Batas Usia Pendamping Jamaah Haji Diminta Dibatasi

Usia pendamping yang lebih muda dapat membantu kendala yang dihadapi jamaah.

ANTARA FOTO/Wahyu Putro A
Petugas Emergency Medical Team (EMT) PPIH Arab Saudi memeriksa kondisi peserta ibadah haji yang sakit setibanya di hotel kawasan Syisyah, Mekah, Arab Saudi, Selasa (6/6/2023). PPIH Arab Saudi akan memberikan layanan bimbingan ibadah dan pendampingan bagi jamaah yang sakit dan dirawat di Klinik Kesehatan Haji Indonesia (KKHI) maupun di Rumah Sakit Arab Saudi (RSAS).
Red: A.Syalaby Ichsan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Anggota Komisi VIII DPR RI Ina Ammania menilai batas usia pendamping dan pembimbing jamaah haji perlu diatur dalam revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Baca Juga


"Tentu harus dimaktubkan dalam UU, batas usia untuk pendamping dan pembimbing," kata Ina dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR RI bersama Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (FK KBIHU) dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) di Jakarta, Selasa (18/2/2025).

Pada RDPU dengan agenda membahas strategi peningkatan layanan haji dan bimbingan umrah di draf revisi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah itu, ia mengungkapkan berdasarkan pengalamannya pernah menemukan pendamping haji yang berusia lebih tua dibandingkan dengan jamaah haji yang dibimbing.

"Pada saat itu saya tanya, ini yang mana (jamaah) hajinya. Usianya berapa, usianya 65 tahun. Nah pendampingnya mesti anaknya atau yang lebih muda. Umur di bawah itu, umur 50 tahun, 40 tahun. Ternyata, yang saya tanya (jamaah haji usia 65 tahun), usia pendampingnya 76 tahun," ujar dia.

Rencana Perjalanan Ibadah Haji 2025/1446 - (Republika)

 

Menurut Ina, usia pendamping ataupun pembimbing yang lebih muda dapat membantu secara maksimal beragam kendala yang dihadapi jamaah selama menunaikan ibadah haji di Tanah Suci.

Selain usia, Ina berpandangan pula syarat kondisi kesehatan yang baik dari pendamping dan pembimbing haji juga perlu diatur dalam revisi UU Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Selanjutnya Ina berharap FK KBIHU serta IPHI dapat memberikan masukan terkait hal tersebut ataupun hal-hal lain yang memang diperlukan untuk diatur dalam revisi undang-undang tersebut demi terwujudnya penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang lebih baik ke depannya.

"Jadi yang saya ingin itu masukan, seperti perlindungan jamaah. Jadi saya belum mendengar masukan terkait dengan hal itu. Di sini saya membaca hanya tentang bagaimana organisasi IPHI ini diakui keberadaannya," kata dia.

Forum Komunikasi Kelompok Bimbingan Ibadah Haji dan Umrah (FK KBIHU) mengusulkan agar revisi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah mengatur satu orang pembimbing haji dari KBIHU membimbing 90 orang.

"Idealnya, satu orang pembimbing mendampingi 45 orang, satu rombongan. Tetapi kami menyadari barangkali karena nanti berpotensi mengambil porsinya jamaah, maka menurut kami, setidaknya 90 orang atau dua rombongan dengan satu pembimbing," kata Wakil Ketua Umum (Waketum) FK KBIHU KH Sunidja.

Hal tersebut dia sampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) Komisi VIII DPR RI bersama FK KBIHU dan Ikatan Persaudaraan Haji Indonesia (IPHI) di Jakarta, Selasa, dengan agenda membahas strategi peningkatan layanan haji dan bimbingan umrah dalam draf revisi UU tentang Penyelenggaraan Haji dan Umrah.

 

 


Menurut Sunidja, dengan membimbing 90 jamaah haji, para pembimbing dari KBIHU dapat bekerja secara lebih efisien."Sembilan puluh orang dengan satu pembimbing itu agar tidak terlalu berat dan efektif," kata dia.

Seperti diketahui, pada saat ini jumlah jamaah haji yang dibimbing oleh pembimbing dari KBIHU diatur dalam Pasal 56 ayat (2) poin b Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah. Pasal tersebut mengatur bahwa KBIHU harus memperoleh jamaah haji paling sedikit 135 orang untuk satu pembimbing.

Sebelumnya, Wakil Ketua MPR RI Hidayat Nur Wahid atau HNW telah mengajak masyarakat untuk menyampaikan aspirasi terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah.

Dia berharap dibukanya partisipasi masyarakat bisa meningkatkan kualitas regulasi yang akan dihasilkan oleh DPR RI, sebagai pelaksanaan dari prinsip “meaningfull participation”.

Menurut dia, berbagai elemen masyarakat, mulai dari pemerhati haji dan umrah, para penyelenggara dan asosiasi, ormas-ormas Islam, serta masyarakat pada umumnya bisa turut serta memberikan aspirasi.

"Supaya perspektif penyusunan revisi bisa semakin luas sehingga dapat menghasilkan muatan-muatan UU yang komprehensif,” kata dia.

 

 

 

 

 

sumber : Antara
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler