Kapolri: Prabowo Minta Polisi Ikut Tertibkan Lahan Sawit

Rencana penertiban penguasaha sawit sempat disampaikan adik Presiden Prabowo.

ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan
Tim patroli dari TNI/Polri meninjau lokasi bekas pembakaran lahan di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang beralih jadi lahan sawit di Tebo, Jambi, Ahad (18/8/2024).
Rep: Bambang Noroyono, Lintar Satria Red: Fitriyan Zamzami

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Polri akan membentuk satuan unit baru yang khusus menangani penyerobotan lahan-lahan hutan untuk dijadikan perkebunan kelapa sawit di seluruh Indonesia. Kapolri Listyo Sigit Prabowo mengatakan pembentukan unit kerja baru tersebut setelah Presiden Prabowo Subianto meminta Polri terlibat dalam Satgas Penertiban Kawasan Hutan. 

Baca Juga


Unit kerja baru tersebut akan mulai mendata lahan-lahan perkebunan yang masuk dalam kategori keterlanjuran kawasan hutan. “Terkait dengan keterlanjuran kawasan hutan, ini juga kemarin menjadi perhatian Bapak Presiden (Prabowo),” kata Jenderal Sigit saat Rapim Polri hari ke-2 di  Gedung Tribrata Dharmawangsa, Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (31/1/2025). 

Kata dia mulanya terkait dengan satgas penertiban kawasan hutan tersebut hanya melibatkan Kejaksaan, Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), dan juga Tentara Nasional Indonesia (TNI). Namun kata Kapolri, Presiden Prabowo meminta Polri juga ikut terlibat.

“Sehingga mau tidak mau, kita (Polri) harus siap,” kata Jenderal Sigit. Dia menambahkan, sudah memerintahkan seluruh jajaran Polda, sampai level Polres untuk mulai menerjunkan timnya di wilayah masing-masing untuk melakukan inventarisir area-areal keterlanjuran kawasan hutan tersebut. “Baik apakah itu dari plasma, apakah itu perorangan, apakah itu kelompok tani,” ujar Kapolri. 

Tim khusus dari Mabes Polri, pun kata Kapolri akan terjun langsung untuk memastikan validitas inventarisasi kawasan keterlanjuran yang dilakukan jajaran Polda, pun Polres tersebut.

“Saya akan secara khusus memimpin terkait dengan apa yang menjadi kebijakan ini,” ujar Kapolri. Dari proses tersebut, kata dia, akan dilakukan telaah yang masuk dalam konstruksi pidana umum, atau tindak pidana khusus, ataupun tindak pidana korupsi (tipikor). 

Tim patroli dari TNI/Polri meninjau lokasi bekas pembakaran lahan di kawasan penyangga Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) yang beralih jadi lahan sawit di Tebo, Jambi, Ahad (18/8/2024). - (ANTARA FOTO/Wahdi Septiawan)

Karena dikatakan dia, selama ini memang banyak area-area hutan yang dijadikan lahan perkebunan-perkebunan kelapa sawit namun tak berizin. “Memang ada keterlanjuran lahan, keterlanjuran sawit. Dan kita akan lakukan mapping (pemetaan),” ujar dia.

Penertiban kawasan hutan baru-baru ini diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan. Namun, soal penertiban pengusaha sawit ini sudah disinggung Wakil Ketua Dewan Pembina Gerindra Hashim Sujono Djojohadikusumo, yang juga adik Presiden Prabowo Subianto tahun lalu. Ia menyampaikan, negara akan mendapat potensi pemasukan hingga Rp 300 triliun dari pengusaha sawit. Dana itu berasal dari mereka yang mengemplang pajak atau tidak membayar pajak.

Menurut dia, dalam waktu dekat para pengusaha tersebut akan menyetor Rp 189 triliun untuk tahap pertama. "Sudah dikasih laporan ke Pak Prabowo, yang segera bisa dibayar Rp 189 triliun dalam waktu singkat. Tapi, tahun ini atau tahun depan, bisa tambah Rp 120 triliun lagi, sehingga Rp 300 triliun itu masuk ke kas negara," ujar Hashim di Menara Kadin, Jakarta Selatan, Rabu (24/10/2024).

Hashim menyampaikan, para pengusaha yang melanggar pajak tersebut, tidak memiliki nomor pokok wajib pajak (NPWP) dan tidak memiliki rekening di Indonesia. Terdapat setidaknya 25 pengusaha yang tidak memiliki NPWP dan 15 pengusaha yang tidak mempunyai rekening bank yang berada di Tanah Air.

"Jaksa Agung Muda sudah siap bertindak. Ini pengusaha-pengusaha nakal, yang mudah-mudahan nggak ada di Kadin, ada 300 lebih yang nakal," ujar Hashim.

Ancam masyarakat adat?

 

Sementara, Muhammad Arman, perwakilan dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mengkhawatirkan Perpres Nomor 5 Tahun 2025 bakal menyasar masyarakat adat. Arman, mengatakan peraturan ini menimbulkan kebingungan terkait penertiban kawasan hutan, terutama bagi masyarakat adat yang telah lama mendiami wilayah tersebut.

Arman, menjelaskan Pasal 110A dan 110B dari UU Cipta Kerja menyatakan masyarakat yang telah tinggal di kawasan hutan minimal selama lima tahun diperbolehkan untuk mengelola maksimal lima hektare. Maka berdasarkan pasal itu jika Peraturan Presiden Penertiban Kawasan Hutan diterapkan, seharusnya tidak menyasar masyarakat adat. "Kekhawatiran kami pertama adalah karena ini kan kalimatnya penertiban, artinya penegakan hukum yang lebih dominan," ujarnya, Jumat (31/1/2025).

Arman juga menyoroti kurangnya transparansi dari pemerintah mengenai perusahaan-perusahaan yang beroperasi secara ilegal. "Sampai hari ini, pemerintah tidak pernah mengeluarkan informasi mengenai seberapa banyak perusahaan yang melanggar perizinan," katanya.

Hal ini, menurutnya, menciptakan bias dalam penegakan hukum, di mana masyarakat adat sering kali menjadi korban pemindahan paksa dari kawasan hutan yang mereka huni. Lebih lanjut, Arman mempertanyakan struktur kepemimpinan dalam penegakan peraturan ini yang disebut Satgas.

Pejabat Kejaksaan Agung menyampaikan keterangan terkait kasus korupsi dalam kegiatan usaha perkebunan kelapa sawit yang dilakukan oleh PT Duta Palma Group, Selasa (3/12/2024). - (ANTARA FOTO/Zaky Fahreziansyah)

"Agak aneh, karena ketua penegak hukumnya adalah menteri pertahanan, dan ketua pelaksana adalah jaksa agung. Kenapa bukan Kementerian Kehutanan yang memang punya kewenangan mengurus hutan selama ini? Ini adalah satu hal yang perlu dipertanyakan," katanya.

 Dalam perpres diatur bahwa ketua pengarah satgas merupakan menteri pertahanan, dengan wakil ketua I yaitu jaksa agung, wakil ketua II panglima TNI, dan wakil ketua III yaitu kapolri. Menurutnya hal ini menunjukkan adanya ketidakselarasan dalam pengelolaan kawasan hutan yang seharusnya melibatkan pihak yang berkompeten.

Ia juga menyoroti pernyataan Menteri Kehutanan mengenai rencana untuk mengalihfungsikan kawasan hutan seluas 20 juta hektare untuk keperluan pangan. Namun, Arman menegaskan 70 persen wilayah masyarakat adat berada dalam kawasan hutan negara, yang berpotensi mengancam keberadaan mereka.

"Jika penegakan atau penertiban ini dilakukan secara serampangan dan tidak berhati-hati, serta tanpa penjelasan yang lebih komprehensif, justru ini akan menjadi semacam upaya militerisasi penertiban kawasan hutan. Masyarakat adat memiliki pengalaman buruk terhadap penertiban ini," katanya.

Ia juga mencatat bahwa upaya pemerintah dalam menetapkan tata batas kawasan hutan sering kali dilakukan tanpa partisipasi masyarakat adat, seperti yang terjadi di Sulawesi Selatan. "Jika berbicara tentang penertiban, seharusnya ada sanksi administratif yang jelas, termasuk untuk pemindahan paksa yang tidak sesuai dengan ketentuan," tutup Arman.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler