AKBP Malvino Dipecat Terkait Kasus DWP, Perannya Minta Uang Imbalan Pembebasan WN Malaysia
AKBP Malvino menjabat Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya saat kasus terjadi.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Majelis Sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP) menjatuhkan sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH) terhadap Kasubdit III Ditresnarkoba Polda Metro Jaya AKBP Malvino Edward Yusticia (MEY). Menurut putusan sidang, Malvino dinyatakan melakukan pelanggaran etik atas dugaan pemerasan kepada warga negara Malaysia, pengunjung konser Djakarta Warehouse Projects (DWP).
Karopenmas Divisi Humas Polri Brigjen Trunoyudo Wisnu Andiko menerangkan, keterlibatan Malvino dalam kasus ini adalah ketika yang bersangkutan menjabat sebagai Kasubdit Ditresnarkoba Polda Metro Jaya, mengamankan warga negara Malaysia maupun Indonesia yang diduga menyalahgunakan narkoba dalam konser DWP 2024 pada 13-15 Desember 2024. Namun, pada saat pemeriksaan terhadap orang yang diamankan tersebut, yang bersangkutan melakukan permintaan uang sebagai imbalan dalam pembebasan atau pelepasan.
"Saat pemeriksaan terhadap orang yang diamankan tersebut telah melakukan permintaan uang sebagai imbalan dalam pembebasan atau pelepasannya," kata Trunoyudo saat jumpa pers di Mabes Polri, Kamis (2/1/2025).
Pihaknya menjelaskan jika pasal yang dilanggar oleh MEY yakni, Pasal 13 Ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2003 Tentang Pemberhentian Anggota Polri Pasal 5 Ayat 1 Huruf B Pasal 5 Ayat 1 Huruf C Pasal 6 Ayat 1 Huruf D Pasal 11 Ayat 1 Huruf B Pasal 12 Huruf B Peraturan Kepolisian Nomor 7 Tahun 2022 Tentang Kode Etik Profesi dan Komisi Kode Etik Polri.
Selanjutnya, dari hasil sidang MEY dinyatakan melanggar kode etik karena melakukan perbuatan tercela. Ia juga mengatakan pelaku juga diganjar sanksi administratif berupa penempatan di tempat khusus dan PTDH.
"Pemberhentian tidak dengan hormat atau PTDH sebagai anggota Polri," katanya mengakhiri.
Atas putusan tersebut, AKBP Malvino menyatakan banding.
Sebelumnya, sidang Kode Komisi Etik Polri (KKEP) juga menjatuhkan sanksi PTDH kepada Kombes Pol. Donald Parlaungan Simanjuntak selaku Dirnarkoba Polda Metro Jaya dan AKP Yudhy Triananta Syaeful selaku Panit 1 Unit 3 Subdit 3 Ditresnarkoba Polda Metro Jaya. Sanksi tersebut dijatuhkan dalam sidang pelanggaran Kode Etik dan Profesi Polri (KEPP) yang berlangsung sejak pukul 11.00 WIB pada Selasa (31/12/2024) hingga pukul 04.00 WIB pada Rabu (1/1/2025).
"Sidang etik untuk tiga orang dengan putusan PTDH untuk direktur narkoba," kata anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Muhammad Choirul Anam kepada awak media di Jakarta, Rabu.
Dua orang lainnya yang mengikuti sidang tersebut adalah personel dengan jabatan kepala unit (kanit) dan kepala subdirektorat (kasubdit). Anam mengatakan personel dengan jabatan kanit juga dijatuhi sanksi pemecatan, tetapi identitasnya tidak diungkapkan. Sementara personel dengan jabatan kasubdit belum dijatuhi putusan.
"Untuk kasubdit belum ada putusan karena diskors dan akan dilanjutkan pada hari Kamis (2/1/2024)," ucapnya.
Atas putusan pemecatan yang dijatuhkan terhadap Donald dan seorang kanit, kedua anggota Polri itu mengajukan banding. "Kedua orang tersebut yang di-PTDH mengajukan banding," katanya.
Anggota Komisi III DPR RI Abdullah menilai sanksi pemecatan Dirnarkoba Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Donald Parlaungan Simanjuntak yang terbukti melakukan pemerasan terhadap penonton Djakarta Warehouse Project (DWP) 2024 sudah tepat. Menurut dia, keputusan tersebut pasti didasari pada bukti yang sangat kuat sebab Polri tidak mungkin sembarangan dalam memutuskan pemecatan kepada anggotanya.
"Jadi, pemecatan itu sudah didukung dengan banyak bukti. Itu merupakan langkah yang tepat," kata Gus Abduh, sapaan karibnya, dalam keterangan yang diterima di Jakarta, Kamis.
Terlebih, lanjut dia, Donald merupakan atasan dari para polisi yang diduga melakukan pemerasan pula terhadap penonton DWP dengan modus pemeriksaan tes narkoba. "Tes narkoba sebenarnya merupakan hal yang baik, tetapi akan menjadi tidak baik ketika disalahgunakan," ucapnya.
Ditegaskan pula bahwa sidang etik harus dilanjutkan kepada para pelaku yang lain usai Donald dijatuhi sanksi pemecatan. Sidang tersebut, lanjut dia, juga harus dilakukan secara transparan dan tidak boleh ada yang ditutup-tutupi sehingga semua masyarakat mengetahui apa yang sesungguhnya terjadi.
"Tidak timbul kecurigaan di tengah masyarakat. Sidang etik harus transparan. Masyarakat kita makin cerdas dan kritis," ujarnya.
Gus Abduh mengingatkan pula agar pelaksanaan sidang etik tidak tebang pilih, serta tidak boleh ada perlakukan berbeda atau istimewa terhadap para terduga pelaku.
"Mereka harus mendapatkan perlakuan yang sama dalam sidang etik. Mereka yang terbukti melanggar etik, harus dijatuhi sanksi," katanya.
Setelah sidang etik digelar, tambah dia, para pelaku juga harus dijatuhi hukuman pidana sebab tindak pidana pemerasan sudah diatur dalam Pasal 368 dan Pasal 36 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
"Apalagi, uang hasil pemerasan itu cukup besar, mencapai Rp2,5 miliar," katanya.
Ia menggarisbawahi bahwa para pelaku pemerasan bukan hanya mencoreng nama baik Polri, melainkan sudah merusak citra Indonesia di mata dunia karena korban pemerasan merupakan warga negara Malaysia.
"Masyarakat internasional akan menganggap bahwa Indonesia, khususnya polisi, adalah tukang peras dan tidak bermoral. Padahal, pemerasan itu hanya dilakukan sejumlah oknum polisi, bukan Polri secara lembaga," tuturnya.
Sebelumnya, Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Abdul Karim membantah kabar yang menyebutkan, jumlah korban dalam kasus dugaan pemerasan di konser DWP sebanyak 400 orang. Abdul mengklarifikasi, jumlah korban di kasus ini sebanyak 45 orang.
"Jadi, dari hasil penyelidikan yang sudah kami lakukan, perlu kami luruskan bahwa korban warga negara Malaysia dari penyelidikan dan identifikasi kami secara scientific, kami temukan sebanyak 45 orang,” ucap Abdul di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Selasa (24/12/2024) malam.
Jenderal bintang dua itu mengungkapkan bahwa ada dua warga negara Malaysia yang secara resmi melaporkan kasus ini kepada Divisi Propam Polri. “Ada dua orang pendumas (orang yang mengajukan aduan masyarakat). Tentunya pendumas ini kita jaga inisialnya,” ucapnya.
Selain korban, ia juga mengklarifikasi bahwa jumlah barang bukti yang telah diamankan dalam kasus tersebut adalah sebesar Rp2,5 miliar. Adapun kasus ini, kata dia, telah diambil alih sepenuhnya oleh Divisi Propam Mabes Polri dari propam kepolisian wilayah dalam rangka percepatan dan objektivitas pemeriksaan.
Pada pekan sebelumnya, Divisi Propam Polri mengamankan 18 polisi yang terlibat dalam kasus ini. Belasan personel tersebut terdiri dari personel Polda Metro Jaya, Polres Metro Jakarta Pusat, dan Polsek Metro Kemayoran.
Sebelumnya, terdapat unggahan di akun X @Twt_Rave, yang mengunggah sejumlah oknum polisi diduga melakukan penangkapan dan pemerasan terhadap penonton dari Malaysia. Dalam unggahannya, mereka menyebut oknum polisi Indonesia menangkap dan melakukan tes urine mendadak terhadap lebih dari 400 penonton dari Malaysia.
"Oknum polisi juga diduga memeras uang mereka yang jumlahnya berkisar 9 juta RM atau setara Rp32 miliar. Bahkan, ada klaim bahwa para penonton terpaksa membayar meski tes urine narkoba mereka negatif," tulis akun tersebut.