Israel-Hamas akan Lanjutkan Pembahasan Gencatan Senjata Tahap Kedua

Israel ingin mengasingkan pemimpin Hamas.

AP Photo/Mohammed Hajjar
Tentara Israel Agam Berger melambai ke kerumunan di samping pejuang Jihad Islam saat dia diserahkan ke Palang Merah di Jabalya di Kota Gaza, Kamis 30 Januari 2025.
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID,YERUSSALEM -- Tim perundingan Israel akan bertolak ke Qatar pada Sabtu untuk mulai membahas kesepakatan gencatan senjata dan pertukaran sandera dengan kelompok perlawanan Palestina, Hamas.

Baca Juga


Menurut media Israel, Kamis (6/2/2025), delegasi tersebut terdiri dari pejabat Shin Bet dan Mossad. Mereka mendapat perintah dari kepala Shin Bet Ronen Bar untuk menyelesaikan tahap satu perjanjian dan mulai membahas tahap kedua.

Israel berharap Hamas memberikan daftar sandera pada Jumat, sebelum jadwal pembebasan mereka pada Sabtu, lapor media tersebut. Pembicaraan mengenai pelaksanaan tahap kedua kesepakatan tersebut awalnya akan dimulai pada Senin, hari ke-16 perjanjian gencatan senjata. Rencana tersebut kemudian ditunda.

Haaretz mengutip sumber yang tidak disebutkan namanya dari rombongan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu di Washington, mengindikasikan Netanyahu tidak akan melanjutkan tahap kedua kecuali Hamas disingkirkan.

Selain itu, sejumlah pejabat Israel, khawatir bahwa pernyataan terbaru oleh Presiden AS Donald Trump mengenai "mengambil alih" Gaza dan memaksa merelokasi mereka dapat mengacaukan perundingan.

Sejak 25 Januari, Trump berulangkali mengusulkan pemindahan warga Palestina dari Gaza ke negara-negara Arab seperti Mesir dan Yordania. Ide tersebut ditolak mentah-mentah negara Arab dan para pemimpin Palestina.

 

 

Presiden AS Donald Trump bertemu dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Gedung Putih, Washington, Selasa, 4 Februari 2025. - (AP Photo/Evan Vucci)

Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan, dia bersedia mengakhiri perang di Gaza jika pemimpin Hamas meninggalkan wilayah itu dan mengasingkan diri ke negara ketiga, menurut laporan Axios.

Netanyahu mengatakan hal itu dalam pertemuan dengan Presiden AS Donald Trump di Washington pada Rabu, menurut seorang sumber kepada portal berita itu.

Disebutkan, pengasingan terhadap pemimpin kelompok perlawanan Palestina itu menjadi salah satu syarat rencana perdamaian di Gaza yang disampaikan  Netanyahu kepada Trump.

Netanyahu juga menyatakan keinginannya untuk memperpanjang gencatan senjata tahap pertama di Gaza untuk membebaskan lebih banyak sandera. Sumber lain menambahkan bahwa perpanjangan itu akan membuka jalan bagi pembebasan dua atau tiga warga Israel yang disandera oleh Hamas.

Jika perpanjangan itu disetujui, dalam negosiasi tahap kedua, Netanyahu akan menawarkan pembebasan sejumlah warga Palestina yang masih ditahan oleh Israel, termasuk seorang tahanan "senior".

Para pejabat AS mengatakan sebagai imbalan dari tawaran itu, Netanyahu akan meminta Hamas membebaskan semua sandera yang tersisa dan pemimpin kelompok itu mengasingkan diri.

WHO

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada Kamis (6/2) mendesak percepatan evakuasi medis dari Jalur Gaza di tengah gencatan senjata, mengingat banyaknya pasien dalam kondisi kritis.

Menyebut kehancuran di Jalur Gaza sebagai sesuatu yang "tak terbayangkan," Richard Peeperkorn, perwakilan WHO untuk Tepi Barat dan Gaza, mengungkapkan bahwa hanya 18 dari 36 rumah sakit yang masih berfungsi sebagian.

"Fasilitas kesehatan yang masih dapat beroperasi sangat terbatas," ujar Peeperkorn dalam konferensi pers virtual dari Gaza.

Tentara Israel berjalan di depan warga Palestina yang mengungsi akibat operasi militer Israel dari kamp pengungsi Jenin di Tepi Barat, Kamis, 23 Januari 2025. - (AP Photo/Majdi Mohammed)

Ia menambahkan bahwa situasi di Gaza berdampak pada semua pihak, termasuk staf PBB, yang kini mengalami gangguan kecemasan dan depresi. Namun, hanya ada dua psikiater yang tersedia di wilayah tersebut.

Peeperkorn juga mencatat bahwa beberapa rumah sakit yang sempat lumpuh akibat serangan berhasil beroperasi kembali dengan cepat setelah perjanjian gencatan senjata, yang menurutnya merupakan "sesuatu yang positif."

Menekankan bahwa terdapat antara 12.000 hingga 14.000 pasien yang membutuhkan evakuasi medis dari Gaza, Peeperkorn menjelaskan bahwa setengah dari mereka mengalami luka akibat serangan, sementara sisanya menderita penyakit kronis.

 

Meski perbatasan Rafah telah dibuka untuk evakuasi, ia menegaskan bahwa hal itu belum cukup."Kita harus mempercepat evakuasi medis. Lebih banyak pasien harus melewati Rafah menuju Mesir. Namun, kita juga membutuhkan koridor medis lainnya," katanya.

Peeperkorn menegaskan bahwa WHO tidak dapat menentukan siapa yang bertanggung jawab atas serangan terhadap fasilitas kesehatan.

Namun, sejak 7 Oktober 2023, tercatat 670 serangan terhadap fasilitas kesehatan di Gaza, yang menyebabkan 886 orang tewas, termasuk dokter dan warga sipil, serta 1.355 orang terluka.

Merespons pertanyaan terkait keputusan pemerintahan Presiden AS Donald Trump untuk menarik diri dari WHO, Peeperkorn menyatakan harapannya agar AS mempertimbangkan kembali keputusan tersebut.

"Kami menyesalkan pengumuman itu, dan kami benar-benar berharap hal tersebut sedang dikaji ulang," katanya, dan menekankan bahwa fokus utama seharusnya adalah "kerja sama, bukan isolasi."

Pada 20 Januari, di hari pertamanya menjabat, Trump menandatangani puluhan perintah eksekutif, termasuk perintah yang memulai proses penarikan AS dari WHO.

Perintah eksekutif tersebut mencantumkan empat alasan utama untuk penarikan, yakni dugaan kegagalan WHO dalam melakukan reformasi, beban keuangan yang dianggap tidak adil bagi AS, kesalahan dalam menangani pandemi Covid-19, serta bias politik dalam organisasi tersebut.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler