Tentang Fenomena Mengemis di Media Sosial
Mengemis di Medsos Sebagai fenomena yang sudah lama ada di jagat maya, sempat memunculkan pro dan kontra.
KINGDOMSRIWIJAYA – Sebuah media online lokal menayangkan artikel berjudul “Fenomena Ngemis di TikTok: Apa yang Terjadi dan Bagaimana Konsepnya?”. Setelah membaca unggahan tersebut seorang teman bertanya dan mengajak berdiskusi tentang fenomena mengemis di media sosial pada berbagai platform, wilayah diskusi sampai masuk pada kajian agama.
Sebenarnya fenomena mengemis melalui media sosial dengan berbagai platform tidak hanya sebatas TikTok sudah ada sejak lama. Kapan tepatnya? Butuh waktu untuk menelusurinya. Jangan juga dibayangkan fenomena mengemis melalui media sosial (medsos) atau dunia maya seperti mengemis keliling pasar atau kampung.
Sebagai fenomena yang sudah lama ada di jagat maya, fenomena ini juga sempat memunculkan pro dan kontra. Perkembangan teknologi digital telah melahirkan berbagai bentuk interaksi sosial baru, salah satunya adalah fenomena mengemis di media sosial. Platform seperti YouTube, Facebook, Instagram, TikTok, dan lainnya memberikan ruang bagi individu untuk berbagi cerita, mencari dukungan, atau bahkan meminta sumbangan secara langsung kepada publik.
Lantas fenomena ini menimbulkan berbagai pertanyaan, apakah ini merupakan bentuk kreativitas baru dalam ruang digital, atau justru dampak negatif dari era media sosial? Ada yang berpendapat, fenomena mengemis di media sosial adalah cerminan kompleksitas ruang digital dan masyarakat modern.
Di satu sisi, fenomena ini dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun solidaritas dan memberikan bantuan kepada mereka yang membutuhkan. Di sisi lain, praktik ini juga memiliki potensi untuk disalahgunakan dan menimbulkan dampak negatif bagi individu maupun masyarakat.
Live Mandi Lumpur
Masih ingat dengan konten “mandi Lumpur” yang pernah diunggah di media sosial pada platform Tiktok? Menurut Wardatul Jannah dan Nova Saha Fasadena dalam “Fenomena Mandi Lumpur Live di TikTok Menurut Teori Dramaturgi Erving Goffman” (2023), aksi live mandi lumpur ditayangkan pemilik akun TikTok @intan_komalasari92 yang kemudian banyak ditiru oleh akun-akun lain hanya untuk mendapatkan gift dari penonton yang dapat ditukarkan menjadi uang.
Fenomena mandi lumpur ini akhirnya banyak menuai pro dan kontra di masyarakat, menurut mereka yang menentang, konten mandi lumpur selain dianggap sebagai eksploitasi terhadap orang tua juga dianggap sebagai cara mengemis model baru atau mengemis secara online.
Tayangan live mandi Lumpur pemilik akun TikTok @intan_Komalasari menunjukkan banyak sekali penonton atau viewers yang menonton dan memberikan gift terhadap aksi tersebut sehingga mereka para konten kreator semakin terkenal dan viral dan semua yang mereka lakukan demi uang.
Penggunaan talent nenek-nenek menarik minat penonton, sehingga penonton yang melihat aksi nenek dengan mandi lumpur dan berendam selama berjam-jam, merasa iba dan kasihan sehingga mereka memberikan berbagai macam gift kepada akun yang melakukan siaran langsung tersebut. Dari rasa iba penonton tersebut konten kreator memanfaatkannya sebagai ladang mencari uang sebanyak-banyaknya.
“Gift atau hadiah yang didapatkan selama live dikumpulkan kemudian ditukarkan dengan sejumlah uang sesuai dengan jumlah poin dari gift tersebut. Permintaan gift kepada penonton tak ubahnya sama seperti halnya mengemis uang tapi bedanya dilakukan secara online”, tulis Wardatul Jannah dan Nova Saha Fasadena.
Lalu konten mandi lumpur banyak ditiru konten kreator lainnya, di TikTok mereka memanfaatkan para lansia yang mandi lumpur dan diguyur air dengan harapan para audiens tayangan live streaming memberikan gift atau hadiah. Kemudian Kementerian Kominfo melalui Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik, Usman Kansong meminta platform TikTok untuk melakukan take down atau penurunan konten terkait aktivitas mengemis online yang tengah marak tersebut.
“Konten live streaming yang berusaha menarik empati audiens tersebut dapat dikategorikan sebagai eksploitasi kemiskinan untuk dijadikan komoditas berharga. Para pelaku TikTok live berusaha untuk meraup keuntungan dari gift yang diberikan audiens. Konten semacam ini semakin dilanggengkan dengan andil audiens yang turut memberikan gift. Hal ini dapat membuat para pembuat konten dimanjakan dan terus mempraktikkan tindakan eksploitasi semacam ini”, tulis Jatayu Bias Cakrawala dan kawan-kawan dalam penelitiannya “Komodifikasi Empati: Eksplorasi Fenomena ‘Ngemis dan Nyawer’” (2024).
Apa yang menyebabkan fenomena mengemis marak di media sosial? Ada beberapa faktor penyebabnya. 1. Kemudahan Akses dan Anonimitas. Media sosial memberikan akses mudah untuk menyampaikan permintaan kepada audiens yang luas tanpa harus berhadapan langsung. Anonimitas sering kali memberikan rasa aman bagi individu untuk meminta bantuan.
2. Kesenjangan Ekonomi. Bahwa ketimpangan ekonomi yang yang ada dalam masyarakat menjadi salah satu pendorongnya. Banyak individu yang mengalami kesulitan keuangan melihat media sosial sebagai peluang untuk mencari bantuan secara langsung.
3. Popularitas Platform Digital. Dengan miliaran pengguna aktif, platform media sosial menjadi tempat strategis untuk menarik perhatian dan simpati publik. Viralitas konten juga dapat memperbesar peluang mendapatkan bantuan.
4. Budaya Konsumsi Konten Emosional. Pengguna media sosial cenderung tertarik pada cerita-cerita yang menyentuh hati. Hal ini menciptakan pasar untuk konten yang mengundang empati, termasuk permintaan bantuan finansial. 5. Kurang/ Ketiadaan Regulasi yang Ketat. Sebagian besar platform media sosial tidak memiliki regulasi ketat untuk mengontrol aktivitas mengemis secara daring. Ini memberi ruang bagi berbagai bentuk permintaan bantuan, baik yang tulus maupun manipulatif.
Bagaimana dengan dampak mengemis online di medsos? Fenomena ini ada dampak positif dan negatif. Dampak positif, meningkatkan solidaritas sosial. Fenomena ini dapat memperkuat solidaritas sosial, di mana orang-orang dari berbagai latar belakang bersedia membantu sesama yang membutuhkan.
Juga menjadi tempat menyediakan bantuan cepat khususnya dalam situasi darurat, media sosial memungkinkan individu untuk mendapatkan bantuan dengan cepat dari komunitas global. Dan bagi mereka yang benar-benar dalam kesulitan, media sosial bisa menjadi jalan keluar untuk mendapatkan dukungan finansial atau moral.
Jangan lupa dengan dampak negatifnya. Di media sosial marak dengan konten penipuan, bukan mustahil ini juga terjadi pada fenomena mengemis online ini. Tidak sedikit kasus di mana individu atau kelompok kontennya menggunakan cerita palsu untuk menarik simpati publik demi keuntungan pribadi. Kemudian munculnya stigma sosial, bahwa mereka yang mengemis di media sosial sering kali menghadapi stigma negatif, seperti dianggap malas atau memanfaatkan kebaikan orang lain.
Juga adanya eksploitasi emosional dengan membuat konten untuk mengeksploitasi atau mengaduk-aduk emosi audiens, yang pada akhirnya dapat menurunkan kepercayaan publik terhadap permintaan bantuan yang tulus. Jangan dilupakan bahwa konten kreator dan talent bisa terjebak pada ketergantungan bantuan dari pihak atau orang lain tanpa mendorong individu untuk mencari solusi jangka panjang.
Medsos dan Perubahan Sosial
Saat ini platform media sosial bukan hanya TikTok yang menjadi ajang atau tempat mengemis online. Mengutip GF Khan, B Swar, dan Lee KS dalam “Social Media Risks and Benefits: A Public Sector Perspective” (2013) bahwa media sosial merupakan media bersifat online tools yang memfasilitasi interaksi antara penggunanya dengan cara pertukaran informasi, pendapat, dan peminatan.
Sejarah media sosial sudah dikenal sejak era 70-an, dengan ditemukannya sistem papan buletin yang memungkinkan untuk dapat berhubungan dengan orang lain menggunakan surat elektronik ataupun mengunggah dan mengunduh perangkat lunak, semua ini dilakukan masih dengan menggunakan saluran telepon yang terhubung dengaan modem. Tahun 1995 lahirlah situs GeoCities, GeoCities melayani web hosting (layanan penyewaan penyimpanan data-data website agar website dapat diakses dari manapun). GeoCities merupakan tonggak awal berdirnya website- website.
Pada tahun 1997 sampai tahun 1999 munculah sosial media pertama yaitu Sixdegree.com dan Classmates.com. Pada waktu yang bersamaan muncul juga situs untuk membuat blog pribadi, yaitu Blogger. situs ini menawarkan penggunanya untuk bisa membuat halaman situsnya sendiri. sehingga pengguna dari Blogger ini bisa memuat hal tentang apapun.
Memasuki tahun 2000 pada tahun 2002 Friendster menjadi sosial media yang sangat booming dan kehadirannya sempat menjadi fenomenal. Setelah itu pada tahun 2003 sampai saat ini bermunculan berbagai sosial media dengan berbagai karakter dan kelebihan masing-masing.
Dalam perkembangannya social media atau media sosial telah hadir menjadi sarana atau aktivitas digital marketing, seperti Social Media Maintenance, Social Media Endorsement dan Social Media Activation. Oleh karena itu, media sosial (medsos) kini menjadi salah satu servis yang ditawarkan oleh Digital Agency.
Media sosial terdiri dari beragam tools dan teknologi yang terdiri dari proyek gabungan (contoh: Wikipedia, Wikispaces), blogs (contoh: Wordpress), mikroblogs (contoh: Twitter), komunitas content (contoh: Youtube), situs jejaring sosial (contoh: Facebook, Instagram, Path), folksonomies atau tagging (contoh: delicious), virtual game worlds (contoh: World of Warcraft), virtual social worlds (contoh: Second Life), LinkedIn, MySpace, dan semua akses berbasis internet lainnya.
Mengutip Anang Sugeng Cahyono dalam “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia” bahwa media sosial telah mempengaruhi kehidupan sosial dalam masyarakat. Perubahan- perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial dan segala bentuk perubahan- perubahan pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya, termasuk di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku diantara kelompok-kelompok dalam masyarakat.
Media sosial memberi dampak positif dan dampak negatif. Dampak positifnya, media sosial adalah memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu bukan lagi masalah, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih murah.
Sedangkan dampak negatif dari media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.
Fenomena mengemis di media sosial merupakan refleksi dari perubahan sosial yang terjadi di era digital. Fenomena mengemis online menurut Hana Mufidatul Mukaromah dan kawan-kawan dalam “Perubahan Sosial Dalam Media Sosial: Fenomena Pengemis Online di Tiktok dan Transformasi Masyarakat di Era Digital” (2023), adalah bagian dari dampak adanya teknologi digital yang mampu menawarkan komunitas semu.
Fenomena mengemis online juga menggambarkan teknologi dalam masyarakat yang dapat menampilkan identitas baru. Sistem sosial budaya yang selama ini terbentuk permanen telah tereduksi oleh dunia digital yang penuh kepalsuan tetapi menimbulkan permasalahan realitas sosial yang terjadi yaitu adanya orang yang mengemis online. (maspril aries)