Delapan Hikmah Dalam Kehidupan

Murid sufi ini menuturkan delapan perkara yang dipetiknya usai belajar puluhan tahun.

Republika/Putra M. Akbar
ILUSTRASI Murid mengaji.
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Imam Syaqiq al-Balkhi adalah seorang sufi yang hidup pada abad kesembilan. Alim dari Khurasan itu merupakan anak seorang hartawan. Alih-alih menyibukkan diri dalam perdagangan atau hal-hal materiel, ia memilih jalan tasawuf yang jauh dari hingar-bingar duniawi.

Baca Juga


Sebagai seorang mursyid, Imam Syaqiq al-Balkhi memiliki banyak murid. Mereka berasal dari pelbagai negeri. Di antara para santrinya itu ialah seorang yang cerdas bernama Hatim al-Ashom.

Suatu hari, Syaqiq bertanya kepada muridnya itu, "Sudah berapa lama engkau menuntut ilmu dariku?"

"Sudah 33 tahun, ya Syekh," jawab sang murid.

"Apa saja yang sudah engkau pelajari selama 33 tahun itu?"

"Hanya delapan hal," jelas Hatim, singkat.

Syaqiq terpana, "Innalillahi! Dalam waktu sepanjang itu, hanya delapan hal yang kau pelajari? Apa saja itu?"

Hatim al-Ashom pun menjelaskan sebagai berikut.

Pertama, setiap manusia memiliki kekasih, tetapi kekasihnya itu pasti akan meninggalkannya sendirian begitu ia mati dan jasad terbujur di liang lahat. "Maka, kupilih amal kebaikan sebagai kekasihku."

Kedua, tiap orang mesti berjuang melawan hawa nafsunya agar tunduk kepada Allah SWT. "Sebab, kuyakin janji Allah dalam Alquran."

Ketiga, banyak manusia gemar menumpuk-numpuk harta, padahal 'apa yang di sisi Allah akan kekal' (QS an-Nahl: 96).

Keempat, banyak orang mengejar jabatan. Padahal, 'orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa' (QS al- Hujurat: 13).

Kelima, banyak manusia saling mencela karena hasad, padahal semuanya telah dibagi oleh Allah. "Maka, kutinggalkan dengki dan tidak bermusuhan dengan seorang pun."

Keenam, manusia banyak saling menzalimi dan membunuh, padahal 'setan itu adalah musuh bagimu' (QS al-Fathir:6). "Maka, kujadikan setan sebagai satu-satunya musuhku."

Ketujuh, banyak orang menghinakan diri sendiri dengan berbuat maksiat hanya karena harta. Padahal, 'tiada satupun binatang melata di bumi, melainkan Allah telah menanggung rezekinya' (QS Hud: 6). "Maka, kusibukkan diri dengan taat kepada Allah. Tidak pernah mengkhawatirkan rezeki yang telah dijamin Allah untukku."

Terakhir, banyak manusia merasa bergantung ke sesama makhluk. Padahal, 'barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Allah akan mencukupkannya' (QS ath-Thalaq: 3). "Maka, aku bertawakal hanya kepada Allah."

Imam Syaqiq tersenyum mendengarkan penjelasan muridnya itu. Sang syekh berkata, "Engkau benar, wahai Hatim."

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler