Rusia Diminta Seret Bashar Assad ke Suriah, Begini Reaksi Anak Buah Putin
Rusia terkesan melindungi Bashar Assad, tapi tetap ingin berkepentingan di Suriah.
REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS — Pemimpin Suriah Ahmad al-Sharaa (al Julani) dalam bincang diplomatisnya bersama utusan Rusia menyampaikan keinginan warga Suriah, yaitu kepulangan diktator mantan pemimpin Bashar Assad. Putra diktator kejam Hafez Assad tersebut ‘disembunyikan’ Rusia sehingga belum tersentuh hukum Suriah yang baru dibebaskan.
Bashar Assad harus mempertanggungjawabkan segala kejahatannya yang merugikan masyarakat Suriah. Assad selama ini kerap berkelit ketika ditanyakan pelanggaran HAM di negara yang dipimpinnya. Namun setelah dijatuhkan dari kursi kekuasaannya, terungkaplah ‘jeroan’ kompleks penjara Sednaya dan banyak penjara lainnya. Semua itu digunakan Assad untuk membungkam, bahkan menghilangkan jejak mereka yang dituding sebagai lawan politik dan pihak yang dianggap mengancam keberlangsungan pemerintah.
Setelah kelompok Haiat Tahrir Syam (HTS) menjadi besar dan mendekati Damaskus, Assad beserta istri dan anaknya dikawal Pasukan Rusia kabur ke negara yang kini dipimpin Vladimir Putin. Di sana dia melanjutkan kehidupan dengan beberapa keluarganya yang sejak lama membangun raksasa bisnis.
Kembali ke pertemuan al-Sharaa dengan utusan Rusia, yaitu wakil menteri luar negeri Mikhail Bogdanov. Kedua pihak saling mengapresiasi dan berkomitmen untuk terus menjalin komunikasi.
Rusia mengatakan pada Rabu (29/1/2025) bahwa mereka telah mengadakan pembicaraan yang sangat terbuka dengan al-Sharaa. Rusia berkepentingan dengan Suriah untuk mempertahankan pangkalan militernya di kawasan Hmeimim, juga mempertahankan pangkalan armada lautnya.
Namun demikian, ketika diminta membekuk Assad dan menyeretnya ke Suriah, pihak Rusia mendadak enggan mengomentari hal tersebut. Menurut Kantor Berita Arab Suriah (SANA), Damaskus juga menginginkan Rusia, yang mendukung Assad selama bertahun-tahun dalam perang saudara dengan mengorbankan oposisi, untuk membangun kembali kepercayaan rakyat Suriah melalui tindakan nyata seperti kompensasi, rekonstruksi dan pemulihan.
Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menolak menjawab pertanyaan apakah Suriah telah meminta Rusia untuk menyerahkan Assad dan membayar kompensasi. Rusia berupaya mempertahankan pangkalan angkatan lautnya di Tartus dan pangkalan udara Hmeimim di dekat kota pesisir Latakia karena hilangnya pangkalan angkatan lautnya akan menjadi pukulan besar bagi kemampuannya untuk memproyeksikan kekuatannya di wilayah tersebut.
Pemerintahan baru Suriah mengatakan setelah pembicaraan dengan Rusia, mereka menekankan bahwa “pemulihan hubungan harus mengatasi kesalahan masa lalu, menghormati keinginan rakyat Suriah, dan melayani kepentingan mereka." Namun sumber Suriah mengatakan kepada Reuters bahwa Rusia tidak siap mengakui kesalahan tersebut dan satu-satunya kesepakatan yang dicapai adalah melanjutkan diskusi.
Kementerian Luar Negeri Rusia menyatakan bahwa "diskusi jujur terjadi mengenai semua masalah." Dia menambahkan bahwa kedua belah pihak akan tetap berhubungan untuk berupaya mencapai kesepakatan mengenai hal-hal terkait, tanpa merujuk pada kedua landasan tersebut secara spesifik.
Warning UNHCR
Dunia menyaksikan krisis pengungsian terbesar dalam sejarah modern ketika perang saudara Suriah memaksa jutaan warganya terusir, meninggalkan kampung halamannya selama 14 tahun terakhir.
Kini, setelah rezim Bashar Al-Assad runtuh, banyak warga mulai kembali ke rumah mereka, antre panjang di perbatasan, atau tiba melalui beberapa bandara yang masih beroperasi di negara tersebut.
Meski ada harapan yang tumbuh, badan pengungsi PBB (UNHCR) tetap khawatir terhadap tantangan yang dihadapi, mulai dari risiko keamanan hingga infrastruktur yang hancur.
Juru bicara UNHCR, William Spindler, dalam wawancara dengan Anadolu menyatakan bahwa meskipun ada kemajuan, situasinya masih tidak stabil.
Suriah saat ini masih menangani setidaknya 7,7 juta pengungsi di dalam negeri dan lebih dari 6 juta pengungsi di negara-negara tetangga.
Meski lebih dari 125.000 pengungsi telah kembali sejak runtuhnya rezim Assad, banyak yang masih enggan pulang karena kekerasan terus berlanjut, minimnya layanan dasar, dan kesulitan ekonomi.
"Orang-orang menunggu untuk melihat bagaimana situasi ini berkembang," ujar Spindler. "Ada banyak kemajuan karena situasinya semakin stabil, tetapi belum sepenuhnya stabil di seluruh wilayah".
Keamanan tetap menjadi perhatian utama, begitu pula dengan kerusakan parah pada infrastruktur negara, termasuk sistem air bersih dan sanitasi, perumahan, sekolah, serta rumah sakit yang hancur akibat perang.
"Peristiwa baru-baru ini ... bisa menjadi peluang untuk mengakhiri krisis pengungsian besar ini, asalkan kondisi di dalam Suriah memungkinkan orang untuk kembali dengan aman, bermartabat, dan berkelanjutan. Kami tidak ingin orang kembali hanya untuk menjadi pengungsi lagi," tambah Spindler.
Kebutuhan keamanan dan stabilitas
Spindler menegaskan bahwa agar kepulangan warga Suriah berhasil, Suriah sendiri harus memastikan keamanan dan keberlanjutan.
Banyak pengungsi saat ini kembali sementara untuk menilai situasi, hanya untuk menemukan rumah mereka hancur, menghadapi masalah hukum terkait properti, serta akses terbatas terhadap kebutuhan dasar seperti makanan, pendidikan, dan layanan kesehatan.
"Itulah mengapa sangat penting untuk membantu transisi menuju Suriah yang stabil," kata Spindler.
"Komunitas internasional perlu membantu mengaktifkan kembali ekonomi, menciptakan kondisi bagi kepulangan yang berkelanjutan sehingga ketika orang kembali, mereka bisa tinggal dengan akses terhadap mata pencaharian, tempat tinggal, dan layanan dasar."
Seruan penghapusan sanksi ekonomi
Spindler juga menyerukan upaya internasional untuk menghidupkan kembali ekonomi Suriah dan memulihkan layanan penting.
Ia mendesak penghapusan sanksi ekonomi yang dinilainya memperburuk penderitaan warga sipil dan menghambat upaya rekonstruksi.
"Sanksi diberlakukan oleh pemerintah karena sifat rezim sebelumnya; (sekarang) rezim itu tidak lagi ada. Jadi tidak ada alasan untuk mempertahankan sanksi," katanya, menegaskan kembali seruan PBB untuk mencabut sanksi yang terus menghambat pemulihan ekonomi.
"Jika kita semua, terutama warga Suriah, ingin mereka kembali, kita perlu menciptakan kondisi ekonomi yang sesuai dan mendukung kepulangan tersebut," tambahnya.
"Karena itu, penting untuk menghidupkan kembali ekonomi dan menyediakan layanan."
Meski ada harapan yang berkembang untuk mengakhiri krisis pengungsian, Spindler menegaskan posisi UNHCR yang menentang pengembalian paksa. Ia menekankan bahwa pemulangan harus tetap bersifat sukarela.
"Posisi UNHCR adalah bahwa karena kondisi belum siap, tidak boleh ada paksaan untuk kembali ke Suriah," ujar Spindler.
"Warga Suriah harus diberi waktu dan ruang untuk membuat keputusan yang tepat kapan harus kembali, tanpa tekanan."
Menurut dia, tidak ada warga Suriah yang boleh dipulangkan secara paksa selama kondisi masih tidak stabil. Dia menyebutkan bahwa lembaganya bekerja dengan negara-negara tuan rumah untuk memastikan pemulangan dilakukan secara sukarela dan menghormati martabat manusia.
"Kami mengimbau kehati-hatian dan kesabaran," katanya kepada negara-negara tuan rumah.
Menurut Spindler, berdasarkan tren historis, "sebagian besar pengungsi" pada akhirnya akan memilih untuk kembali.
Perlu Rp 5 triliun untuk semester awal 2025
Dalam menghadapi tekanan internasional untuk menangani krisis Suriah yang sedang berlangsung, Spindler menyoroti pentingnya respons global yang terkoordinasi untuk menangani kebutuhan mendesak dan penyelesaian jangka panjang atas masalah pengungsian.
UNHCR sedang mencari dana sebesar 310 juta dolar AS (sekitar Rp 5triliun) untuk mendukung upaya membantu pengungsi Suriah dan yang kembali ke negara itu selama enam bulan pertama 2025.
Permohonan ini mencakup bantuan bagi 200.000 anggota masyarakat yang akan menampung para pengungsi yang kembali, serta pengungsi internal (IDP).
Badan ini memperkirakan hingga 1 juta pengungsi akan kembali antara Januari dan Juni 2025, disertai lebih dari 2 juta IDP yang kembali, serta lebih dari 1 juta pengungsi internal yang kembali pada periode yang sama.
UNHCR juga menyoroti bahwa lebih dari 16 juta orang, atau 90 persen penduduk Suriah, saat ini hidup di bawah garis kemiskinan dan bergantung pada bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup.