Menteri Israel Ancam Sabotase Gencatan Senjata, Batal karena Tawaran Ini
Netanyahu menekan Smotrich agar tidak menerima ajakan Ben Gvir.
REPUBLIKA.CO.ID, TELAVIV -- Kesepakatan gencatan senjata antara kelompok perlawanan Palestina Hamas dengan Pemerintah Zionis Israel pada Rabu (15/1/2025) waktu setempat, sempat mendapatkan perlawanan sengit dari pembantu Perdana Menteri Benjamin Netanyahu yang berhaluan ekstremis sayap kanan.
Times of Israel melaporkan, Menteri Keuangan Bezalel Smotrich, yang merupakan ketua Partai Zionisme Religius, mengecam kesepakatan gencatan senjata tersebut. Dia menggambarkan, apa yang terjadi merupakan "kesepakatan yang buruk dan berbahaya bagi keamanan nasional Negara Israel."
"Bersama dengan kegembiraan dan kegembiraan besar atas kembalinya setiap orang yang diculik, kesepakatan itu membalikkan banyak pencapaian perang," katanya, seraya menambahkan bahwa pencapaian ini dibeli dengan mengorbankan darah Israel.
Ia mengungkapkan, keberlanjutan Partai Zionisme Religius dalam koalisi akan terjadi dengan memulai kembali kampanyenya melawan Hamas hingga kemenangan penuh setelah berakhirnya kesepakatan. Smotrich mengungkapkan, kemenangan sebagai penghancuran Hamas dan kembalinya semua sandera ke rumah mereka.
"Selama dua hari terakhir, perdana menteri dan saya telah melakukan pembicaraan yang sibuk tentang masalah ini. Ia tahu apa tuntutan rinci Zionisme Religius, dan bola ada di tangannya," kata Smotrich.
Presiden AS Joe Biden mengatakan pada Rabu malam bahwa kesepakatan itu akan membawa akhir perang yang permanen di Gaza. Netanyahu telah lama bersikeras bahwa dia tidak akan setuju untuk mengakhiri perang secara permanen sampai pemerintahan dan kemampuan militer Hamas telah dibongkar, dan berusaha selama negosiasi untuk memastikan bahwa Israel dapat melanjutkan pertempuran setelah tahap pertama.
Netanyahu dilaporkan telah menekan Smotrich untuk menolak seruan dari sesama Menteri Keamanan Nasional sayap kanan Itamar Ben Gvir agar keluar dari pemerintah usai persetujuan kesepakatan itu.
Pada Senin, Ben Gvir mengklaim bahwa dia telah berulang kali menggagalkan kesepakatan gencatan senjata dengan Hamas selama tahun lalu. Dia juga meminta Smotrich untuk bergabung lagi dengannya dalam menggagalkan kesepakatan yang muncul.
Pemerintah akan memiliki mayoritas untuk menyetujui kesepakatan gencatan senjata bahkan jika Smotrich dan Ben Gvir tidak mendukungnya di kabinet. Meski demikian, Netanyahu dilaporkan mencari dukungan seluas mungkin untuk perjanjian itu.
Jika kedua partai sayap kanan itu keluar dari koalisinya, pemerintah akan kehilangan dukungan dari mayoritas anggta Knesset. Orang-orang di sekitar Netanyahu yakin Ben Gvir tidak akan meninggalkan pemerintahan tanpa Smotrich. Hal tersebut menjadi alasan mengapa tekanan diberikan kepada Smotrich, menurut Channel 13.
Berita Kan melaporkan bahwa Netanyahu telah menawarkan Smotrich dan Ben Gvir "keuntungan untuk hak" sebagai imbalan agar mereka tetap berada di pemerintahan.
Keuntungan tersebut akan berarti pembangunan permukiman di Tepi Barat dan peningkatan keamanan, kata laporan itu. Ditambahkan pula, Smotrich dan Ben Gvir sama-sama dapat mengklaim penghargaan atas pembangunan tersebut, sehingga tawaran tersebut menarik bagi Ben Gvir, yang jika tidak, akan melihat Smotrich mengambil semua penghargaan.
Setelah lebih dari 460 hari berkonflik, Israel dan Hamas akhirnya menyepakati penghentian tembak menembak. Menurut Perdana Menteri (PM) Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani, kedua belah pihak tersebut telah mencapai kesepakatan gencatan senjata. Pada Ahad (19/1/2025) nanti, lanjut dia, gencatan senjata itu akan mulai dilaksanakan.
"Kedua belah pihak yang bertikai di Jalur Gaza telah mencapai kesepakatan tentang pertukaran tahanan dan sandera, dan (kami) mengumumkan gencatan senjata. Harapannya, ini akan berujung pada gencatan senjata secara permanen antara kedua belah pihak tersebut," ujar PM Qatar Syekh Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al-Thani dalam jumpa pers, seperti dilansir The Guardian, Kamis (16/1/2025).
Gencatan senjata ini, jelas PM Qatar, tidak hanya akan melepaskan sejumlah warga Palestina yang ditahan otoritas Israel, melainkan juga melonggarkan akses pengiriman bantuan kemanusiaan dari luar ke dalam Jalur Gaza, Palestina.
PM Qatar juga memaparkan, perundingan tidak akan berhenti sampai di sini. Pihaknya sebagai salah satu mediator terus memediasi antara Israel dan kelompok Hamas agar keduanya menyepakati sejumlah poin lainnya.
Adapun kesepakatan yang telah dicapai per hari ini berkenaan dengan gencatan senjata sementara yang akan menghentikan serangan militer zionis terhadap Jalur Gaza segera. Kemudian, Hamas akan membebaskan sekira 33 orang sandera, sedangkan Israel juga membebaskan sekitar seribu orang Palestina yang ditahannya sejak 7 Oktober 2023.
Dilansir Al Jazeera, tahap pertama dari gencatan senjata ini akan berlaku hingga enam pekan ke depan, yakni sejak Ahad (19/1/2025). Mulai hari itu pula, sesuai poin kesepakatan gencatan senjata, IDF akan menarik mundur tentaranya dari pusat-pusat kota di Jalur Gaza ke area dalam radius 700 meter dari perbatasan Jalur Gaza-Israel.
Israel juga diharuskan membiarkan masyarakat Palestina yang membutuhkan tindakan medis untuk keluar dari Jalur Gaza guna mendapatkan perawatan di luar negeri. Israel mesti membuka perlintasan Rafah, yang berada di perbatasan Jalur Gaza-Mesir, selambat-lambatnya pada hari ketujuh sejak gencatan senjata fase pertama berlaku.
IDF harus mengurangi penempatan pasukannya di Koridor Philadelphia, yakni jalur sempit sepanjang 14 kilometer perbatasan Jalur Gaza-Mesir. Selambat-lambatnya pada hari ke-50 sejak gencatan senjata ini berlaku, tentara zionis itu mesti meninggalkan area tersebut seluruhnya.