Tak Pedulikan Trump, Ayatollah Khamenei Perintahkan Iran Kembangkan Program Rudal Balistik

Khamenei menegaskan Iran menolak bernegosiasi dengan AS terkait program nuklir.

EPA-EFE/SUPREME LEADER OFFICE HA
Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei.
Red: Andri Saubani

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran Ayatollah Ali Khamenei pada Rabu (12/2/2025) mengatakan bahwa, negaranya harus mengembangkan persenjataan, termasuk produksi rudal. Pernyataannya ini dikeluarkan setelah Presiden AS Donald Trump menebarkan ancaman akan membom Iran jika menolak negosiasi terkait program nuklirnya.

Baca Juga


"Kemajuan tidak boleh disetop. Kita tidak bisa berpuas diri (dengan level saat ini). Katakanlah kita sebelumnya menetapkan batas akurasi dari rudal-rudal kita, tapi kita sekarang merasa batas itu tak lagi mencukupi. Kita harus bergerak maju," kata Khamenei seusai mengunjungi sebuah pameran pertahanan di Teheran dikutip Tasnim dilansir Jerusalem Post. 

"Hari ini, kekuatan pertahanan itu dikenal baik. Musuh-musuh kita takut akan kekuatan pertahanan kita. Sangat penting untuk negara kita," kata Khamenei menambahkan.

Menurut laporan Tasnim, saat kunjungan Khamenei, pameran mengungkap drone kamikaze terbaru yang bisa diluncurkan dari sebuah kapal selam. Drone seperti itu diklaim sebagai yang pertama di dunia.

Teheran menegaskan, bahwa program rudal balistik mereka murni demi kepentingan pertahanan negara. Namun, dunia Barat melihatnya sebagai faktor destabilitasi yang bisa memicu konflik di Timur Tengah.

Sebelumnya, pada Jumat (7/2/2025), Khamenei, mengatakan, bahwa berunding dengan AS sebagai sikap, "tidak pintar, tidak bijak, atau terhormat."

Lewat wawancara dengan New York Post, belum lama ini, Presiden AS Donald Trump lebih menginginkan menandatangani kesepakatan nuklir dengan Iran daripada melancarkan serangan. "Saya menginginkan sebuah kesepakatan non-nuklir terjadi dengan Iran. Saya lebih menginginkan itu daripada membom mereka," kata Trump.

 

 

Pada Jumat (7/2/2025), Iran mengecam keras putaran terbaru sanksi Amerika Serikat yang menargetkan individu dan perusahaan yang dituduh membantu ekspor minyak negara tersebut. Teheran menyebut langkah itu sebagai tindakan yang melanggar hukum dan bertentangan dengan aturan internasional.

Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, mengecam keras sanksi itu sebagai “sepenuhnya tidak sah” serta menegaskan bahwa langkah AS menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah negara termasuk Iran, “bertentangan dengan aturan dan regulasi internasional,” seperti dilaporkan Kantor Berita Iran (IRNA) dilansir Anadolu.

“Keputusan pemerintahan AS yang baru untuk menekan rakyat Iran dengan menghalangi perdagangan sah Iran dengan mitra-mitra ekonominya merupakan tindakan yang tidak sah, melanggar hukum, dan bertentangan dengan aturan internasional,” ujar Baghaei.

“Pemerintah Iran menegaskan bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan sepihak dan aksi pemaksaan semacam ini,” kata Baghaei, melanjutkan.

Pada Kamis (6/2/2025), Kementerian Keuangan AS mengumumkan sanksi terhadap lebih dari selusin entitas dan individu di China, India, dan Uni Emirat Arab (UAE), dengan tuduhan terlibat dalam memfasilitasi pengiriman minyak Iran. Sanksi tersebut merupakan tindakan pertama yang diberlakukan di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada masa jabatan keduanya.

Sebelumnya, Trump telah menandatangani memorandum kepresidenan untuk menghidupkan kembali kebijakan “tekanan maksimum” terhadap Iran yang diterapkan oleh pemerintahannya.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler