Petinggi Gerindra Kompak Bela Prabowo, Tepis Isu Pidana, Sebut Mahfud MD Orang Gagal
Mahfud MD dinilai keliru dan salah menangkap pesan dari Prabowo.
REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA — Para pembantu dan anak buah Presiden Prabowo Subianto menangkis tudingan mantan Menteri Koordinator Politik Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD. Guru Besar UII itu sebelumnya menyebut adanya ancaman jeratan pidana yang bisa menjerat kepala negara sekalipun, jika tetap nekat memberikan maaf dan pengampunan terhadap koruptor.
Menteri Hukum Supratman Andi Agtas mengatakan, pernyataan Mahfud MD tersebut reaksi salah menangkap pesan. Respon itu pun keliru dari sisi konteks terkait pemberian maaf, atau pengampunan yang disampaikan oleh Presiden Prabowo.
“Bahwa dalam pemberantasan tindak pidana korupsi, sama sekali Bapak Presiden tidak akan memberikan toleransi. Kalaupun akan ada pengampunan, setelahnya diikuti dengan proses penegakan hukum yang sangat keras. Bahkan beliau (Presiden Prabowo) mewanti-wanti supaya jangan sampai ada aparat penegak hukum untuk membekingi terhadap satu kasus tersebut,” kata kata Supratman saat konfrensi pers di Kementerian Hukum di Jakarta Selatan, Jumat (27/12/2024).
Supratman mengungkit pendapat Mahfud MD yang betebaran di banyak pemberitaan nasional tentang Presiden Prabowo bisa dijerat dengan Pasal 55 KUH Pidana jika tetap mengambil langkah pengampunan terhadap koruptor.
“Bahkan ada yang menyatakan kalau Presiden mengampuni koruptor, Presiden bisa dijerat dengan Pasal 55 KUH Pidana,” kata Supratman.
Namun Supratman pernyataan Mahfud MD tersebut melupakan hak konstitusional seorang Presiden Prabowo sebagai kepala negara. Menurut Supratman, Pasal 14 Undang-undang Dasar (UUD) 1945 memberikan hak dan kewenangan seorang presiden dalam pemberian amnesti, abolisi, grasi, ataupun rehabilitasi kepada narapidana untuk semua jenis tindak pidana.
Itu artinya, kata Supratman, presiden sebagai kepala negara juga dapat memberikan maaf, pengampunan, atau pun penghapusan pidana terhadap pelaku tindak pidana korupsi.
“Namun apakah nanti ke depannya proses ini yang akan ditempuh (oleh Presiden Prabowo)? Belum ada keputusan sama sekali. Itu baru sebatas wacana yang dilontarkan. Bahwa wacana untuk memaafkan koruptor itu perkara baru? Itu juga sudah lama,” kata Supratman.
Bahkan, menurut politikus Partai Gerindra itu, Mahfud MD saat pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (Menhukham) 2001 silam, pernah juga mewacanakan untuk memberikan pengampunan berupa amnesti, maupun abolisi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana korupsi.
“Prof Mahfud juga (pernah) menyebutkan pada saat menjabat sebagai menteri kehakiman, beliau sampaikan pernah mengusulkan itu (pengampunan terhadap koruptor) dengan menempuh beberapa cara. Bahkan beliau (Mahfud MD) menyampaikan bisa mencontoh apa yang dilakukan di Latvia, atau di Afrika Selatan,” kata Supratman.
Karena itu, menurut Supratman penyampaian Mahfud MD perihal Presiden Prabowo bisa dijerat dengan sangkaan penyertaan seperti dalam Pasal 55 KUH Pidana jika memberikan pengampunan, atau maaf kepada para koruptor sebagai reaksi berlebihan.
Mahfud MD, kata Supratman seperti lupa bahwa Pasal 14 UUD 1945 memberikan kewenangan konstitusionalitas untuk kepala negara dalam memberikan amnesti, abolisi, grasi, pun rehabilitasi terhadap pelaku-pelaku tindak pidana. Termasuk di dalamnya adalah untuk para narapidana terkait kasus-kasus korupsi.
“Mau tindak pidana apapun, Presiden diberikan hak untuk dapat memberikan empat hal tersebut (amnesti, abolisi, grasi, dan rehabilitasi). Tetapi apakah Presiden akan menjalankan itu? Kita tunggu nanti seperti apa kebijakannya. Tetapi, kalau pertanyaan boleh atau tidak? Boleh,” ujar Supratman.
Atas kebolehan menurut UUD 1945 tersebut, menurut Supratman, adalah pendapat yang tendensius jika pemberian maaf, pengampunan, ataupun penghapusan pidana terhadap koruptor tersebut bisa berujung pada pemidanaan terhadap Presiden Prabowo.
“Yang saya ingin sampaikan, jangan membenturkan seolah-seolah kalau Presiden mengambil langkah itu, kemudian dianggap ‘turut-serta’ menggunakan Pasal 55 KUH Pidana. Sementara Undang-undang Dasar memberikan kewenangan untuk melakukan amnesti, abolisi, grasi, rehabilitasi terhadap semua jenis tindak pidana,” begitu kata Supratman.
Mahfud Disebut Orang Gagal
Dari Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua Komisi III Habiburokhman menuding pernyataan Mahfud MD seperti penghasutan. Kata politikus Partai Gerindra itu, seolah-olah Presiden Prabowo dalam wacana pemberian amnesti, ataupun abolisi terhadap narapidana korupsi sebagai kampanye untuk sama-sama masuk jurang pelanggaran hukum.
“Pak Mahfud jangan menghasut bahwa Pak Prabowo mengajarkan pelanggaran hukum,” kata Habiburokhman di Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (27/12/2024).
Wakil Ketua Umum Gerindra tersebut pun meminta agar masyarakat tak perlu mendengarkan penilaian Mahfud MD itu. “Mahfud ini orang gagal. Dia sendiri menilai dia gagal. Lima tahun sebagai menko polhukam, dengan memberi skor lima dalam penegakan hukum. Apa yang mau dinilai dari Mahfud MD, gitu kan? Jadi itu saja. Saya males. Capek kita berdebat,” ujar dia.
Habiburokhman menilai pernyataan Presiden Prabowo yang mewacanakan akan memberikan maaf, ataupun pengampunan terhadap para koruptor tak bisa ditafsirkan sebagai bentuk ketundukan pemerintahan terhadap pelaku-pelaku kejahatan tindak pidana korupsi. Pun tak bisa ditafasirkan sebagai bentuk lemahnya pelaksana pemerintahan saat ini dalam misi pemberantasan korupsi.
Akan tetapi kata Habiburokhman, wacana tersebut hanya bisa diterjemahkan melalui mekanisme pelaksana perundangan. “Kita memperdebatkan hal yang remeh-temeh. Tapi melupakan hal paling substansi pemberantasan korupsi. Tinggal saja kepolisian, kejaksaan, KPK menterjemahkan arahan Pak Prabowo sesuai hukum dan undang-undang yang berlaku,” ujar Habiburokhman. “Nggak mungkin Pak Prabowo itu memberikan instruksi untuk mengabaikan berbagai peraturan perundang-undangan,” kata dia melanjutkan
Kritik Mahfud MD
Sebelumnya Mahfud MD melontarkan kritiknya atas wacana Presiden Prabowo yang akan memberikan maaf, pengampunan, atau penghapusan pidana terhadap koruptor. Menurut Mahfud MD, wacana presiden itu bisa dikatakan melanggar Pasal 55 KUH Pidana. Karena menurut dia, pemberian amnesti, maupun abolisi tersebut sama artinya dengan usaha tetap menumbuh-suburkan praktik korupsi. “Komplikasinya akan semakin membuat rusak dunia hukum,” kata Mahfud, pekan lalu.
Menurut mantan calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 itu, menengok keberlakuan hukum yang ada, bahwa pihak-pihak turut-serta menyubur-tumbuhkan praktik-praktik korupsi, dapat dijerat pidana.
“Menurut hukum, menurut hukum yang berlaku sekarang, itu (memafkan dan mengampuni koruptor) tidak boleh. Siapa yang membolehkan itu bisa terkena Pasal 55 (KUH Pidana), berarti ikut menyuburkan korupsi. Itu ikut serta (korupsi ya, Pasal 55 KUHP itu,” ujar Mahfud.
Kritik Mahfud MD tersebut, pun sebetulnya reaksi publik atas penyampaian Presiden Prabowo yang berpidato di hadapan para mahasiswa rantau di Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir pada Rabu (18/12/2024) lalu.
Saat itu, Presiden Prabowo menyampaikan akan memberikan kesempatan bagi para koruptor untuk bertaubat. Yaitu dengan mengembalikan hasil korupsinya ke kas negara. Bahkan Presiden Prabowo memberikan fasilitas ‘diam-diam’ bagi para koruptor yang ingin mengembalikan hasil kejahatannya itu.
“Saya dalam minggu-minggu ini, bulan-bulan ini, saya dalam rangka memberi apa istilahnya itu, memberikan kesempatan, memberi kesempatan untuk taubat. ‘Hai para koruptor atau yang merasa pernah mencuri dari rakyat, kalau kau kembalikan yang kau curi, ya mungkin, kita maafkan. Tapi kembalikan dong,” kata Presiden Prabowo.
“Nanti kita beri kesempatan car mengembalikannya bisa diam-diam, supaya enggak ketahuan. Mengembalikan loh ya, tapi kembalikan,” ujar Presiden Prabowo.