Pemberian Amnesti untuk Separatis Papua, Aktivis HAM: Bukan Solusi, Mereka Tetap Menyerang
Pemberian amnetis atau ablolisi dinilai bukan solusi untuk mengakhiri konflik.
REPUBLIKA.CO.ID, WAMENA — Wacana Presiden Prabowo Subianto yang akan memberikan amnesti, maupun abolisi terhadap orang-orang yang terlibat konflik bersenjata di Papua dinilai bakal sia-sia.
Pegiat dan aktivis hak asasi manusia (HAM) di Papua, Theo Hesegem menilai, jalur pengampunan tersebut bukan jalan untuk menyudahi konflik bersenjata di Bumi Cenderawasih. Pun kata Theo, pemberian amnesti, maupun abolisi itu sulit untuk menjamin penghilangan kampanye penentuan nasib sendiri di Papua.
“Menurut saya, pengampunan itu tidak penting,” kata Theo saat dihubungi Republika dari Jakarta, Kamis (23/1/2025).
Theo mengatakan, pemberian pengampunan terhadap sejumlah orang yang terlibat dalam konflik bersenjata maupun kekerasan di Papua, pun juga pengampunan terhadap tahanan-tahanan politik Papua bukan baru kali ini dilakukan. Theo mengingat Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada 2015 lalu, juga pernah memberikan pengampunan melalui grasi terhadap lima tahanan politik Papua.
Pemberian grasi waktu itu, kata Theo, pun dikatakan oleh pemerintahan di Jakarta sebagai bentuk upaya rekonsiliasi, dan perdamaian di Papua. Pengampunan ketika itu juga disebut-sebut sebagai upaya untuk menghentikan konflik, maupun kekerasan bersenjata di Papua.
Namun, tetap saja kelima penerima grasi oleh Presiden Jokowi itu, sejak dibebaskan, dan hingga kini masih terlibat dalam aktivisme penentuan nasib sendiri, atau Papua Merdeka. “Pengampunan itu, tetap tidak mengubah situasi di Papua toh. Mereka setelah bebas itu masih terus bicakan politik penentuan nasib sendiri. Mereka tidak diam toh. Jadi untuk apa diberikan (pengampunan)?,” ujar Theo.
Kenyataannya, kata Theo, pemberian pengampunan tersebut tak mengubah apapun di Papua. Papua kata Theo tetap mengalami situasi keamanan yang rawan, dan runyam. “Amnesti itu silakan saja. Itu kewenangan pemerintah toh. Tetapi menurut saya itu tidak penting. Karena situasi di Papua tidak berubah. Kekerasan bertambah terus, aparat banyak yang (jadi) korban rakyat sipil korban, pengungsian semakin banyak. Lalu untuk apa amnesti?,” kata Theo.
Theo juga menilai pemberian amnesti, maupun abolisi tersebut tak bakal mempan mengubah pandangan, atau sikap politik dari kelompok-kelompok bersenjata di Papua, terhadap pemerintahan Indonesia.
Theo yang juga direktur eksekutif Yayasan Keadilan dan Keutuhan Manusia Papua itu mengatakan sikap ‘membatu’ kelompok bersenjata Papua Merdeka tak bakal lekang dengan pemberian amnesti, maupun abolisi. Karena, kata Theo, kelompok-kelompok bersenjata tersebut, selama ini tak pernah meminta adanya pengampunan itu.
“Apakah pasukan TPNPB-OPM itu yang meminta amnesti itu? Tidak toh. Apakah mereka mau menerima amnesti? Saya pikir tidak juga. Mereka (separatis bersenjata) sembunyi di hutan-hutan, keluar menyerang aparat, menyerang rakyat biasa,” ujar Theo.
Pun pemerintah tetap mengirimkan pasukan-pasukan keamanan dari TNI-Polri secara organik. Situasi tersebut yang menurut Theo menjadikan pemberian amnesti maupun abolisi terhadap pihak-pihak yang terlibat konflik bersenjata di Papua tak relevan jika dimaksudkan sebagai awal pembuka rekonsiliasi, ataupun perdamaian di Bumi Cenderawasih.
“Kecuali kalau mereka itu berhenti berperang. Kelompok bersenjata keluar dari hutan-hutan, mereka katakan berhenti menyerang, (lalu) keamanan (TNI-Polri) ditarik. Baru kemudian bisa bicarakan pengampunan, bicarakan perdamaian. Selama mereka itu masih terus maunya berperang, maunya menentukan nasib sendiri untuk Papua Merdeka, pengampunan itu tidak penting, akan sia-sia menurut saya,” kata Theo.
Menurut Theo, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sejak 2009 sebetulnya sudah membuat pedoman yang bisa menjadi acuan dalam penghentian konflik di Papua. Pedoman tersebut kata Theo, mengacu pada hasil riset Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tentang sejumlah akar masalah yang penyelesaiannya dapat membuka ruang rekonsiliasi, dan menciptakan stabilitas, serta kedaimaian di Papua.
Empat akar masalah tersebut, kata Theo terkait dengan kegagalan dalam pembangunan manusia di Papua. “Baik pembangunan secara pendidikan, kesehatan, maupun ekonomi rakyat,” ujar Theo.
Juga akar masalah terjadinya pelanggaran HAM berat yang tanpa penyelesaian tuntas. Serta akar masalah prilaku diskriminatif dan marjinalisasi orang asli Papua (OAP) di tanah moyangnya sendiri. Akar-akar masalah tersebut, yang menurut Theo harus dicarikan jalan keluar oleh pemerintahan di Jakarta.
Indonesia merencanakan pemberian amnesti, maupun abolisi terhadap orang-orang yang terlibat dalam konflik bersenjata di Papua. Menteri Koordinator Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia (HAM), Imigrasi, dan Pemasyarakatan Yusril Ihza Mahendra mengatakan pemberian pengampunan, maupun penghapusan pidana tersebut sebagai upaya pemerintah dalam menciptakan perdamaian, dan menyudahi konflik, maupun kekerasan bersenjata di Bumi Cenderawasih.
“Pada dasarnya, Presiden Prabowo Subianto sudah setuju untuk memberikan amnesti dan abolisi kepada mereka yang telribat dalam konflik di Papua. Dan menyelesaikan masalah di sana secara damai dengan mengedepankan hukum dan HAM,” kata Yusril melalui siaran pers Rabu (23/1/2025).
Menteri HAM Nathalius Pigai menjelaskan, amnesti dan abolisi khusus isu-isu menyangkut Papua bagian dari upaya menyudahi konflik yang berkepanjangan. “Tujuan dari ini, adalah untuk rekonsiliasi dan kemanusian,” kata Pigai saat dihubungi Republika, dari Jakarta, Kamis (23/1/2025).