Orientalis Yahudi Kritik Hadis-Hadis yang Diriwayatkan Imam Muslim, Begini Kata Pakar
Ignaz Goldziher berpendapat, hadis-hadis tersebut diragukan autentitasnya.
REPUBLIKA.CO.ID, Bagi umat Islam, khususnya mereka yang pernah belajar ilmu hadis, pastilah mengetahui atau setidaknya pernah mendengar kitab al-Musnad ash-Shahih atau al-Jami' ash-Shahih, yang lebih dikenal dengan Shahih Muslim.
Kitab yang satu ini menempati kedudukan istimewa dalam tradisi periwayatan hadis. Kitab ini pun dipercaya sebagai kitab hadis terbaik kedua setelah kitab Shahih Bukhari karya Imam Bukhari.
Siapa gerangan pengarang kitab itu? Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Tahdzib at-Tahdzib menyebutkan, penulis kitab Shahih Muslim adalah seorang pedagang pakaian yang selama 15 tahun menghabiskan waktunya untuk menyusun dan meneliti hadis beserta riwayat-riwayatnya.
Meskipun kadar kesahihan hadis-hadis yang disusun oleh Imam Muslim itu telah diakui oleh sebagian besar ulama, hal itu tidak membuatnya luput dari kritik tajam berbagai kalangan.
Salah satu kritikus yang paling bersemangat adalah Ignaz Goldziher, seorang orientalis Hungaria yang lahir dari keluarga Yahudi pada 1850 M.
Menurut Mustafa Azami, Ignaz Goldziher barangkali orientalis pertama yang melakukan kajian tentang hadis. Baru setelahnya disusul oleh orientalis-orientalis lain, seperti Joseph Schacht (1902-1969), Sprenger, Dozy, J Horovitz, J Robson, S Mackensen Ruth, J Schaht, dan M Wensinck.
Ignaz Goldziher berpendapat, hadis-hadis yang diriwayatkan oleh ulama-ulama Muslim klasik, termasuk Imam Muslim, diragukan autentitasnya sebagai sabda Nabi Muhammad SAW. Menurut Goldziher, metode studi hadis ulama klasik sangat lemah karena lebih banyak menggunakan kritik sanad dan melupakan kritik matan.
Mengenai kritik dari orientalis ini, Ali Mustafa Yaqub dalam Kritik Hadis menjelaskan, ''Sebenarnya para ulama hadis sudah menggunakan kritik matan. Hanya saja kritik matan yang dimaksud oleh Ignaz Goldziher berbeda dengan kritik matan yang dipakai oleh para ulama.''
Upaya orientalis menggoyahkan karya Imam Muslim karena pengaruh karya-karya beliau dalam tradisi keilmuan umat Islam. Di mata para orientalis, sosok Imam Muslim dan karya-karyanya adalah benteng yang melindungi umat Islam untuk tetap berada dalam koridor Sunah Nabawiyah sehingga mesti dirobohkan.
Meskipun Imam Muslim telah wafat ratusan tahun silam, tepatnya pada 24 Rajab 261 H, karya-karyanya tetap dibaca dan dipraktikkan oleh umat Muslim di seluruh penjuru dunia. Hadis-hadis yang beliau himpun, di antaranya, berfungsi untuk menjelaskan kandungan Alquran, memberikan keteladanan Rasulullah Saw, dan menetapkan hukum-hukum sesuai dengan syariat Allah SWT.
Berbeda dengan sikap orientalis Yahudi, ulama klasik memuji sosok dan karya Imam Muslim. Imam Adz-Dzahabi memandang Imam Muslim sebagai seorang saudagar yang mempunyai reputasi dan sikap ramah. Ia pun menjulukinya Muhsin Nisapuri (dermawan Nisapur). ''Dia seorang imam al-kabir (imam besar) dan hujjah (ahli pengetahuan Islam) yang jujur.''
Sementara itu, Syekh Muhammad Said Mursi yang mengutip pendapat Muhammad bin Basyar menggambarkan kecemerlangan Imam Muslim dengan mengatakan, ''Penghafal di dunia ini ada empat, yaitu Abu Zur'ah di Ray, Muslim di Nisapur, Abdullah ad-Darimi di Samarkand, dan Muhammad bin Ismail di Bukhara.''
Muhammad bin Basyar menempatkan Imam Muslim setara dengan ulama-ulama besar di zamannya. Ia disejajarkan dengan Muhammad bin Ismail, yang tak lain adalah Imam Bukhari. Disejajarkan pula dengan Abu Zur'ah ar-Razi, seorang kritikus hadis terbesar di zaman Imam Muslim.
Mengenai hubungan antara Imam Muslim dan Abu Zur'ah, Mustafa Azami menjelaskan, Imam Muslim selalu memberikan catatan hadisnya kepada Abu Zur'ah untuk diteliti riwayat-riwayatnya. Setiap hadis yang dia isyaratkan mengandung 'illah atau cacat, sang imam membuangnya. Sehingga, yang dipertahankan hanya hadis-hadis yang sangat populis.
Sikap ini menunjukkan komitmen beliau dalam mengutamakan hadis-hadis sahih menurut para ulama, bukan menurut pendapat pribadinya. Ini juga mencerminkan pribadinya yang rendah hati untuk menerima kebenaran dari orang lain, di samping mengutamakan sikap hati-hati karena menyangkut kepentingan umat.
Tak diragukan lagi bagi Imam Abu al-Shalah (643 H) untuk mengakui dengan jujur bahwa kitab yang paling autentik setelah Alquran adalah kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim. Pendapat ini kemudian dipopulerkan oleh Imam Nawawi (676 H) dengan memberikan tambahan keterangan, yakni para ulama telah bersepakat dalam masalah itu dan umat Islam pun menerimanya.