Tiga Bus Meledak, Tel Aviv tak Lagi Aman
Peledakan bus terjadi menjelang negosiasi gencatan senjata tahap dua.
REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV – Tiga bus kosong meledak secara berurutan di tempat parkir di Bat Yam dan Holon di pinggiran Tel Aviv pada Kamis malam. Tidak ada korban luka yang dilaporkan dalam insiden yang disebut bisa mengancam gencatan senjata tersebut.
Polisi mengatakan mereka menetralisir dua perangkat lain yang tidak meledak di bus terdekat. Menurut laporan media Ibrani, perangkat tersebut ditemukan di Holon. Masing-masing perangkat berisi lima kilogram bahan peledak.
Polisi mengatakan mereka menyisir tempat kejadian dan mencari tersangka, sementara pencari bom sedang mencari barang mencurigakan lainnya di sekitar lokasi. Otoritas Penyiaran Israel melaporkan bahwa dua perangkat yang dicurigai juga ditemukan di dekat Bat Yam, dan layanan kereta api ringan telah dihentikan.
Sementara itu, Federasi Organisasi Pengemudi Bus Nasional Israel telah meminta pengemudi bus untuk berhenti mengemudi dan “melakukan pemeriksaan menyeluruh terhadap bus sambil menunjukkan kewaspadaan maksimal”. Yedioth Ahronoth melaporkan bahwa dua ledakan pertama terjadi pada jarak 400 meter satu sama lain, sedangkan ledakan ketiga terjadi di tempat parkir mobil yang berjarak empat kilometer.
Waktu terjadinya ledakan bus, tepat sebelum dimulainya perundingan mengenai perjanjian gencatan senjata tahap kedua di Gaza, patut diperhatikan, kata Colin Clarke, direktur di The Soufan Center.
“Banyak yang berspekulasi bahwa Israel akan segera kembali berperang dan berkonflik penuh di Gaza setelah fase pertama, dan tidak memiliki niat untuk menindaklanjuti sisa perjanjian tersebut,” kata Clarke kepada Aljazirah. “Ini bisa menjadi pesan dari kelompok Palestina bahwa jika perang terjadi lagi, mereka masih bisa membuat hal ini cukup menyakitkan bagi Israel,” kata Clarke.
Di sisi lain, Clarke mencatat, ada beberapa spekulasi mengenai bagaimana hal ini merupakan upaya Israel untuk menggagalkan perundingan gencatan senjata dengan meledakkan bom-bom tersebut, tanpa membunuh siapapun, dan kemudian menggunakannya sebagai alasan untuk kembali berperang. “Jadi sekali lagi, kita tidak tahu banyak detailnya… tapi ini bisa jadi merupakan serangan pembuka atau kembalinya konflik yang telah lama dan berdarah,” katanya.
Kantor Perdana Menteri Benjamin Netanyahu mengatakan bahwa perdana menteri terus menerima informasi terkini mengenai situasi tersebut dan mengadakan penilaian keamanan pada Kamis malam, setelah itu diumumkan bahwa ia menginstruksikan IDF untuk memulai operasi besar-besaran di Tepi Barat melawan pusat-pusat teroris.
Pihak berwenang Israel mengatakan ada kecurigaan bahwa serangan ledakan bus ada hubungannya dengan Tulkarem di Tepi Barat yang diduduki. Sebagai gambaran, kamp pengungsi Tulkarem, Jenin dan Nur Shams telah menjadi sasaran serangan militer Israel yang meluas dan paling kejam yang dilakukan di wilayah Palestina sejak tahun 1967, ketika pendudukan Israel dimulai.
Hal ini dimulai sebulan yang lalu, segera setelah Israel dan Hamas mencapai kesepakatan gencatan senjata dan Israel menyatakan Tepi Barat yang diduduki sebagai front dalam “perang multifrontal”. Sejak itu, seluruh lingkungan telah rata dengan tanah dan puluhan ribu orang terpaksa mengungsi dari rumah mereka. Lanskap ketiga kamp pengungsi telah diubah oleh banyaknya ledakan dan penghancuran yang terjadi secara sistematis di lingkungan tertentu.
Akiva Eldar, seorang analis politik Israel, mengatakan kepada Aljazirah bahwa serangan terhadap bus Tel Aviv telah “melumpuhkan transportasi umum” di daerah tersebut pada hari yang sibuk menjelang akhir pekan.
“Banyak tentara yang pulang ke rumah pada akhir pekan dan ketegangannya meningkat,” kata Eldar. “Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya dengan para tawanan. Kami mendengar rumor berbeda mengenai rencana Presiden Trump sehubungan dengan Gaza, relokasi penduduk, dan adanya eskalasi di Tepi Barat dan sekarang yang kami lihat adalah Tel Aviv tidak aman.”
“Pesan yang ingin disampaikan oleh orang-orang Palestina adalah selama kami tidak aman di Ramallah, dan tentu saja di Gaza, Anda orang Israel tidak akan merasa aman di Tel Aviv.” “Semakin banyak warga Israel yang melepaskan semua ilusi mereka tentang Netanyahu dan keamanan,” tambahnya.
Tudingan rekayasa...
Dua analis mengatakan bahwa ledakan yang menghantam tiga bus di daerah Bat Yam, sebelah selatan Tel Aviv mungkin saja “direkayasa dan merupakan sebuah upaya untuk menyesatkan” sehubungan dengan ketegangan internal di dalam negeri Israel, setelah kembalinya para tahanan di dalam peti mati dan tuduhan-tuduhan yang dilontarkan kepada pemerintah Israel yang telah mengkhianati mereka.
Penulis urusan Israel, Ihab Jabarin mempertanyakan kesimpulan Israel yang cepat bahwa ledakan-ledakan tersebut bersifat nasionalistik, dan bertanya-tanya siapa yang akan mendapatkan keuntungan dari hal ini di hari di mana semua mata tertuju pada Israel setelah serah terima jasad para tawanan.
Dalam sebuah wawancara dengan saluran televisi Aljazirah Arab, Jabarin mengingat kejadian-kejadian pengeboman biasa pada tahun-tahun sebelumnya, yang tidak diklaim oleh pihak manapun, namun yang menonjol pada saat itu adalah pemilihan waktunya. Israel menggunakan peristiwa-peristiwa ini ketika mereka menghadapi krisis politik dan sering menggunakannya sebagai dalih.
Jabarin berspekulasi bahwa Israel mungkin mengeksploitasi ledakan-ledakan tersebut untuk memperkuat narasinya dan mengejar ambisinya di Tepi Barat, bersamaan dengan keinginannya untuk mencapai tujuannya dalam perang melawan Gaza dan melucuti perlawanan, dikutip dari halaman Palestine Chronicle, Jumat (21/2).
Menurut Jabarin, ledakan-ledakan tersebut dapat mendorong Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu untuk memberhentikan kepala Shin Bet, Ronen Bar, menyusul tekanan yang berhasil dari koalisi sayap kanan yang berkuasa, yang berujung pada pengunduran diri Kepala Staf Herzl Halevi.
Spesialis urusan Israel menyimpulkan bahwa ada “pembesar-besaran sistematis atas kemampuan Palestina di bawah klaim bahwa mereka mengancam eksistensi negara nuklir.”
Pakar militer Brigadir Jenderal Elias Hanna mencatat bahwa respon Israel terhadap ledakan-ledakan tersebut mengindikasikan adanya kepanikan, dan menunjukkan kegagalan intelijen Israel dalam meminta para supir bus untuk mencari bahan peledak. Dia mengkritik tampilan militer Israel tentang bom yang telah dijinakkan dan fokusnya pada tulisan Arab di bom tersebut, dengan menyatakan bahwa hal ini tidak masuk akal dari sudut pandang militer.
Hanna tidak menutup kemungkinan bahwa ledakan tersebut merupakan rekayasa dan upaya menyesatkan, mengingat tidak ada korban luka atau korban jiwa, untuk mencapai tujuan di masa depan. Ia menyamakannya dengan percobaan pembunuhan duta besar Israel di London pada tahun 1982, yang dituduhkan kepada Palestina sebagai dalih untuk menginvasi Beirut.