Netanyahu Buat Israel Makin Merajalela Caplok Wilayah Golan, Arab Saudi-Qatar Mengecam
Netanyahu akan memperluas pembangunan pemukiman Israel di Dataran Tinggi Golan.
REPUBLIKA.CO.ID, Pada Ahad (16/12/2024) pagi, pemerintah Israel dengan suara bulat menyetujui rencana yang diajukan oleh Perdana Menteri Benjamin Netanyahu untuk meningkatkan pembangunan pemukiman Israel di Dataran Tinggi Golan yang diduduki, dengan anggaran lebih dari 40 juta shekel (sekitar 11,13 juta dolar AS atau sekitar Rp177,8 miliar). Perluasan pendudukan di Dataran Tinggi Golan oleh Israel memanfaatkan kevakuman kekuasaan di Suriah menyusul tumbangnya kepemimpinan Bassar al-Assad pekan lalu.
"Penguatan di Golan adalan penguatan Negara Israel, dan itu penting khususnya untuk saat ini. Kami akan melanjutkan itu, membuatnya berkembang dan membangun di sana," kara Netanyahu dalam keterangan dikutip Washington Post.
Sejak jatuhnya rezim keluarga Assad pada 8 Desember, Israel telah melancarkan serangkaian serangan udara di berbagai wilayah Suriah sambil menggelar operasi militer darat guna memperluas penguasaan terhadap sebagian wilayah di Dataran Tinggi Golan yang disepakati sebagai zona demiliterisasi pascaperang Yon Kippur pada 1973. Netanyahu mengklaim perjanjian gencatan senjata dengan Suriah pada 1973 telah 'kolaps' seiring pergantian kekuasaan di Damascus.
Pemimpin de-facto baru Suriah, Ahmed al-Sharaa, pada Sabtu menggambarkan aksi Israel sebagai "petualangan militer tanpa kalkulasi" sejak kelompok pemberontak mengambil alih kekuasaan. Namun, ia mengatakan lebih tertarik membangun negara daripada membuka konflik baru.
"Kondisi Suriah, setelah bertahun-tahun konflik dan perang, tak mengizinkan bagi terbukanya konfrontasi baru. Prioritas pada tahap ini adalah rekonstruksi dan stabilitas, tidak terjerat dalam perselisihan yang bisa berujung pada kehancuran lebih lanjut," ujar Al-Sharaa dalam sebuah wawancara dengan Syria TV.
Dataran Tinggi Golan merupakan wilayah Suriah yang diduduki Israel sejak perang Timur Tengah tahun 1967. Saat ini, sekitar 50 ribu orang tinggal di wilayah pendudukan Dataran Tinggi Golan, setengahnya pemukim Israel, sementara sisanya terdiri dari etnis Druze, Alawit, dan kelompok lainnya, menurut laporan harian Israel, Haaretz. Terdapat 33 pemukiman Yahudi di Golan, yang dikelola di bawah Dewan Regional Golan.
Arab Saudi dan Qatar pada Ahad mengecam keputusan Israel untuk memperluas pembangunan pemukiman di Dataran Tinggi Golan yang menjadi wilayah Suriah. Dalam sebuah pernyataan, Kementerian Luar Negeri Arab Saudi menegaskan kembali kecaman negara itu terhadap tindakan Israel yang terus-menerus “merusak peluang Suriah untuk mencapai keamanan dan stabilitas.”
Arab Saudi mendesak komunitas internasional untuk mengutuk pelanggaran yang dilakukan Israel serta menekankan pentingnya menghormati kedaulatan dan integritas wilayah Suriah.
“Golan adalah tanah Arab Suriah yang diduduki,” tegas kementerian tersebut.
Kementerian Luar Negeri Qatar menyebut keputusan Israel itu sebagai “babak baru dari serangkaian agresi Israel terhadap wilayah Suriah dan pelanggaran terang-terangan terhadap hukum internasional.”
Pernyataan tersebut menekankan “pentingnya komunitas internasional segera memenuhi tanggung jawab hukum dan moralnya untuk memaksa pendudukan Israel menghentikan agresinya terhadap wilayah Suriah dan mematuhi resolusi legitimasi internasional, serta menunjukkan solidaritas melawan rencana oportunistiknya.”
Kementerian juga menegaskan “posisi tegas Qatar yang mendukung kedaulatan, kemerdekaan, dan integritas wilayah Suriah” dan menyatakan dukungan “untuk semua upaya regional dan internasional yang bertujuan menciptakan keamanan dan stabilitas di Suriah serta mewujudkan aspirasi rakyatnya yang bersaudara.”
Majelis Umum PBB pada Selasa pekan lalu mengadopsi resolusi yang "sekali lagi" menuntut Israel menarik diri dari Dataran Tinggi Golan yang diduduki Suriah hingga ke perbatasan 1967 sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan. Resolusi tersebut, yang menegaskan kembali tidak dapat diterimanya perolehan wilayah dengan kekerasan, didukung 97 suara, delapan suara menentang, dan 64 suara abstain.
Resolusi tersebut diajukan oleh sekelompok negara yaitu Bolivia, Kuba, Korea Utara, Mesir, Irak, Yordania, Lebanon, Oman, Qatar, Arab Saudi, Afrika Selatan, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab, Venezuela, dan Yaman. Pernyataan resolusi menegaskan kembali perlunya Israel mematuhi hukum internasional dan resolusi PBB yang relevan, yang menekankan bahwa keputusan Israel untuk memaksakan hukum dan yurisdiksinya di Dataran Tinggi Golan adalah "batal demi hukum dan tidak memiliki keabsahan apa pun."
Resolusi tersebut selanjutnya menuntut agar Israel "menarik diri dari seluruh wilayah Golan Suriah yang diduduki hingga batas 4 Juni 1967" dan menekankan ilegalitas pembangunan permukiman dan kegiatan lainnya di wilayah tersebut sejak 1967.
"Pendudukan berkelanjutan di wilayah Golan Suriah dan aneksasinya secara de facto merupakan batu sandungan dalam upaya mencapai perdamaian yang adil, menyeluruh, dan abadi di wilayah tersebut," demikian pernyataan resolusi tersebut.
Resolusi itu juga menyerukan dimulainya kembali perundingan perdamaian di Suriah dan Lebanon serta mendesak para sponsor bersama proses perdamaian dan masyarakat internasional untuk mengerahkan upaya menghidupkan kembali perundingan berdasarkan resolusi Dewan Keamanan 242 dan 338.
Resolusi 242 yang diadopsi pada November 1967 mendesak Israel untuk menarik diri dari wilayah yang didudukinya dalam perang 1967. Namun, Israel baru menarik diri dari Semenanjung Sinai pada 1982, sebagai bagian dari perjanjian damai antara Israel dan Mesir yang disahkan pada 1979.
Sementara itu, Resolusi 338 menuntut gencatan senjata dalam Perang Arab-Israel 1973 dan mendesak penerapan segera Resolusi 242 untuk mencapai perdamaian yang adil dan abadi di Timur Tengah. Selain itu, resolusi tersebut juga meminta Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres untuk melaporkan kepada Majelis Umum pada sidang ke-18 tentang penerapan resolusi tersebut.
Utusan khusus PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, pada Selasa (10/12/2024) menyatakan bahwa pendudukan Israel atas zona penyangga di Dataran Tinggi Golan setelah jatuhnya rezim Baath Suriah merupakan pelanggaran terhadap perjanjian yang ditandatangani antara Israel dan Suriah pada 1974. Pedersen mengatakan dalam konferensi pers mingguan di Kantor PBB di Jenewa bahwa PBB menganggap tindakan ini sebagai pelanggaran Perjanjian Pemisahan Pasukan 1974.
"Pesan dari New York tetap sama, bahwa apa yang kami saksikan merupakan pelanggaran terhadap perjanjian pemisahan pada tahun 1974," tambahnya.
Pedersen juga menegaskan bahwa pihaknya akan terus memantau isu ini bersama rekan-rekan mereka di markas besar PBB di New York.