Celah Aturan yang Buat Kementerian ATR Bisa Batalkan Sertifikat di Area Pagar Laut
Menteri Nusron hari ini mengumumkan pembatalan sertifikat di area pagar laut.
REPUBLIKA.CO.ID, oleh Muhammad Noor Alfian Choir, Antara
Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Nusron Wahid akhirnya memutuskan untuk membatalkan penerbitan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB) dan Sertifikat Hak Milik (SHM) di area tertanam pagar laut di Kabupaten Tangerang, Banten. Menurut Nusron, jika merujuk pada PP Nomor 18 Tahun 2021, sertifikat pertanahan yang berusia di bawah 5 tahun bisa dibatalkan oleh pemerintah tanpa proses dan perintah pengadilan.
“Karena sertifikat tersebut rata-rata terbitnya pada tahun 2022-2023, maka kami menghitung dari hari ini ternyata kurang dari 5 tahun. Karena itu sudah mempunyai syarat cukup untuk meninjau ulang dan membatalkan sertifikat tersebut,” kata Nusron, Rabu (22/1/2025).
Nusron mengungkapkan pihaknya mengambil keputusan setelah meninjau beberapa sertifikat di area pagar laut itu. Pihaknya mengatakan tinjauan tersebut dicocokan dengan data Geospasial dan data peta.
“Semua yang ada di luar garis pantai. Karena memang pantai itu adalah common, sesuatu yang disebut dengan common property. Tidak boleh di dalam luar garis pantai itu, menjadi private property. Karena yang namanya pantai adalah common land. Kalau tuh dia bentuknya tanah, apalagi ini bentuknya tidak tanah. Maka itu adalah tidak bisa disertifikasi,” kata Nusron.
Kendati demikian, Nusron mengungkapkan belum bisa memeriksa status sertifikat dari 266 bidang di wilayah Desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupaten Tangerang. Pasalnya, hal tersebut memakan banyak waktu mengingat baru dikerjakan beberapa hari belakangan.
“Nah ini kan belum selesai semua. 266, kita baru 2 hari kerja melototin satu-satu, nyocokin peta, itu kan butuh waktu,” katanya.
“Tapi ada beberapa dari 266 itu, yang memang terbukti berada di luar garis pantai. Dan itu akan kita tinjau ulang,” katanya menambahkan.
Koalisi Rakyat Untuk Keadilan Perikanan (Kiara) sebelumnya mengatakan proses pemagaran dan pendaftaran tanah di area tertanam pagar laut diduga merupakan upaya komodifikasi laut menjadi daratan, yang berpotensi mengarah pada privatisasi ruang laut oleh pihak tertentu. Sekretaris Jenderal Kiara, Susan Herawati, menegaskan adanya dugaan kuat pemagaran laut di Tangerang berkaitan erat dengan penerbitan HGB dan SHM.
“Temuan Kiara di lapangan mendapatkan informasi dari pengaduan langsung dari nelayan kecil. Informasi dan dugaaan tersebut didapatkan nelayan ketika proyek pemagaran laut ini sedang berjalan tahun lalu. Kami menduga bahwa hal ini adalah proyek besar karena membutuhkan pendanaan yang besar untuk dapat membuat pagar laut sepanjang 30,16 km," kata Susan dalam pernyataan Kiara, Selasa (21/1/2025).
Susan menambahkan tidak ada bukti signifikan yang menunjukkan pemagaran dilakukan untuk mengatasi abrasi, yang menjadi alasan resmi. Kiara menilai penerbitan HGB dan SHM di atas laut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dan keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan Hak Penguasaan Perairan Pesisir (HP3).
Mereka menegaskan privatisasi laut melalui penerbitan hak kepemilikan pemerintah kepada pihak swasta adalah inkonstitusional dan melanggar prinsip demokrasi ekonomi. Susan menekankan tindakan Menteri ATR/BPN dalam menerbitkan hak kepemilikan di atas laut harus ditindaklanjuti secara transparan untuk mencegah terulangnya kasus serupa di masa depan.
“Kami menduga bahwa ini adalah penyalahgunaan kewenangan dalam penerbitan hak atas tanah di laut,” tegasnya.
Kiara juga mengingatkan saat ini HP3 bertransformasi menjadi Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Ruang Laut (PKKPRL), yang semakin melegitimasi privatisasi laut dan mengancam hak nelayan kecil. Konflik akibat PKKPRL telah terjadi di beberapa lokasi, termasuk Pulau Pari dan Manado Utara.
Susan menekankan perlunya pemahaman yang lebih baik dari Menteri Kelautan dan Perikanan mengenai pengelolaan pesisir dan laut, serta meminta agar pihak-pihak terkait diusut secara hukum.
"Sejauh ini kami menduga Menteri Kelautan dan Perikanan tidak mengerti tentang pengelolaan pesisir, laut, dan pulau kecil dan seharusnya malu dan mundur dari Menteri karena melegitimasi perampasan ruang laut," katanya.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mencurigai mereka yang memasang struktur pagar di laut berniat untuk membentuk daratan hasil sedimentasi sebagai lahan reklamasi yang terbentuk secara alami. Ia pun mengatakan, sertifikat di atas area tertanam pagar laut bisa dipastikan tidak sah.
“Saya perlu sampaikan kalau di dasar laut itu tidak boleh ada sertifikat. Jadi, (sertifikat yang mencakup wilayah laut) itu sudah jelas ilegal. Artinya, pemagaran ini dilakukan tujuannya agar tanahnya itu semakin naik. Semakin lama, semakin naik, semakin naik,” kata Trenggono saat jumpa pers di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Senin (20/1/2025), setelah menghadap Presiden Prabowo Subianto.
Trenggono melanjutkan luas daratan di tengah-tengah laut yang dapat terbentuk akibat dikelilingi struktur pagar itu dapat mencapai 30 hektare. “Jadi, nanti kalau terjadi seperti itu akan terjadi daratan, dan jumlahnya itu sangat besar. Tadi, saya laporkan kepada Bapak Presiden, dari 30 hektare itu, kira-kira sekitar 30.000-an hektare kejadiannya,” kata Trenggono.
Menurut Trenggono, jumlah lahan yang mungkin terbentuk akibat proses reklamasi alami itu cukup besar, dan yang perlu diwaspadai lahan-lahan itu kemungkinan telah bersertifikat. “Di bawahnya, ternyata menurut identifikasi Pak Menteri ATR/BPN itu ada sertifikatnya, yang atas nama siapa, atas nama siapa, teman-teman bisa cek sendiri,” kata Menteri Kelautan kepada para jurnalis.
Walaupun demikian, untuk saat ini, sertifikat yang merujuk kepada dasar laut itu tak sah, karena segala sesuatu yang berada di ruang laut harus mengantongi izin dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Izin yang dimaksud Trenggono salah satunya terkait Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).
“Kegiatan di ruang laut ya tidak boleh (sembarangan), harus ada izin. Di pesisir sampai ke laut tidak boleh. Harus ada izin,” kata Trenggono.