Transformasi Dari Tradisional ke Modern, Cara Ampuh Tingkatkan Produktivitas Pertanian

Petani modern menggunakan berbagai alat pertanian untuk menggarap tanah.

Republika/Prayogi
Pemimpin Redaksi Republika Andi Muhyiddin berbincang bersama Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman saat wawancara khusus dengan Republika di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa (3/12/2024). Wawancara tersebut membicarakan tentang berbagai isu di Sektor Pertanian, termasuk program Swasembada Pangan.
Rep: Frederikus Dominggus Bata Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peningkatan produktivitas pertanian jadi keharusan. Ini demi mencapai target kemandirian pangan.

Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengatakan, cara ampuh untuk meningkatkan produktivitas, yakni bertransformasi dari tradisional ke modern. Ia mencontohkan, dulu para petani mengolah lahan dengan menggunakan cangkul. Saat ini pemerintah memberikan alat mesin pertanian (alsintan) seperti traktor roda dua, traktor roda empat, transplantr (penanam), pompa air excavator atau backhoe, dan sebagainya.

"Kemudian (dulu) panen juga pakai tangan. Nah semua ini kita ganti menjadi mekanisasi teknologi modern," kata Amran saat diwawancarai Republika.co.id, di Kompleks Kementerian Pertanian (Kementan), Jakarta, Selasa (3/12/2024).

Cara demikian, jelas Mentan, tak hanya meningkatkan produktivitas. Pada saat yang sama membuat pengolahannya lebih efisien. Lalu menarik minat anak muda untuk turun gunung.

Amran memastikan saat ini banyak generasi milenial dan Gen Z yang memilih menekuni sektor pertanian. Menurutnya, ada dua hal menyebabkan hal itu. Pertama karena menguntungkan, berikutnya, adanya campur tangan teknologi saat berproses dari menanam hingga panen.

Ia menyinggung program brigade pangan. Sasaran program ini yakni optimalisasi lahan, dan cetak sawah memakai teknologi canggih. Brigade pangan bermitra dengan petani lokal.

Brigade Pangan tersebar di 12 provinsi strategis antara lain Aceh, Sumatera Utara, Riau, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, dan Papua Selatan. Setiap brigade pangan terdiri atas 15 petani muda mengelola lahan seluas 200 hektare secara terstruktur dan modern. Mereka didukung oleh 400 pendamping dari Kementan serta 50 mentor dari penyuluh, dosen, guru, dan widyaiswara.

"Itu penduduk asli. Pemuda-pemuda yang tertarik. Kenapa menarik? karena menguntungkan dan menggunakan teknologi," ujar Amran.

Baca Juga



Menurut Mentan, minimal setiap brigade pangan bisa memperoleh pendapatan Rp 10 juta per bulan. Untuk yang benar-benar rajin berpotensi mendapat Rp 30 juta per bulan. Pemerintah membangun sistemnya. Lalu mengenai bagi hasilnya, 30 persen untuk pemilik lahan. Sisanya, 70 persen untuk pengelola, manajerial keseluruhannya. 

"Hitung-hitungan kemarin, rata-rata (pendapatan) Rp 20 juta. Tapi minimal Rp 10 juta per bulan."

Mengenai cetak sawah, itu strategi yang pernah dijalankan. Namun sebelumnya berujung kegagalan.  Amran menjelaskan mengapa pendekatan tersebut, awalnya tak berbuah peningkatan produksi.

Ia menerangkan, itu karena setelah sawah baru dicetak, ditinggalkan, tanpa ada polesan lanjutan. Alhasil, si pemilik lahan mengelola semampunya secara manual. Hasilnya tak sesuai yang diharapkan.

"Tidak mungkin dengan cangkul mengelola 200 hektare,  500 hektare. Satu orang, di Kalimantan, itu 400 hektare Lahannya. Mana mungkin mau dikelola dengan cangkul, 400 hektare itu. Dua tahun tidak selesai kalau satu orang. Benar nggak? Di Papua juga demikian. Kalau di Papua, satu orang, punya 1000 hektare," tutur Amran.

Itulah mengapa pemakaian teknologi sangat vital. Pekerjan jadi lebih efisien, membuka lapangan kerja baru, dan menambah hasil dari komoditas yanag ditanam.

 

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler