Menantang Prabowo Gibran Bangunkan Raksasa Tidur Ekonomi Syariah
Indonesia punya visi menjadi Pusat Ekonomi Syariah Dunia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ekonomi syariah Indonesia sudah berusia 34 tahun. Kelahirannya ditandai dengan pembentukan bank syariah pertama, Bank Muamalat pada 1991. Bank ini jadi tanda semangat umat untuk menjauhi riba. Sejak saat itu, industri syariah mulai berkembang sedikit demi sedikit.
Hingga usia middle age begini, kecepatan pertumbuhan ekonomi syariah Indonesia bisa dibilang so so. Apalagi kalau melihat negara tetangga Malaysia yang full support dari pemerintahnya, ekonomi syariah Indonesia mungkin (cuma) bisa bersyukur. Upaya pemerintah yang ada saat ini, jelas masih menyia-nyiakan potensi yang ada.
Penasehat Center for Sharia Economic Development (CSED) INDEF, Hakam Naja mengatakan pembangunan ekonomi syariah Indonesia harus diakui, 'cuma' setengah hati, hanya basa basi, yang penting ada.
"Maka saya berharap betul pak Prabowo bersungguh-sungguh, serius, merancang dengan komprehensif, agar ini tidak lagi jadi gimmick marketing," kata dia dalam Diskusi Publik Ekonomi dan Keuangan Syariah, 100 Hari Pemerintahan Prabowo: Tagih Janji Bidang Ekonomi Syariah, Jumat (31/1/2025).
Sentilan itu bukan tanpa alasan. Indonesia punya potensi yang sangat akbar, baik secara internal maupun eksternal. Mulai dari 87,08 persen penduduk Indonesia yang adalah Muslim. Kemudian, Indonesia tergabung dalam negara-negara Organisasi Kerja Sama Islam yang menghasilkan Produk Domestik Bruto (PDB) capai 8,9 triliun dolar AS pada 2023.
Selanjutnya, Indonesia termasuk dalam negara-negara berkembang atau Developing 8 bersama Bangladesh, Mesir, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan, dan Turki. Populasinya capai 1,2 miliar atau 60 persen dari seluruh Muslim dunia dengan total PDB 4,92 triliun pada 2023.
Yang terbaru, Indonesia juga resmi gabung BRICS yang kini beranggotakan Brasil, Rusia, China, Afrika Selatan, Iran, Arab Saudi, Ethiopia, Uni Emirat Arab. Skala ekonomi negara-negara ini capai 28,8 triliun dolar AS.
"Pada 2026 nanti, Indonesia akan jadi tuan rumah KTT BRICS," katanya.
Pengembangan ekonomi syariah Indonesia sebenarnya sudah tertuang dalam Rencana Pengembangan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2024-2029. Cita-citanya adalah menjadikan Indonesia sebagai pusat ekonomi syariah dunia. Maka dari itu, Prabowo Gibran tidak punya pilihan lain selain serius menggarap potensi-potensi yang berserakan.
Kepala CSED INDEF, Nur Hidayah menyampaikan kebijakan-kebijakan di bidang ekonomi syariah saat inimasih bersifat sporatis, belum terstruktur, dan sistematis. Programnya masih terfokus pada rencana pembangunan bagian peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Menurutnya, belum ada ketertarikan pemerintah untuk mengikutsertakan pengembangan ekonomi syariah dalam rencana pembangunan nasional. Selain itu, sentimen pengembangan ekonomi syariah dalam RPJMN pun masih terbatas di wilayah tertentu saja, seperti Aceh.
"Pengembangan belum merata dan masih terfokus pada intervensi industri halal saja dan penggunaan dana filantropi," katanya.
Menurutnya, perlu ada kebijakan afirmatif lain yang lebih masif, taktis dan langsung berdampak. Kebijakan perlu dibuat dalam cetak biru atau peta jalan pengembangan ekonomi syariah yang disahkan dalam Undang-Undang Ekonomi Syariah.
Kebijakan dalam ranah UU akan lebih strategis karena menjadi kewajiban bagi seluruh Kementerian Lembaga dalam mengupayakan implementasinya.
Berharap pada literasi dan inklusi
Potensi yang pertama dan utama, yang sering disebut-sebut, Indonesia adalah negara dengan jumlah Muslim terbesar di dunia, secara statistik. Masalah yang muncul dan masih bertahan adalah literasi dan inklusi ekonomi syariahnya.
Bank Indonesia mengukur Indeks Literasi Eksyar nasional, terakhir tahun 2019. Hasilnya, hanya 16,3 persen dari skala 100 persen yang paham ekonomi syariah. OJK juga rutin melakukan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) yang didalamnya melaporkan indeks literasi ekonomi dan keuangan syariah.
Pada 2024, tingkat literasi keuangan syariah di Indonesia adalah 39,11 persen dengan inklusi keuangan syariah adalah 12,88 persen. Bukan angka yang patut dibanggakan, tapi bisa dimaklumi.
Peneliti CSED INDEF, Murniati Mukhlisin mengatakan ada banyak sekali cara yang bisa dilakukan jika pemerintah mau serius garap literasi dan inklusi keuangan syariah. Ia menjabarkan mulai dari memudahkan aksesabilitas masyarakat pada lembaga keuangan syariah.
"Mungkin 100 hari pertama ini belum berasa, bahkan ekonomi syariah tidak jelas tertera dalam Asta Cita, tapi kita lihat 1.725 hari kedepan," katanya pada kesempatan yang sama.
Prabowo Gibran bisa mempertimbangkan, betapa mudahnya membangunkan raksasa tidur ekonomi syariah. Ada banyak sekali program yang sudah ada, yang butuh bensin political will pemerintah. Seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR) Syariah, PNM Mekaar, Bank Wakaf Mikro, program sosial kemasyarakatan, hingga pemberdayaan masyarakat minoritas.
Prabowo Gibran juga bisa memberi karpet merah pada industri syariah untuk lebih dahulu menggara program-programnya, seperti Makan Bergizi Gratis, pembangunan infrastruktur, hilirisasi, swasembada, pendidikan dan lainnya.