Hizbullah Ultimatum Israel Jika Masih Duduki Wilayah Lebanon
Israel masih menduduki sejumlah wilayah Lebanon Selatan
REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT – Sekretaris Jenderal Hizbullah Syekh Naim Qassem dengan tegas menolak perpanjangan tenggat waktu bagi penarikan mundur tentara Israel sang penjajah dari Lebanon selatan.
Syekh Qassem menekankan bahwa tidak akan ada tenggat waktu satu hari pun. Dia menggambarkan kelanjutan pendudukan oleh Israel sebagai agresi terhadap kedaulatan.
Syekh Qassem menyatakan bahwa menghadapinya adalah tanggung jawab bersama oleh semua orang, pemerintah, rakyat, perlawanan, partai-partai, dan semua aliran.
Dalam pidato yang disampaikan pada Senin (27/1/2025), Syekh Qassem bersikeras bahwa Israel harus mundur karena waktu 60 hari telah berlalu, dan menolak pembenaran apapun untuk memperpanjang tenggat waktu, dikutip dari laman Palestine Chronicle, Selasa (28/1/2025).
Syekh Qassem menegaskan bahwa pihak perlawanan memiliki hak untuk bertindak sesuai dengan keinginan mereka mengenai bentuk, sifat, dan waktu konfrontasi.
Syekh Qassem juga memperingatkan bahwa Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Amerika Serikat, Prancis, dan Israel sang penjajah memikul tanggung jawab atas segala konsekuensi yang muncul dari penundaan penarikan pasukan Israel dari Lebanon.
Dia mempertanyakan apakah Washington benar-benar mengharapkan siapa pun di Lebanon untuk menerima perpanjangan agresi Israel. Syekh Qassem menyatakan bahwa penerimaan semacam itu tidak akan terjadi.
Selain itu, Syekh Qassem mengungkapkan informasi yang mengindikasikan bahwa Amerika menghubungi para pejabat Lebanon dan menyarankan untuk memperpanjang perjanjian hingga 28 Februari 2025, yang berarti Israel tidak akan menarik diri hingga tanggal tersebut.
Menurutnya, para pejabat Lebanon menanggapi dengan penolakan. Dia juga mencatat bahwa saran berikutnya untuk memperpanjang tenggat waktu hingga 18 Februari 2025 juga ditolak.
Kemudian, Amerika dilaporkan berargumen untuk mempertahankan kontrol atas “lima situs yang menghadap ke perbukitan,” yang juga ditolak oleh para pejabat Libanon. Syekh Qassem menegaskan bahwa Presiden Lebanon Joseph Aoun tidak dapat memberikan satu pun keuntungan kepada Israel.
BACA JUGA: Perburuan Tentara Israel di Brasil dan Runtuhnya Kekebalan Negara Zionis
Adegan Kemenangan
Mengomentari pemandangan warga Lebanon selatan yang kembali ke desa-desa perbatasan mereka setelah berakhirnya batas waktu 60 hari, Syekh Qassem menggambarkannya sebagai pemandangan kemenangan.
Dia menekankan bahwa para pejuang perlawanan berada di lapangan dan tidak meninggalkannya, berdiri dengan kepala tegak, dengan perlawanan yang teguh dan kuat.
Pemimpin Hizbullah lebih lanjut menekankan bahwa trio rakyat, tentara, dan perlawanan adalah yang mencegah Israel mencapai Beirut dan bagian selatan Sungai Litani.
Dia mencatat bahwa perlawanan menang bersama rakyat yang berbaris ke desa-desa di garis depan, meskipun Israel gagal untuk mundur dan ketidakmampuannya untuk menghadapi musuh.
Syeikh Qassem mengatakan bahwa mereka yang bermartabat berdiri dan berbaris di garis depan, tidak terpengaruh oleh kebijakan Israel atau dukungan Amerika. Dia menegaskan bahwa pendudukan tidak dapat dilanjutkan dengan orang-orang yang tidak dapat dikalahkan.
Dia menegaskan bahwa perlawanan telah menang atas pendudukan Israel, "karena kami telah kembali dan karena penjajah akan pergi dan mundur di luar kehendaknya.”
Syeikh Qassem juga menjelaskan bahwa perlawanan mematuhi perjanjian gencatan senjata dan memilih untuk bersabar, menahan diri untuk tidak menanggapi pelanggaran Israel meskipun ada penghinaan dan tindakan balas dendam yang dihadapi.
Dia juga berpendapat bahwa pelanggaran Israel terhadap perjanjian tersebut menunjukkan “kebutuhan Libanon akan perlawanan yang terus berlanjut,” dan menambahkan bahwa kampanye tandingan dilakukan oleh Israel yang bertujuan untuk menggambarkan Hizbullah sebagai pihak yang kalah telah dimulai bahkan selama konflik berlangsung.
Israel meminta gencatan senjata
Syekh Qassem mengingat bahwa Israel sendiri “meminta gencatan senjata,” dan pihak perlawanan menyetujuinya dengan berkoordinasi dengan negara Lebanon.
Dia menyoroti bahwa perlawanan, terlepas dari kegagalan Israel, tetap menang bersama dengan orang-orang yang kembali ke desa-desa perbatasan mereka.
BACA JUGA: Serangan Yaman yang Merepotkan Israel dan Jatuhnya Pamor Militer Amerika di Kawasan
Pemimpin Hizbullah menambahkan bahwa Israel meminta gencatan senjata, dan perlawanan menerimanya karena negara Libanon telah memutuskan untuk menghadapi situasi tersebut, melindungi perbatasan, dan memastikan pengusiran Israel.
Syekh Qassem juga menggambarkan gencatan senjata sebagai kesempatan bagi negara Lebanon untuk memenuhi tanggung jawab politiknya.
Dia mengkritik Amerika Serikat, yang menurutnya adalah “sponsor kejahatan Israel,” karena tidak memainkan perannya, namun mencatat bahwa pihak pejuang menolak untuk memberikan dalih untuk konflik lebih lanjut.