Berlangsung Sejak 2011, Ini Serba-serbi Perang Saudara di Suriah

Baru-baru ini, perang saudara di Suriah kembali bergejolak.

Pemandangan kota yang hancur, penuh dengan puing-puing yang berserakan akibat perang saudara di kota Homs, Suriah. (Reuters/Thaer Al Khalidiya)
Red: Ani Nursalikah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perang saudara di Suriah telah berlangsung sejak 2011. Perang tersebut berawal dari protes menentang pemerintahan Presiden Bashar al-Assad yang direspons dengan tindakan keras oleh pasukan pemerintah dan berujung pada terjadinya kerusuhan.

Baca Juga


Konflik tersebut kemudian meluas dan melibatkan banyak pihak, antara lain Tentara Pembebasan Suriah (FSA), Pasukan Demokratik Suriah (SDF), Front al-Nusra, dan kelompok militan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS).

Baru-baru ini, perang saudara di Suriah kembali bergejolak. Berikut sejumlah informasi yang perlu diketahui tentang perang saudara di Suriah, dikutip dari berbagai sumber.

1. Pertempuran terbaru

Setelah tercatat mereda selama beberapa tahun, sebuah serangan pemberontak skala besar mengguncang wilayah pedesaan barat Aleppo pada Rabu (27/11/2024).

Serangan tersebut merupakan serangan signifikan pertama sejak 2016. Serangan tersebut dilakukan oleh koalisi kelompok pemberontak, yang didominasi oleh Hayat Tahrir al-Sham, sebuah organisasi ekstremis yang memiliki kaitan dengan Al-Qaeda, dengan tujuan untuk menembus wilayah-wilayah yang dikuasai pemerintah.

 

Pada Jumat (29/11//2024), para pemberontak menyerbu beberapa daerah di Aleppo setelah mereka diusir dari kota tersebut pada 2016. Pada Sabtu (30/11/2024), mereka maju ke Provinsi Hama di Suriah tengah dan menguasai sejumlah kota dan desa di bagian utara provinsi itu, setelah merebut wilayah-wilayah penting di Aleppo dan Idlib.

Dihadapkan dengan jumlah militan yang sangat besar dan berbagai serangan, tentara Suriah mengumumkan pengerahan kembali pasukannya untuk sementara waktu. Media pemerintah Suriah dan Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia, sebuah lembaga pemantau perang yang berbasis di Inggris, pada Ahad melaporkan bahwa pasukan pemerintah melancarkan serangan balasan di wilayah pedesaan utara Hama, merebut kembali area-area penting dari kelompok pemberontak.

2. Jumlah korban, kerusakan

Jumlah warga sipil yang tewas akibat serangan udara pasukan rezim Bashar al-Assad di Provinsi Idlib, Suriah, meningkat menjadi 16, pada Ahad (1/12/2024).

Pesawat tempur rezim menyasar banyak kawasan di Kota Idlib. Sumber Pertahanan Sipil Suriah melaporkan bahwa 59 warga sipil juga mengalami luka-luka, termasuk 21 anak-anak dan 19 wanita.

Pada Ahad (1/12/2024), Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB untuk Suriah Adam Abdelmoula juga mengatakan bahwa pertempuran tersebut telah menyebabkan kerusakan pada infrastruktur sipil, dan penghentian sementara layanan-layanan esensial. Pertempuran terjadi saat banyak orang yang tak terhitung jumlahnya, dengan banyak di antaranya menderita trauma akibat pengungsian, kini terpaksa kembali mengungsi, meninggalkan rumah dan mata pencarian mereka, kata Abdelmoula.

 

3. Desakan solusi politik

Koordinator Residen dan Kemanusiaan PBB untuk Suriah Adam Abdelmoula pada Ahad (1/12/2024) lantas mendesak agar pertempuran di Aleppo, Suriah barat laut, segera dihentikan dan dialog antara pihak-pihak terkait dilakukan secepatnya.

"Kami mendesak semua pihak yang bertikai untuk segera menghentikan pertempuran dan memprioritaskan perlindungan terhadap warga sipil dan pekerja kemanusiaan," ujarnya.

"Rakyat Suriah tidak boleh menanggung penderitaan yang lebih besar lagi, dan kami meminta adanya kesempatan untuk pelaksanaan dialog," katanya.

Selain PBB, Pemerintah Amerika Serikat (AS), Prancis, Jerman, dan Inggris juga menyampaikan keprihatinan terhadap situasi yang semakin memburuk di Suriah, dan menekankan perlunya langkah untuk menurunkan ketegangan (deeskalasi) serta perlindungan terhadap warga sipil.

Dalam pernyataan bersama yang dirilis Departemen Luar Negeri AS, pada Ahad, keempat negara itu menyerukan semua pihak yang terlibat untuk "mencegah pengungsian lebih lanjut dan terganggunya akses kemanusiaan."

“Eskalasi saat ini semakin menegaskan perlunya solusi politik yang dipimpin oleh Suriah sendiri terhadap konflik tersebut, sesuai dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB 2254,” demikian bunyi pernyataan, yang juga menyoroti pentingnya mematuhi resolusi PBB yang merumuskan peta jalan menuju perdamaian.

Pernyataan itu juga menggarisbawahi pentingnya melindungi nyawa dan infrastruktur warga sipil sebagai langkah penting dalam mengurangi krisis kemanusiaan.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri Turki Hakan Fidan, dalam pembicaraan melalui sambungan telepon dengan Menlu AS Antony Blinken pada Ahad (1/13/2024), juga menegaskan kembali sikap Turki yang menentang setiap tindakan yang dapat memperburuk ketidakstabilan di kawasan dan menekankan pentingnya meredakan ketegangan di Suriah.

Ia juga menegaskan untuk mencapai perdamaian dan stabilitas di Suriah, perlu dilakukan penyelesaian proses politik antara rezim dan oposisi. Menteri Fidan juga menjelaskan Turki tidak akan mengizinkan aktivitas teroris yang membahayakan wilayahnya atau warga sipil Suriah.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler