanlah karunia pada orang terakhirnya.”
Tidak ada seorang ulama pun kecuali ia mengatakan, “Orang yang dimaksud hadis ini ialah Imam Syafi’i. Karena dia merupakan keturunan Quraisy dan keluarga Hasyim.” Semoga, Allah meridhai Imam Syafi’I dan ibunya yang salehah itu.
Dikisahkan pada suatu hari di masa kecilnya, Imam Syafi’i hendak pergi ke Madinah untuk berguru kepada Imam Malik.
Imam Syafii pun meminta nasihat dari ibunya sebelum berangkat. Mendengar permintaan anaknya, sang ibu pun berkata, “Wahai Anakku, berjanjilah kepadaku untuk tidak berdusta.”
Imam Syafi’i pun menyanggupi permintaan ibunya. Dia berkata, “Aku berjanji kepada Allah, lalu kepadamu untuk tidak berdusta.”
Menaiki tunggangan dan pergi bersama rombongan, Imam Syafi’i dibekali uang 400 dirham. Uang itu disimpannya dalam sebuah kantong, yang ia buat di sela-sela baju yang dikenakan.
Dalam perjalanan, rombongan dicegat rampok yang mengambil harta dari tiap orang. Ketika bertemu Imam Syafi’i, dia pun ditanya apakah memiliki uang. Mengejutkan, Imam Syafi’i mengakuinya.
Tentu saja, perampok bertanya jumlah yang dibawa sang imam. Dan lagi-lagi, Syafi’i mengakui bahwa ia membawa 400 dirham.
“Pergilah sana,” ujar perampok, “Apakah mungkin orang sepertimu membawa uang sebanyak 400 dirham?”
Maka, duduklah Imam Syafi’i dengan tenang, sedang para perampok terus menjarah harta orang-orang. Hampir selesai, pemimpin rampok bertanya apakah seluruh harta rombongan telah diambil seluruhnya. Para rampok mengiyakan.
“Apakah kalian tidak meninggalkan seorang pun?” tanya sang pemimpin lagi.
“Tidak,” kata anak buahnya, “kecuali seorang anak kecil yang mengaku telah membawa uang sebanyak 400 dirham. Namun anak tersebut gila atau hanya ingin mengolok-olok kita, sehingga kami pun menyuruhnya pergi.”
Pemimpin rampok berkata, “Bawa anak itu kemari.”
Imam Syafi’i dibawa ke hadapan pemimpin rampok. Maka, sekali lagi ia ditanya soal uang yang dibawanya. Dan, tentu saja, Imam Syafi’i lagi-lagi mengakuinya. Pun ketika ditanya jumlahnya, beliau tak sungkan menyebut kembali 400 dirham yang diberikan ibunya.
“Di mana uang itu?” tanya pemimpin rampok, penasaran.
Imam Syafi’i mengeluarkan uang tersebut dari balik pakaiannya. Lalu, diserahkan begitu saja.
Tertegun dengan perilaku anak kecil di hadapannya, pemimpin rampok menuang-nuang uang di pangkuannya seraya memandangi Imam Syafi’i. Dia sungguh tak mengerti.
“Kenapa kamu jujur kepadaku ketika aku tadi bertanya kepadamu, dan kamu tidak berdusta kepadaku, padahal kamu tahu bahwa uangmu akan hilang?”
Syafi’i pun menjawab, “Aku berkata jujur kepadamu karena aku telah berjanji kepada ibuku untuk tidak berdusta kepada siapa pun.”
Sang pemimpin rampok berhenti memainkan uang di tangannya. Terdiam seketika. Ada sesuatu menyelusup di hatinya. Sesuatu yang selama ini belum hadir dan kini menggerakkannya.
"Ambillah uangmu,” ujar pemimpin rampok, “kamu takut untuk mengkhianati janjimu kepada ibumu, sedangkan aku tidak takut berkhianat kepada janji Allah Swt.? Pergilah, wahai Anak Kecil, dalam keadaan aman dan tenang, karena aku telah bertaubat kepada Zat yang Maha Menerima Taubat lagi Maha Penyayang melalui kedua tanganmu. Dengan taubat ini dan aku tidak akan pernah mendurhakai-Nya lagi selamanya.”