Saudi: Bangsa Palestina Bukan Penyusup yang Bisa Diusir Kapan Saja
Saudi menilai Israel tak paham arti tanah Palestina.
REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Arab Saudi pada Ahad mengecam keras pernyataan baru-baru ini dari pemimpin otoritas Israel Benjamin Netanyahu, yang mengemukakan komentar terkait pengusiran warga Palestina ke negara kerajaan itu.
Dalam sebuah pernyataan resmi, Kementerian Luar Negeri Saudi menegaskan kembali 'penolakan tegas' terhadap retorika semacam itu. Saudi menekankan bahwa Rakyat Palestina memiliki hak atas tanah mereka. "Mereka bukanlah penyusup atau imigran yang dapat diusir kapan saja oleh pendudukan brutal Israel," ujar Saudi.
Negeri Kerajaan itu juga menegaskan bahwa mentalitas pendudukan yang ekstremis ini tidak memahami apa arti tanah Palestina bagi saudara-saudara di Palestina. Riyadh menegaskan bahwa Israel tidak menganggap bahwa rakyat Palestina layak untuk hidup.
"Para pendukung ide-ide ekstremis ini adalah mereka yang mencegah Israel untuk menerima perdamaian," kata kementerian tersebut, seraya menekankan bahwa Israel secara sistematis melakukan ketidakadilan terhadap rakyat Palestina selama lebih dari 75 tahun.
Arab Saudi menekankan bahwa hak rakyat Palestina akan tetap ditegakkan dengan kokoh dan tidak seorang pun akan dapat merampasnya dari mereka. Tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.
“Perdamaian abadi tidak akan tercapai kecuali dengan kembali pada logika akal sehat dan menerima prinsip hidup berdampingan secara damai melalui solusi dua negara,” tegasnya.
Sebelumnya pada Kamis (6/2), Netanyahu mengusulkan agar Palestina mendirikan negara mereka di Arab Saudi dan bukan di tanah air mereka sendiri, serta menepis anggapan apa pun tentang kedaulatan Palestina. "Saudi dapat mendirikan negara Palestina di Arab Saudi, mereka memiliki banyak lahan di sana," katanya.
Sebelumnya, pada 4 Februari, Presiden AS Donald Trump mengatakan Washington akan mengambil alih Gaza dan memukimkan kembali warga Palestina di tempat lain berdasarkan rencana pembangunan kembali yang luar biasa yang ia klaim dapat mengubah daerah kantong itu menjadi 'Riviera Timur Tengah.'
Usulan itu mendapat kecaman luas dari Palestina, negara-negara Arab, dan banyak negara lain di seluruh dunia, termasuk Kanada, Prancis, Jerman, dan Inggris.