Eks Menteri Israel: IDF Tentara tak Bermoral

Netanyahu menyebut Trump sahabat terbaik Israel karena dukung pemindahan warga Gaza.

Twitter/X
Tentara Israel memamerkan kejahatan mereka di media sosial pada Desember 2023.
Red: Erdy Nasrul

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Mantan Menteri Keamanan Israel 2013 hingga 2016, Moshe Ya'alon mengeluarkan pernyataan mengejutkan pada Rabu (5/2/2025). Saat diwawancarai seorang reporter media massa, dia menjelaskan bahwa di bawah kepemimpinan Netanyahu, negaranya melakukan kejahatan perang dan pembersihan etnis di Gaza Palestina.

Baca Juga


Menegaskan pendiriannya mengenai kejahatan yang dilakukan Israel, dia mengatakan tidak akan meminta maaf. Sebab dua kejahatan itu nyata terlihat di berbagai tayangan media.

Dalam wawancaranya dengan lembaga penyiaran Israel Channel 12 , Ya'alon membantah retorika Israel mengenai pasukan penjajah Israel sebagai tentara paling bermoral di dunia.

"Saya tidak mengatakan lagi militer Israel paling bermoral di dunia," katanya, sambil menunjuk pada campur tangan politik, yang menurutnya "merusak tentara."

"Itu bukan tentara yang paling bermoral saat ini," tegasnya, seraya menambahkan bahwa "sulit bagi saya untuk mengatakannya."

Sekali lagi, Ya'alon mengatakan bahwa "tidak ada kata lain" yang tepat untuk menggambarkan tindakan Israel di Jalur Gaza utara kecuali pembersihan etnis , seraya menyoroti komentar pejabat pemerintah yang menyerukan pembersihan warga Arab di wilayah tersebut.

 

Ketika ditanya oleh pewawancara apakah ia ingin mencabut kembali penggunaan frasa tersebut, Ya'alon menggarisbawahi bahwa ia mengatakannya "sengaja untuk membunyikan alarm." 

Ia yakin bahwa politisi sayap kanan sedang memerintahkan pasukan Israel untuk "melakukan apa yang disebut sebagai kejahatan perang," dengan tujuan "mengevakuasi" warga Palestina untuk melayani motif tersembunyi yaitu pemukiman kembali di Jalur Gaza.

Mantan menteri keamanan itu juga memperingatkan kepala militer Israel Herzi Halevi, mendesaknya untuk "memperhatikan" apa yang terjadi di sekitarnya.

Ia juga mengatakan bahwa Pengadilan Kriminal Internasional, yang telah mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu dan baru-baru ini memecat menteri keamanan Yoav Gallant, memiliki daftar pejabat Israel lainnya yang akan diselidiki di kemudian hari atas kejahatan perang.

Bezalel Smotrich dan Itamar Ben Gvir, masing-masing menteri keuangan dan kepolisian, akan diselidiki atas kejahatan perang jika itu tergantung padanya, tambah Ya'alon. 

Kontraproduktif

Bila seorang Presiden Amerika Serikat menyatakan akan mengambil alih Jalur Gaza dan menyamakan wilayah kantung Palestina tersebut sebagai Riviera di Timur Tengah, maka itu seperti menyaksikan plot film satir politik Hollywood.

Namun, hal tersebut benar-benar dikemukakan oleh Donald Trump, yang menyatakan itu saat melakukan konferensi pers bersama dengan kepala otoritas Israel Benjamin Netanyahu, yang tengah mengunjungi AS pada Selasa (4/2).

Riviera itu sendiri adalah istilah untuk daerah kawasan tepi pantai Mediterania yang memiliki iklim yang moderat dengan langit biru yang indah serta lautan yang luas dan memukau, baik di wilayah Prancis (French Riviera), ataupun Italia (Italian Riviera).

Sebagai seorang yang banyak bergelut di sektor properti, Trump seperti melihat pengembangan real estat sebagai solusi yang jitu untuk berbagai persoalan di tingkat global.

Dengan menguasai Gaza --dan tentu saja untuk mengembangkan kawasan tepi pantai ala Riviera di daerah yang sebelumnya telah dibombardir oleh bom Zionis Israel--, Trump menyatakan bahwa pihaknya berencana untuk "melucuti semua bom aktif berbahaya dan senjata-senjata lainnya, meratakan wilayah itu, dan membersihkan gedung-gedung yang hancur".

Trump juga membayangkan bahwa masyarakat dunia akan tinggal di Gaza sehingga kawasan tersebut akan menjadi sebuah "tempat internasional yang luar biasa" sehingga seluruh perwakilan dari seluruh dunia akan tinggal di sana. Dengan logika seperti itu, maka sama saja Trump juga mengundang "perwakilan" dari Israel untuk membangun pemukiman di sana, yang sudah jelas merupakan pelanggaran dari keputusan internasional dan dikecam baik oleh PBB maupun banyak negara.

 

Dalam sejumlah kesempatan sebelumnya, Trump juga sangat pe-de bahwa Yordania dan Mesir akan menerima relokasi warga Palestina dari Gaza, padahal spoiler, usulan Trump, telah ditolak mentah-mentah oleh kedua negara tersebut. Dengan mengusulkan "pengosongan" Gaza itu, maka tidak heran bila ada yang menuding langkah tersebut sama saja dengan merencanakan "pembersihan etnis".

Selain gagasan proyek properti untuk pengembangan kawasan pantai di Gaza, Trump memang telah lama dikenal dengan kontroversi terkait dengan konflik Palestina-Israel. Biasanya, pendekatan terhadap konflik itu "dibungkus" dengan konsep menciptakan peluang ekonomi bagi warga Palestina, yang dapat melibatkan infrastruktur, investasi, dan beragam potensi proyek pembangunan.

Namun, jika menyangkut rencana spesifik seperti pembangunan seperti kawasan tepi laut atau tepi pantai di Gaza, tentu saja hal tersebut harus benar-benar peka terhadap kompleksitas politik dan kemanusiaan di wilayah tersebut. Harus diingat bahwa hingga awal Februari ini, otoritas Gaza telah mengungkapkan bahwa sedikitnya 61.709 warga Palestina telah tewas akibat perang genosida Israel di Jalur Gaza sejak 7 Oktober 2023.

Kepala Kantor Media Pemerintah Gaza dalam konferensi pers di Kota Gaza, Ahad (2/2), menyatakan bahwa dari jumlah tersebut, hanya 47.487 jenazah yang berhasil dievakuasi ke rumah sakit, sementara 14.222 lainnya masih tertimbun di bawah reruntuhan. Terungkap pula bahwa dari korban tewas termasuk pula 17.881 anak-anak, di antaranya 214 bayi yang baru lahir.

 

Menurut pejabat tersebut, setidaknya 1.155 tenaga medis, 205 jurnalis, dan 194 petugas pertahanan sipil juga tewas dalam serangan Israel yang turut merusak lebih dari 450.000 unit rumah. Sedangkan lebih dari 2 juta warga Palestina dipaksa mengungsi, dengan banyak di antaranya harus berpindah lebih dari 25 kali di tengah ketiadaan layanan dasar untuk kehidupan sehari-hari.

Dengan banyak negara yang mengecam langkah pembantaian warga Palestina tersebut, maka bila ada kebijakan yang akan membuka Gaza untuk dijadikan pemukiman tidak hanya bagi warga Palestina tetapi juga bagi warga negara lain, termasuk Israel, akan menjadi langkah yang sangat sensitif baik dari segi kompleksitas politik maupun dari aspek kemanusiaan masyarakat Palestina.

Dalam hal sensitivitas politik, perlu diingat bahwa Jalur Gaza telah menjadi jantung konflik Israel-Palestina selama beberapa dekade. Setiap rencana yang melibatkan warga Israel untuk menetap di Gaza dapat dilihat sebagai pelanggaran signifikan terhadap hak dan kedaulatan Palestina.

Gaza adalah dan harus selalu menjadi bagian dari negara Palestina di masa depan, sehingga bila ada izin agar warga Israel untuk menetap di sana akan merupakan langkah yang berpotensi memperburuk konflik. Belum lagi telah diketahui bahwa kegiatan permukiman Israel di Tepi Barat telah banyak dikritik secara internasional dan merupakan kebijakan yang ilegal.

 

Tantangan kemanusiaan ekstrem Penduduk Gaza saat ini juga menghadapi tantangan kemanusiaan yang ekstrem, termasuk kepadatan penduduk terutama di zona pengungsian, terbatasnya akses terhadap sumber daya, dan blokade yang sedang berlangsung. Memperkenalkan rencana pemukiman berskala besar dengan partisipasi internasional dipastikan akan memperburuk permasalahan ini.

Gaza sudah berada di bawah tekanan besar dalam hal sumber daya seperti air, listrik, dan layanan kesehatan. Pembangunan yang lebih besar dengan membuat banyak "warga internasional" untuk menetap di sana, dapat semakin membebani sumber daya yang terbatas ini, sehingga mempersulit kehidupan penduduk lokal.

Mengingat sejarah kekerasan dan konflik di kawasan ini, kehadiran berbagai negara --termasuk Israel— dapat meningkatkan ketegangan dan menciptakan lebih banyak tantangan keamanan. Kekerasan antar kelompok dapat meningkat, terutama mengingat situasi keamanan di kawasan yang rapuh itu.

Setiap rencana pemukiman internasional di Gaza dapat dianggap mengabaikan perspektif Arab yang lebih luas mengenai hak-hak Palestina, sehingga semakin memperumit hubungan yang sudah tegang antara Israel dan banyak negara Arab. Dengan kata lain, rencana pemukiman yang membuka Gaza bagi warga negara asing (terutama warga Israel) dapat memicu kecaman luas secara global dan ketegangan diplomatik.

 

Singkatnya, meskipun gagasan membuka Gaza untuk pemukiman oleh berbagai negara mungkin bertujuan merangsang pertumbuhan ekonomi atau upaya pembangunan perdamaian, hal ini akan dipandang sangat kontroversial dan dapat mengobarkan ketegangan lebih lanjut daripada menyelesaikannya.

Implikasi politik, keamanan, dan kemanusiaan akan sangat kompleks, dan rencana tersebut mungkin perlu dipertimbangkan secara hati-hati melalui kerja sama dengan semua pihak yang terlibat, dengan memastikan prioritas untuk hak dan kebutuhan penduduk Palestina.

Rencana Trump terkait Gaza ini sudah menuai banyak kritik baik dari berbagai tokoh maupun kalangan warga di beragam negara. Indonesia, misalnya, melalui Kementerian Luar Negeri (Kemlu RI) telah mengutuk keras segala upaya maupun wacana apapun untuk secara paksa merelokasi warga Palestina dari tanah airnya ataupun mengubah komposisi demografis wilayah Palestina yang diduduki Israel.

Kemlu RI dalam pernyataannya menegaskan bahwa tindakan semacam itu akan menghambat terwujudnya Negara Palestina yang merdeka dan berdaulat sebagaimana dicita-citakan oleh Solusi Dua Negara berdasarkan perbatasan 1967 dengan Yerusalem Timur sebagai ibu kotanya.

Indonesia terus menyerukan kepada komunitas internasional untuk memastikan hukum internasional senantiasa dipatuhi terkait isu Palestina, serta hak rakyat Palestina untuk menentukan nasibnya sendiri serta hak dasar mereka untuk kembali ke tanah air mereka juga harus dijamin.

Indonesia kembali menegaskan bahwa satu-satunya jalan yang pantas bagi mewujudkan perdamaian abadi di wilayah Palestina serta kawasan Timur Tengah adalah dengan menyelesaikan akar penyebab konflik, yaitu pendudukan ilegal dan berkepanjangan yang dilakukan Israel atas wilayah Palestina.

Selain Yordania dan Mesir yang telah menolak mentah-mentah usulan pemindahan warga Gaza ke wilayah mereka, sejumlah negara di benua Eropa termasuk Inggris, Prancis, dan Jerman, dengan tegas menolak usulan yang telah dikemukakan Trump terkait dengan Gaza.

Trump sendiri dalam konferensi persnya menyatakan pula bahwa "Anda harus belajar dari sejarah. Sejarah seperti yang kamu tahu tidak bisa membiarkan hal ini terus terulang, kita punya kesempatan untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan secara fenomenal".

Daripada berpikir seperti pengembang yang akan membangun kawasan pantai Gaza di tengah penderitaan rakyat Palestina, ada baiknya Trump merenung mengenai miliaran atau bahkan triliunan dolar AS dalam bentuk persenjataan yang telah dikirim AS ke Israel, yang selama bertahun-tahun digunakan oleh rezim Zionis itu antara lain untuk menghabisi banyak jiwa di Gaza. Bayangkan alangkah fenomenalnya bila AS menghentikan bantuan yang berkontribusi kepada tindakan Israel dalam melakukan pembantaian masyarakat Palestina itu!

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler