Menghapus Kenangan Pahit Timnas di Piala AFF

Piala AFF 2024 jadi kesempatan menutup kelamnya rekam jejak timnas di kompetisi itu.

Republika/Edwin Dwi Putranto
Ekspresi kekecewaan timnas Indonesia seusai gagal meraih trofi AFF Suzuki Cup 2010 di stadion utama Gelora Bung Karno, Jakarta.
Red: Fitriyan Zamzami

Oleh Fitriyan Zamzami


REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Piala Federasi Sepakbola Asia Tenggara (AFF) yang kini dinamai ASEAN Championship boleh jadi bukan salah satu kejuaraan paling bergengsi di dunia persepakbolaan. Kompetisi itu bahkan tak masuk jadwal resmi FIFA dan baru-baru ini saja jadi "pertandingan" yang diakui. Bagaimanapun, selain medali emas SEA Games, ia tetap semacam lambang supremasi sepak bola yang paling nyata di Asia Tenggara.

Kompetisi dua tahunan itu mulai bergulir pada 1996. Apesnya, saat itu persepakbolaan Indonesia mulai hilang tajinya di kancah Asia. Walhasil Indonesia hanya berhasil maju sampai semi final. Itupun kalah dari Vietnam.

Dua tahun kemudian, Indonesia bermain dengan tim yang terbilang mumpuni. Namun, kompetisi itu juga diwarnai insiden yang lama mencoreng persepakbolaan Tanah Air. Guna menghindari bertemu tuan rumah Vietnam, Indonesia dan Thailand terlibat sepak bola gajah. Alih-alih berupaya menang, kedua tim ogah-ogahan bermain. Indonesia paling terdampak karena pertandingan itu dimenangkan Thailand dengan gol bunuh diri dengan sengaja oleh Mursyid Effendi. Yang bersangkutan nantinya dikenai hukuman seumur hidup.

Sepak bola gajah itu seperti jadi bayang-bayang hitam yang terus menggelayuti aksi Garuda di Piala AFF. Hampir tiga dekade berlangsung. Indonesia berulang kali "nyaris juara". Indonesia berhasil enam kali mencapai final, yakni pada 2000, 2002, 2004, 2010, 2016, dan 2020. Tak ada satupun yang jadi trofi.

Pada 2002, piala itu lepas dari genggaman Garuda dengan cara yang menyakitkan. Pada pertandingan final di Gelora Bung Karno, Indonesia melawan Thailand. Thailand hanya bermain dengan 10 orang setelah Chukiat Noosarung menerima kartu merah pada menit ke-57. Sayangnya, sampai habis waktu normal, Indonesia bisa ditahan 2-2. Keunggulan tuan rumah dan jumlah pemain tak bisa dimaksimalkan. Pertandingan kemudian berlanjut pada adu penalti. GBK menangis saat kemudian Bejo Sugiantoro dan Firmansyah gagal mengeksekusi.

Pemain tim nasional Indonesia Boaz Solossa. - (FOTO ANTARA/Ismar Patrizki)

Salah satu yang juga paling menyesakkan terjadi pada 2004. Kala itu, penyerang asal Sorong, Papua Barat, Boaz Solossa mulai naik daun. Baru berusia 18 tahun, ia menunjukkan bakat yang jarang sekali dimiliki penyerang-penyerang Tanah Air.

Saat itu, kompetisi digelar dengan sistem kandang tandang untuk partai semifinal dan final. Di Gelora Bung Karno, Timnas kalah 2-0 dari Malaysia. Namun saat harapan nampaknya pupus, Garuda mengamuk di kandang Harimau Malaya. Mereka membabat Timnas Malaysia dengan skor 1-4 dengan gol ciamik Boaz pada menit ke-84.

Harapan membuncah saat kemudian harus menghadapi Singapura di final. Apa mau dikata, kala itu timnas kalah 1-3 di Jakarta, dan kalah juga 2-1 di Singapura.

Kesempatan emas kembali mampir pada 2010. Indonesia mengamuk pada pertandingan pembuka grup, mengempaskan Malaysia dengan skor 5-1. Thailand juga dilibas 2-1 pada fase grup. "Naga-naganya juara ini," demikian pikir penggemar sepak bola Indonesia. Ternyata tidak juga.

Di Stadion Bukit Jalil di Kuala Lumpur, Malaysia yang dikandaskan 5-1 itu malah menang 3-0. Sementara di Gelora Bung Karno, Garuda hanya menang 2-1, tak mampu mengalahkan scara agregat Harimau Malaya. Tudingan mafia sepak bola kencang berhembus menyusul kekalahan di final kala itu. Publik tak percaya, timnas yang sedemikian digdaya sepanjang kompetisi tiba-tiba melempem di final.

Beberapa penonton masih duduk di kursi seusai pertandingan leg kedua final AFF Suzuki Cup 2010 antara Indonesia melawan Malaysia di Stadion Utama Gelora Bung Karno Senayan, Jakarta, Kamis malam (29/12). - (Republika/Edwin Dwi Putranto)

Meski tak sampai final, Piala AFF pada 2012 dan 2014 sukar juga dilupakan penggemar sepak bola Indonesia. Kala itu terjadi dualisme kepengurusan PSSI dan kompetisi nasional. Penjaringan pemain timnas pun akhirnya tak optimal. Pada Piala AFF 2012, Indonesia terhenti di fase grup, seperti halnya pada Piala AFF 2007. Pada 2013, timnas hanya bisa sekali menang. Demikian juga pada Piala AFF 2014. Setelah itu, sepak bola nasional terpukul lagi dengan sanksi FIFA yang baru dicabut menjelang Piala AFF 2016.

Pada Piala AFF 2016 itu, harapan kembali dilambungkan oleh timnas. Pada laga final di kandang, Indonesia berhasil mengalahkan Thailand 2-1. Namun lagi-lagi, di Bangkok mereka kalah 2-0. Kemudian pada 2020, ini terulang kembali. Indonesia hanya berhasil menahan seri Thailand di Jakarta dengan skor 2-2, dan kalah di Bangkok dengan skor 4-0. 

Pada 2024, Timnas Senior Indonesia jauh lebih berdaya ketimbang masa-masa sebelumnya. Dengan materi tim utama, memenangkan Piala AFF yang pertandingan perdananya akan digelar petang nanti adalah kans yang nyata. Namun, PSSI memilih menurunkan tim muda dengan target regenerasi. Bagaimanapun, trofi Piala AFF tetap punya daya tarik tersendiri. Ia boleh jadi penyelesaian dan penutup kenangan pahit yang sekian lama menggelayuti aksi Garuda di kompetisi pamungkas di Asia Tenggara tersebut.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler