STEI ITB Gelar Kuliah Umum Filsafat Sains AI Hadirkan Akademisi Hingga Praktisi

AI memiliki berbagai risiko dan keterbatasan seperti halnya halusinasi, inakurasi dll

Dok Republika
Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB menggelar Kuliah Umum Filsafat Sains AI (Artificial Intellegence) bertema Singularitas, Hype atau Realitas dan Strategi untuk Indonesia di Aula Timur, ITB, Rabu (4/12). 
Red: Arie Lukihardianti

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG-- Sekolah Teknik Elektro dan Informatika (STEI) ITB menggelar Kuliah Umum Filsafat Sains AI (Artificial Intellegence) bertema “Singularitas, Hype atau Realitas dan Strategi untuk Indonesia" di Aula Timur, ITB, Rabu (4/12). 

Baca Juga


Acara diskusi tersebut menghadirkan pakar teknologi, akademisi, dan praktisi untuk menggali pemahaman peran kecerdasan buatan (AI) dalam perkembangan sosial, ekonomi, dan bisnis Indonesia, termasuk implikasi singularitas teknologi dari sisi teori dan strategi implementasi.

Dekan STEI ITB, Tutun Juhana mengatakan, pihaknya mendukung riset terkait AI. Menurutnya, AI merupakan kemajuan teknologi terkini yang dianggap salah satu capaian terbesar sains dan teknologi yang akan sangat berpengaruh di masyarakat dunia maupun masyarakat Indonesia. 

“Dalam hal ini, STEI ITB beserta seluruh jajarannya, dosen peneliti dan mahasiswa, secara full speed dan full energy ingin mendukung kemajuan sains dan teknologi ini,” katanya.

Menurutnya, AI juga memiliki berbagai risiko dan keterbatasan seperti halnya halusinasi, inakurasi, pembobolan data privat, sifat AI yang tidak bisa dijelaskan, akuntabilitas yang tidak jelas, dan lain-lain. Berbagai berita mengenai bencana dan kerugian karena AI sudah cukup marak.

Oleh karena itu, STEI ITB menggelar Kuliah Umum Filsafat Sains ini dengan menggabungkan pembicara praktisi, dan akademisi dalam rangka mendorong pengembangan AI yang terbaik bagi bangsa, sambil meminimalisasi risiko.

Sementara menurut Arga M Nugraha, Director of Digital & IT BRI, dalam presentasinya bertajuk "Strategi Implementasi AI di BUMN Indonesia dan Membangun Strategi AI yang Efektif untuk Pengembangan Bisnis" menjelaskan, bagaimana strategi AI efektif dan efisien untuk BUMN. Sehingga, dapat memaksimalkan potensi Indonesia menuju Indonesia Emas 2045 dan meminimalisasi risiko dan kerugian.

“Banyak perusahaan di Indonesia nampaknya tenggelam dalam hype tentang AI, sehingga hal-hal yang bisa dipecahkan dengan rule-based juga akan dipecahkan dengan AI. AI seolah-olah dipercaya sebagai tongkat midas, semua yang disentuhnya bisa menjadi emas,” katanya. 

Untuk terhindar euphoria ini dan memperoleh benefit maksimum AI, strategi utamanya adalah setiap organisasi fokus ke masalah spesifik yang memiliki dampak signifikan terhadap bisnis. 

“Kita kurasi kembali visi dan nilai yang ingin diperoleh dari pengembangan AI tersebut, dengan demikian penerapan AI dapat lebih terarah dan memberikan hasil yang lebih nyata,” katanya. 

Dimitri Mahayana, Dosen STEI ITB, dalam sesi bertajuk "Merumuskan Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi AI di Indonesia: Mitigasi Risiko dan Maksimalisasi Manfaat", memaparkan, paradigma minMAX AI sebagai paradigma filsafat sains untuk meminimasi risiko AI sekaligus meMAXimalkan nilai AI bagi Indonesia.

Paradigma minMAX AI, kata dia, terdiri dari enam elemen. Yaitu, manfaat : AI harus memberikan Manfaat sebesar-besarnya bagi kehidupan. Kedua, Indonesia : Menegaskan kemandirian Indonesia sebagai pusat AI yang memihak kepentingan nasional, tidak hanya mengikuti hegemoni global.

Ketiga, kata dia, narasi : membangun narasi positif dan relevan untuk penerapan AI di Indonesia. Seperti konsep Membangun Akal Inspiratif Indonesia (AII), yakni AI yang bersifat manusiawi, memihak wong cilik, merdeka, berkeadilan, dan mampu menyejahterakan bangsa.

Keempat, kata dia, mengukur : menciptakan ukuran evaluasi AI yang relevan untuk Indonesia melalui kolaborasi pemerintah, bisnis, dan akademisi. Kelima, aman : menangani isu keamanan data serta isu AI lain seperti bias, transparansi, akurasi, fairness, halusinasi, dan lainnya.

"Terakhir adalah X : Mengakui bahwa masa depan AI seperti variabel X yang terus berubah dan tidak sepenuhnya diketahui," katanya.

Dimitri menekankan pentingnya bersikap adaptif  terhadap perubahan AI sembari tetap berfikir kritis, agar tren sesaat teknologi ini dapat dikonversi menjadi manfaat nyata bagi Indonesia.

Kuliah umum ini dihadiri lebih dari 300 peserta dari berbagai latar belakang, termasuk mahasiswa, akademisi, profesional, dan masyarakat umum. Para peserta memberikan apresiasi atas wawasan mendalam yang disajikan para pembicara. Selain memberikan wawasan mendalam, acara ini berhasil membuka ruang diskusi produktif antara akademisi, pakar teknologi hingga praktisi dan masyarakat pada umumnya. STEI ITB berharap kuliah umum ini menjadi langkah awal bagi pembentukan kebijakan AI yang kritis dan relevan untuk Indonesia.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler