Tagar #KaburAjaDulu Viral di Medsos, Ini Ancaman Islam untuk Pelaku Pungli

Pungli termasuk dalam kategori dosa besar.

Republika/Daan Yahya
Karikatur Pungli
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pungutan liar (pungli) masih menjadi kekhawatiran bagi banyak orang Indonesia. Teranyar, media sosial diramaikan oleh penggunaan tanda pagar (tagar) #KaburAjaDulu sebagai bentuk kekecewaan terhadap maraknya praktik kejahatan tersebut.

Baca Juga


Dalam akun media sosialnya, guru besar Universitas Indonesia Prof Rhenald Kasali mengatakan, dirinya mendengar suara-suara kekecewaan dari masyarakat, khususnya pelaku usaha muda di start up di Indonesia. Mereka mengaku ketika sedang merintis atau membuka usaha kerap diganggu para preman yang meminta "jatah."

"Orang kalau mau buka usaha sekarang, juga takut dengan preman. Preman bisa segel usaha kita, dan didiamkan. Ini tentu sangat mengganggu pikiran publik yang mau investasi. Asing juga tidak selalu ingin investasi di sini," kata Rhenald Kasali dalam video yang diunggah di media sosial miliknya, dikutip Selasa (11/2/2025).

Dalam perspektif ajaran Islam, pungli termasuk dosa. Bahkan, sejumlah ulama menggolongkannya sebagai dosa besar.

Imam adz-Dzahabi membahas tentang masalah pungli dalam kitabnya yang termasyhur, yakni al-Kabaair. Inilah karya yang secara khusus mengulas perihal dosa-dosa besar.

Pungli merupakan perbuatan menzalimi orang lain. Al-Kabaair memasukkannya sebagai kejahatan yang melampaui batas.

Dalam Alquran surah asy-Syura ayat ke-42, Allah menegaskan, orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas tanpa mengindahkan kebenaran akan mendapatkan siksaan yang pedih.

اِنَّمَا السَّبِيۡلُ عَلَى الَّذِيۡنَ يَظۡلِمُوۡنَ النَّاسَ وَ يَبۡغُوۡنَ فِى الۡاَرۡضِ بِغَيۡرِ الۡحَقِّ‌ؕ اُولٰٓٮِٕكَ لَهُمۡ عَذَابٌ اَلِيۡمٌ

"Sesungguhnya kesalahan hanya ada pada orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di bumi tanpa (mengindahkan) kebenaran. Mereka itu mendapat siksa yang pedih."

Tidak ada pembenaran untuk tindakan pungli walaupun pelakunya berdalih ingin membantu orang agar menyelesaikan urusannya secara lebih cepat. Pungli tidak hanya soal mengambil harta orang lain secara batil, tetapi juga merusak sistem tata kerja yang terbangun. Dampaknya merugikan hingga ke level bangsa dan negara.

Dalam al-Kabaair, Imam Adz Dzahabi menyebut orang yang melakukan pungli mirip dengan perampok jalanan yang lebih jahat daripada pencuri. Orang yang menzalimi orang lain dan berulang kali memungut upeti, dia itu lebih keji daripada seorang pemimpin yang adil dalam mengambil pajak dan penuh kasih sayang kepada rakyatnya.

Orang yang mengambil pungli---baik sebagai pencatat, pemungutnya, koordinator, maupun semuanya---telah bersekutu dalam dosa. Mereka sama-sama pemakan harta haram.

Imam Nawawi menyebut pungli sebagai perbuatan dosa yang paling jelek. Pungli hanya menyusahkan dan menzalimi orang lain. Pengambilan pungli merupakan pengambilan harta dengan jalan yang tidak benar, penyalurannya pun tidaklah tepat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) memang tak memberi fatwa spesifik tentang pungli. Namun MUI telah mengharamkan risywah yang sesungguhnya dapat disepadankan dengan korupsi.

 

Fatwa yang dikeluarkan pada 29 Juli 2000 ini menjelaskan, risywah adalah pemberian dari seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syariah) atau membatilkan perbuatan yang hak. Pemberi disebut rasyi, sementara penerima disebut dengan ra'isy.

Dalam fatwa MUI menjelaskan, suap, uang pelicin, money politics, dan lain sebagainya dapat dikategorikan risywah apabila tujuannya meluluskan sesuatu yang batil atau membatilkan perbuatan yang hak. Karena itu, MUI memfatwakan hukum risywah adalah haram.

Karena itu pula, harta pungli haram untuk dimakan atau digunakan. Pelaku pungli sebaiknya segera bertobat kepada Allah dan mengakhiri perbuatan jahatnya.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler