Seperti Teroris, Oleh Presiden Trump Imigran akan Diseret ke Guantanamo
Presiden Trump serius menindak imigran yang dinilainya mengancam Amerika.
REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Presiden AS Donald Trump memerintahkan bawahannya mempersiapkan penjara militer di Guantanamo. Fasilitas tersebut biasanya diperuntukkan bagi tahanan yang dituduh melakukan terorisme.
“Hari ini saya akan menandatangani perintah eksekutif yang mengarahkan Departemen Pertahanan dan Keamanan Dalam Negeri untuk menyiapkan pusat penerimaan 30.000 imigran di Teluk Guantanamo,” seraya menambahkan bahwa ia akan menerima “penjahat (imigran)” dalam situasi yang tidak biasa, katanya sebagaimana diberitakan Asharq Awsath.
Trump membuat pernyataan ini saat menandatangani undang-undang yang mengizinkan penahanan imigran gelap yang dituduh melakukan pencurian dan kejahatan kekerasan sebelum diadili. Ini merupakan undang-undang pertama yang dia setujui sejak dia kembali berkuasa.
“Berkat tindakan yang kita ambil hari ini, namanya… akan diabadikan dalam undang-undang negara kita, dan ini adalah undang-undang yang sangat penting,” kata Trump saat menandatangani undang-undang “Let It Be Riley”, yang diambil dari nama 22 undang-undang. -siswa Amerika berusia satu tahun yang dibunuh oleh seorang imigran Venezuela.
Presiden Kuba bereaksi
Presiden Kuba Miguel Diaz Canel pada hari Rabu menggambarkan rencana Presiden Amerika untuk menahan 30.000 imigran gelap di Teluk Guantanamo sebagai “tindakan brutal.” Kamp penjara Guantanamo dibuka pada tahun 2002, di dalam pangkalan militer AS di pulau Kuba, sebagai bagian dari “perang melawan terorisme” yang dideklarasikan oleh mantan Presiden George W Bush setelah serangan 11 September 2001.
Ratusan orang ditahan di penjara tersebut, beberapa di antaranya adalah anggota Al-Qaeda. Hal ini memicu kontroversi hebat di Amerika Serikat, karena kondisi penahanan yang sangat keras dan banyak praktik penyiksaan.
Dua mantan presiden Partai Demokrat, Joe Biden dan Barack Obama, menyatakan niat mereka untuk menutup penjara tersebut, tapi tak bisa melakukannya selama masa jabatan mereka.
September lalu, New York Times memperoleh dokumen pemerintah yang menunjukkan bahwa Amerika Serikat telah menggunakan pangkalan militer Guantanamo selama beberapa dekade untuk memenjarakan pekerja asing yang dicegat di laut.
Menurut surat kabar tersebut, para pekerja asing ditempatkan dalam tahanan di ruang terpisah dari penjara tempat tahanan yang dituduh melakukan terorisme ditahan.
Sejumlah kelompok mengecam perlakuan terhadap pekerja asing yang ditahan di sana. Berdasarkan kesaksian, mereka menjadi sasaran pengawasan ketika mereka menghubungi pengacara mereka. Para pekerja asing dipaksa untuk memakai kacamata hitam selama pemindahan mereka. Kebersihan di sana sangat buruk, karena Guantanamo menjadi sarang tikus.
Trump terpilih setelah kampanye di mana ia berjanji untuk mengakhiri apa yang disebutnya “invasi” imigran gelap. Ia telah mengambil sejumlah tindakan anti-imigrasi sejak ia kembali menjabat.
Pemerintahannya berjanji untuk secara signifikan mempercepat laju deportasi, sementara sekitar 11 juta orang saat ini hidup dalam situasi yang tidak biasa di wilayah Amerika.
Perlakuan Nazi
Presiden Kolombia, Gustavo Petro, pada Rabu (29/1) membandingkan deportasi imigran ilegal oleh Amerika Serikat dengan pengangkutan orang ke kamp konsentrasi Nazi pada Perang Dunia II.
Dalam pidatonya saat pelantikan Menteri Luar Negeri baru, Laura Sarabia, Petro menyinggung perselisihan diplomatik yang baru-baru ini terjadi dengan AS.
"Dari insiden dengan Trump... ada banyak pelajaran yang bisa dipetik, baik oleh mereka maupun oleh kita. Dari pihak mereka, saya kira mereka seharusnya tidak perlu memborgol orang-orang yang hendak mereka usir dari negara mereka sendiri," kata Petro.
"Akan ada diskusi politik di sana, misalnya, apakah mereka tidak mengulangi kesalahan yang sama seperti yang dilakukan Jerman pada 1943, ketika mereka menggunakan kereta api untuk mengangkut gerbong penuh orang Yahudi, sosialis, dan komunis ke kamp konsentrasi," ujar Petro menambahkan.
Pernyataan Petro muncul di tengah ketegangan diplomatik yang dipicu oleh penolakan pemerintah Kolombia menerima warga Kolombia yang dideportasi dengan pesawat militer AS.
Pemerintah Kolombia beralasan bahwa mereka mengutamakan "perlakuan bermartabat" terhadap para migran. Penolakan tersebut memicu reaksi keras dari Presiden AS, Donald Trump, yang merespons dengan ancaman tarif perdagangan.
Sebagai solusi, Kolombia telah mengatur tiga penerbangan menggunakan pesawat Angkatan Udara Kolombia. Pada Selasa dan Rabu, pesawat-pesawat tersebut tiba membawa 306 warga Kolombia, termasuk 42 anak di bawah umur, menurut keterangan Petro.
"Apakah Trump akan mengatakan kepada 42 anak Kolombia bahwa mereka adalah kriminal?" tanya Petro.
"Seperti halnya dia mengatakan itu kepada 42 anak, dia juga akan mengatakan hal yang sama kepada ratusan ribu lainnya. Itulah yang mereka pikirkan pada tahun 1943," ujarnya, melanjutkan.
"Setiap orang yang berkulit hitam, pribumi, atau keturunan Latin akan diperlakukan sebagai kriminal. Ini disebut kriminalisasi kolektif; Hitler yang menciptakannya," tambahnya.