Upaya Strategis Wujudkan Kedamaian di Papua
Gerakan Papua tidak bisa dilihat secara hitam putih.
Oleh Yasdad Al Farisi
Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan UGM
REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Aksi damai memperingati Hari Kemerdekaan Papua yang dilakukan oleh Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) kembali berujung bentrokan di berbagai daerah, termasuk Yogyakarta. Aksi tersebut mencerminkan paradoks dalam demokrasi Indonesia, di mana kebebasan berekspresi sebagai hak konstitusional justru sering kali dibatasi oleh kekuasaan negara. AMP, yang selama ini mengedepankan perlawanan non-kekerasan, kerap mendapat respons represif dari aparat keamanan dan justru berujung pada bentrokan kedua belah pihak.
Penanganan aksi yang dilakukan dengan pembubaran paksa, penangkapan, hingga kriminalisasi aktivis menunjukkan bahwa batas antara demokrasi dan kekuasaan sering kali kabur, terutama dalam menangani isu-isu politik sensitif seperti perjuangan Papua.
Dalam sebuah sistem demokrasi, kebebasan berekspresi dan menyuarakan aspirasi politik adalah pilar utama yang menjamin keterlibatan warga negara. Namun, demokrasi juga memiliki batas yang ditentukan oleh kekuasaan negara. Dalam pandangan Michel Foucault, kekuasaan tidak hanya bersifat represif, tetapi juga produktif dalam membentuk norma, institusi, dan mekanisme kontrol sosial. Ketika negara menghadapi gerakan seperti AMP, batas demokrasi sering kali muncul dalam bentuk represi terhadap aksi yang dianggap “mengancam”, kemudian negara memproduksi narasi hegemonik yang menstigmatisasi gerakan tertentu.
Situasi ini mencerminkan kompleksitas gerakan Papua dalam menghadapi politik dan keamanan di Indonesia, bahwa perlawanan non-kekerasan tidak selalu bertolak belakang dengan gerakan kekerasan, melainkan berada pada spektrum yang saling beririsan. Artinya elemen-elemen dari kedua pendekatan bisa saling memengaruhi atau muncul bersamaan dalam dinamika gerakan. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa keberlanjutan dualitas struktural ini tidak hanya membentuk cara negara merespons, tetapi juga memengaruhi bagaimana gerakan itu sendiri dipahami dan dimaknai oleh para pendukungnya, lawannya, maupun masyarakat luas.
Dualitas Struktur: Damai di Tengah Rezim Kekerasan
Peristiwa di Yogyakarta ini mencerminkan dualitas struktur dalam gerakan Papua. Di satu sisi, aksi damai menciptakan struktur simbolik yang memperkuat identitas perjuangan non-kekerasan dan struktur ini penting untuk menjaga legitimasi gerakan di mata komunitas nasional dan internasional. Namun, di sisi lain, struktur kekerasan yang dibangun oleh aparat negara sebagai respons terhadap aksi damai menciptakan dilema. Kekerasan ini tidak hanya berpotensi mengaburkan pesan damai, tetapi juga memunculkan narasi bahwa gerakan ini tidak sepenuhnya damai. Hal ini sering digunakan untuk mendiskreditkan gerakan dan membenarkan tindakan represif negara.
Gerakan Papua tidak bisa dilihat secara hitam putih sebagai hanya damai atau hanya menggunakan kekerasan. Dalam kenyataannya, gerakan ini sering kali mencerminkan perpaduan keduanya, dipengaruhi oleh tekanan eksternal (represi pemerintah) dan kebutuhan internal (strategi dan dukungan massa). Kedua struktur ini tidak terpisah, melainkan saling memengaruhi, ketika AMP memperkuat aksi damainya, struktur non-kekerasan lebih menonjol. Namun, jika ada tindakan represif dari pemerintah, struktur kekerasan cenderung muncul kembali.
Benturan Narasi Damai versus Stigma Separatisme
Bentrokan yang terjadi memperlihatkan benturan dua perspektif besar. Bagi peserta aksi, peringatan 1 Desember adalah bagian dari ekspresi kebebasan berpendapat dan hak asasi manusia. Sebagai gerakan yang memegang prinsip non-kekerasan, AMP aktif menggelar demonstrasi damai, menggalang dukungan internasional, dan menyuarakan pelanggaran hak asasi manusia di Papua.
Sementara bagi aparat keamanan, aksi ini dilihat sebagai ancaman terhadap keamanan nasional dan integritas negara. AMP sering kali dihadapkan pada tuduhan memiliki keterkaitan dengan kelompok bersenjata, meskipun secara resmi mereka menolak penggunaan kekerasan. Keberadaan elemen kekerasan di sekitar gerakan ini menciptakan dilema yang terus berulang.
Perbedaan perspektif ini menempatkan AMP dan gerakan sejenisnya dalam posisi dilematis. Mereka berupaya mengedepankan perjuangan damai, tetapi sering kali justru dipaksa berhadapan dengan kekerasan dari aparat yang justru memperkuat narasi bahwa gerakan ini berbahaya.
Tantangan dalam Mempertahankan Struktur Non-Kekerasan
Aksi 1 Desember di Yogyakarta menjadi cerminan nyata tantangan yang dihadapi gerakan Papua. AMP terus membangun struktur perjuangan damai, meskipun harus menghadapi realitas kekerasan di sekitarnya. Tantangan ini bukan hanya soal strategi yang mereka pilih, tetapi juga soal bagaimana strategi tersebut dipahami oleh pihak-pihak yang terlibat—baik para aktivis, pemerintah, maupun masyarakat luas. Meski mengusung narasi damai, gerakan ini kerap diposisikan sebagai ancaman oleh negara.
Interaksi yang terjadi antara aksi damai dan respons represif aparat menciptakan dinamika yang kompleks. Struktur non-kekerasan terus diperkuat oleh AMP, namun struktur kekerasan yang dilakukan aparat dapat merusak legitimasi gerakan ini di mata publik. Jika tindakan represif terus mendominasi, pertanyaannya adalah: bagaimana AMP dan gerakan Papua lainnya dapat mempertahankan legitimasi mereka sebagai gerakan damai? Ataukah struktur kekerasan akan semakin mendominasi dan menggerus narasi damai yang selama ini mereka bangun?
Lebih dari sekadar bentrokan fisik, peristiwa ini adalah bentrokan narasi dan simbolisme yang mencerminkan masa depan perjuangan Papua di tengah dinamika politik Indonesia. Hasilnya akan sangat bergantung pada bagaimana negara, aktivis, dan masyarakat mampu mendefinisikan ulang pendekatan mereka terhadap konflik yang kompleks ini.