Dunia Kompak Menolak Ide Trump Kala Ribuan Warga Palestina Pulang ke Rumah Masing-Masing

Donald Trump melempar ide kontroversial, merelokasi warga Gaza ke Mesir dan Yordania.

AP Photo/Jehad Alshrafi
Ribuan pengungsi Palestina tiba di Jalur Gaza utara menyusul mundurnya tentara Israel, Senin, 27 Januari 2025.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengeluarkan gagasan kontroversial terkait masa depan warga Palestina di Jalur Gaza. Pada Sabtu (26/1/2025), Trump mengusulkan 'membersihkan' Gaza, dan menginginkan Mesir dan Yordania menerima warga Palestina demi mewujudkan perdamaian Timur Tengah.

Baca Juga


Trump menggambarkan Gaza saat ini seperti wilayah penghancuran pascaperang Israel-Hamas. "Anda berbicara tentang mungkin 1,5 juta manusia, dan kita bersihkan saja seluruhnya. Anda tahu, selama beberapa dekade terjadi banyak konflik di sana (Gaza). Dan saya tidak tahu, sesuatu harus terjadi."

Gagasan Trump itu sontak menuai penolakan dari kalangan dunia internasional. Termasuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang pada Senin (27/1/2025) mengeluarkan pernyataan resmi menolak usulan Donald Trump untuk merelokasi warga Palestina ke luar Jalur Gaza.

“Kami menentang setiap rencana yang akan menyebabkan pemindahan paksa penduduk atau mengarah pada pembersihan etnis dalam bentuk apa pun,” ujar juru bicara PBB, Stephane Dujarric, dalam konferensi pers.

Dujarric mengingatkan bahwa Mesir, Yordania, dan Liga Arab juga telah menolak usulan Trump tersebut. Pada Senin, Parlemen Mesir kembali menegaskan penolakannya terhadap segala rencana yang bertujuan untuk merelokasi rakyat Palestina dari tanah mereka.

Parlemen Mesir juga memperingatkan bahwa tindakan semacam itu menimbulkan "ancaman serius" bagi keamanan dan stabilitas kawasan.

"Kita tidak bisa mengabaikan bahaya besar yang ditimbulkan oleh usul-usul yang beredar terkait relokasi rakyat Palestina dari tanah mereka," kata Ketua Parlemen Mesir Hanafi Gebali dalam sebuah sesi parlemen.

"Ide-ide semacam itu sepenuhnya mengabaikan fakta bahwa masalah Palestina bukan sekadar persoalan penduduk atau sengketa geografis, tetapi perjuangan sebuah bangsa untuk mendapatkan hak-hak sah dan historis mereka."

"Semua pihak harus menyadari bahwa rakyat Palestina bukan sekadar kelompok yang mencari tempat perlindungan. Mereka adalah bangsa dengan sejarah yang kaya, tanah yang suci, dan hak-hak yang tak dapat dihapus oleh waktu," kata Gebali, menambahkan.

Ketua Parlemen Mesir memperingatkan bahwa setiap usulan yang mengesampingkan hak-hak rakyat Palestina "menimbulkan ancaman serius terhadap keamanan dan stabilitas kawasan."

"Satu-satunya solusi untuk mewujudkan perdamaian abadi adalah dengan menerapkan solusi dua negara yang menjamin rakyat Palestina dapat mendirikan negara merdeka mereka sesuai perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya, sambil juga memastikan keamanan dan stabilitas seluruh kawasan."

Poin Kesepakatan Gencatan Senjata - (Republika)

 

Negara-negara Barat juga kompak menolak gagasan Trump terkait warga Palestina di Gaza. Pemerintah Inggris, pada Senin, tegas menolak usulan kontroversial merelokasi warga Palestina dari Jalur Gaza ke Yordania dan Mesir.

"Warga sipil Palestina seharusnya dapat kembali ke rumah mereka, membangun kembali kehidupan mereka, dan melanjutkan hidup mereka," kata juru bicara Perdana Menteri Inggris Keir Starmer dalam satu arahan lobi.

Juru bicara PM Keir Starmer itu lebih lanjut mengatakan, "Seperti yang telah dikatakan menteri luar negeri, bagi warga Gaza yang begitu banyak kehilangan nyawa, rumah, atau orang-orang terkasih, 14 bulan terakhir konflik telah menjadi mimpi buruk yang nyata. Itulah sebabnya Inggris terus mendorong adanya resolusi untuk konflik di Gaza."

Menteri Luar Negeri Spanyol Jose Manuel Albares pada Senin juga menolak gagasan Presiden AS Donald Trump untuk "membersihkan" Gaza dan merelokasi penduduknya ke sejumlah negara Arab di sekitarnya. Albares menegaskan, Gaza adalah bagian dari negara Palestina masa depan.

"Posisi kami jelas: warga Gaza harus tetap di Gaza. Gaza adalah bagian dari negara Palestina masa depan, yang harus dikelola oleh satu pemerintahan," ujar Albares saat berbicara di Brussel.

"Secepatnya, Gaza dan Tepi Barat harus berada di bawah kendali satu otoritas nasional Palestina," lanjutnya.


 

Pada Senin, ribuan warga Palestina dari pengungsian mulai kembali ke Gaza utara menggunakan berbagai kendaraan melalui Koridor Netzarim. Koridor itu memisahkan wilayah selatan dan utara Gaza.

“Kendaraan yang membawa warga pengungsi beserta barang-barang mereka mulai melintasi Koridor Netzarim melalui Jalan Salah al-Din, setelah menjalani pemeriksaan keamanan,” kata seorang saksi mata kepada Anadolu.

Hal itu terjadi beberapa jam setelah puluhan ribu warga Palestina kembali dengan berjalan kaki melalui Jalan Al-Rashid di pesisir pantai menuju Gaza utara berdasarkan perjanjian gencatan senjata antara Israel dan Hamas. Kendaraan seharusnya mulai melewati Koridor Netzarim pada pukul 09.00 waktu setempat (07.00 GMT), tetapi perjalanan tertunda karena tim teknis yang bertugas melakukan pemeriksaan datang terlambat, menurut laporan Anadolu.

Sesuai perjanjian gencatan senjata, kendaraan yang melintas di Koridor Netzarim harus melalui alat pemindai sinar-X sebelum diizinkan memasuki Gaza utara. Menurut laporan media Israel, Walla, pada Kamis lalu, dua perusahaan Amerika dan satu perusahaan Mesir mengelola mekanisme tersebut guna memfasilitasi kembalinya warga Palestina yang mengungsi ke Gaza utara dan menjaga keamanan.

Kembalinya warga Palestina itu terjadi beberapa jam setelah Qatar memediasi kesepakatan antara Hamas dan Israel, di mana Hamas setuju untuk membebaskan tawanan asal Israel, Arbel Yehud, bersama dua tawanan lainnya, pada Jumat mendatang. Fase pertama perjanjian gencatan senjata berlangsung selama enam pekan dan mulai berlaku pada 19 Januari.

Gerakan perlawanan Hamas mengatakan kembalinya para pengungsi Palestina ke rumah-rumah mereka di Jalur Gaza utara pada Senin merupakan kemenangan bagi rakyat dan kekalahan bagi Israel dengan rencana pengusirannya.

"Kembalinya mereka yang mengungsi adalah kemenangan bagi rakyat kami dan sebuah pernyataan atas kegagalan dan kekalahan pendudukan (Israel) serta rencana pengungsian mereka," kata pemimpin senior Izzat al-Rishq dalam sebuah pernyataan.


sumber : Antara, Anadolu
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler