Rupiah Anjlok ke Rp16.000, Tertekan Ekspektasi Pemangkasan Suku Bunga AS 

Anjloknya rupiah lantaran di antaranya tekanan ekspektasi pemangkasan suku bunga AS.

Republika/Prayogi
Rupiah mengalami tekanan menuju Rp 16.000 per dolar AS pada penutupan perdagangan pekan ini. (ilustrasi)
Rep: Eva Rianti  Red: Gita Amanda

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rupiah mengalami tekanan menuju Rp 16.000 per dolar AS pada penutupan perdagangan pekan ini. Pengamat mengatakan, anjloknya rupiah ke level tersebut lantaran di antaranya tekanan ekspektasi pemangkasan suku bunga Amerika Serikat (AS). 


Mengutip Bloomberg, nilai tukar mata uang rupiah melemah 64 poin atau 0,40 persen menjadi Rp 16.008,5 per dolar AS pada penutupan perdagangan Jumat (13/12/2024). Pada perdagangan sebelumnya, Mata Uang Garuda berada di level Rp 15.944 per dolar AS. 

“Bank sentral secara luas diperkirakan akan memangkas suku bunga sebesar 25 basis poin (bps), pasar menjadi semakin tidak yakin atas rencana jangka panjangnya untuk suku bunga, terutama karena data minggu ini menunjukkan inflasi AS tetap tinggi,” kata Pengamat Mata Uang yang juga Direktur PT Laba Forexindo Berjangka Ibrahim Assuaibi dalam keterangannya, dikutip Ahad (15/12/2024). 

Ibrahim mengatakan, The Fed diperkirakan akan memangkas suku bunga dengan kecepatan yang lebih lambat pada 2025, setelah memangkas suku bunga sebesar 75 bps sejauh ini pada 2024. 

“Kebijakan ekspansif dan inflasi di bawah Presiden terpilih Donald Trump juga diperkirakan akan mempertahankan suku bunga lebih tinggi dalam jangka panjang,” ujarnya, menambahkan bahwa selain Fed, keputusan suku bunga di Jepang dan Inggris juga akan menjadi fokus pada pekan depan. 

Rupiah mengalami tekanan menuju Rp 16.000 per dolar AS pada penutupan perdagangan pekan ini. - (dok. Pixabay)

Faktor eksternal lainnya yang membuat rupiah tertekan adalah mengenai hasil Konferensi Kerja Ekonomi Pusat (CEWC) China. Ibrahim menyebut, investor kecewa dengan serangkaian langkah stimulus agresif setelah pembaruan dari CEWC China, pertemuan dua hari yang berakhir pada Kamis. 

Sebuah pernyataan media pemerintah menunjukkan China telah berjanji untuk meningkatkan defisit anggarannya, meningkatkan penerbitan utang, dan melonggarkan kebijakan moneter untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi, di tengah ketegangan perdagangan yang diantisipasi dengan AS. 

“Namun, pasar melihat kebijakan tersebut tidak mungkin memberikan momentum ekonomi langsung yang dibutuhkan untuk melawan tekanan deflasi Tiongkok. Di CEWC, Beijing menetapkan target untuk pertumbuhan ekonomi, defisit anggaran, penerbitan utang, dan variabel lain untuk tahun mendatang. Target tersebut disetujui pada pertemuan tersebut, tetapi tidak akan dirilis secara resmi hingga pertemuan parlemen tahunan pada Maret,” jelasnya. 

Sentimen dalam negeri 

Sementara itu, ada sejumlah sentimen internal atau dalam negeri yang juga membuat rupiah mengalami anjlok ke level Rp 16.000 per dolar AS. Terutama mengenai kebijakan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) yang keukeuh akan dijalankan oleh pemerintah. 

“Dampak kebijakan kenaikan PPN menjadi 12 persen yang diproyeksikan mulai berlaku pada 2025. Kebijakan tersebut berpotensi menambah penerimaan negara hingga Rp 75 triliun, efeknya terhadap ekonomi makro tidak dapat diabaikan,” ujarnya.   

Ibrahim menuturkan, risiko terhadap inflasi dan daya beli masyarakat harus diwaspadai. Sebagai contoh, pada 2022 ketika PPN naik menjadi 11 persen, inflasi meningkat hingga 0,95 persen dalam satu bulan. “Dampak serupa bisa terjadi, bahkan lebih besar,” tegasnya. 

Para ekonom memperingatkan potensi efek crowding out pada konsumsi dan investasi. Daya beli masyarakat, khususnya kelas menengah, kemungkinan besar akan tertekan dan ini bisa berdampak pada penurunan konsumsi rumah tangga yang merupakan motor utama penggerak pertumbuhan ekonomi.

“Selain itu, pentingnya alokasi yang tepat untuk pendapatan tambahan dari kenaikan PPN. Pendapatan tersebut harus diarahkan untuk mendukung program-program pro-rakyat, seperti subsidi kesehatan, pendidikan, dan pembangunan infrastruktur dasar,” terangnya. 

Berdasarkan analisis Ibrahim dengan melihat sentimen eksternal dan internal yang terjadi, rupiah diperkirakan akan melanjutkan pelemahan pada awal pekan depan. “Diperkirakan untuk Senin depan (16/12/2024), mata uang rupiah fluktuatif, namun ditutup melemah direntang  Rp 15.090-Rp 16.070 per dolar AS,” tutupnya. 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler